Pengamat Maritim Marsellus Hakeng Raih Doktor HC dari CMR University India

Senin, 03 Juli 2023 - 23:32 WIB
loading...
Pengamat Maritim Marsellus Hakeng Raih Doktor HC dari CMR University India
Pengamat Maritim Indonesia, Capt Marsellus Hakeng Jayawibawa mendapatkan gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari CMR University India, Senin (3/7/2023). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Pengamat Maritim Indonesia, Capt Marsellus Hakeng Jayawibawa mendapatkan gelar Doktor Kehormatan ( Doktor Honoris Causa ) dari CMR University India, Senin (3/7/2023). Gelar tersebut diberikan atas dedikasinya di bidang maritim.

Pengukuhan gelar Doktor HC diberikan langsung oleh Direktur Urusan Luar Negeri CMR University Prof Vinayak Khrishnamurthy kepada Marsellus Hakeng di kampus CMR University, Bangalore, India. Pengukuhan ditandai dengan penyerahan ijazah yang disaksikan jajaran universitas.

Prof Vinayak mengucapkan selamat kepada Marsellus Hakeng. Menurutnya, penganugerahan gelar Doktor HC sebagai bentuk penghargaan tertinggi kepada Marcellus Hakeng atas pencapaiannya yang secara konsisten mengamati, mengkritisi, dan menyuarakan kemaritiman di Indonesia khususnya dan Internasional umumnya.

Sementara itu, Marcellus Hakeng mengucapkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada CMR University atas gelar doktor kehormatan yang diberikan.

"Saya sampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak CMR University atas penghargaan Gelar Doktor Honoris Causa bidang Maritim yang diberikan kepada saya. Apalagi penghargaan ini diberikan oleh Universitas CMR-India yang telah terkenal reputasinya dalam melahirkan banyak pemikir dan pemimpin di dunia," kata Marsellus Hakeng dalam keterangan tertulis, Senin (3/7/2023).

Menurutnya, tidak mudah mendapatkan gelar doktor kehormatan. Penghargaan ini diberikan karena dedikasi di bidang maritim di Indonesia selama lebih dari 25 tahun. Setelah lulus pendidikan, kata Hakeng, ia kemudian bekerja selama 18 tahun lebih sebagai nakhoda di atas kapal-kapal niaga, mulai dari kapal kecil hingga kapal super tanker di banyak belahan dunia. Hingga saat ini, Hakeng menjadi seorang pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Strategic Center (IKAL SC).

"Saya yakin, justru dengan penghargaan ini, akan semakin memicu saya untuk menelurkan banyak hal positif terkait bidang Maritim Indonesia ke depannya," katanya.

Dalam pidato pengukuhan Doktor HC, Hakeng mengajak anak bangsa untuk kembali mengingat pernyataan Presiden Soerkarno di Jakarta pada 23 September 1963. Pernyatan itu berbunyi, "Kita sekarang satu per satu, seorang demi seorang, harus yakin bahwa Indonesia tidak bisa menjadi negara yang kuat, sentosa, sejahtera, jikalau kita tidak menguasai pula samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi satu bangsa samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagaimana kita dikenal dijaman bahari itu."

"Sangat dalam maknanya pidato Soekarno tersebut. Karenanya, sebagai bentuk penghargaan tertinggi dari saya kepada Soekarno, saya tempatkan kata-kata beliau di awal pidato pembukaan saya. Karena beliaulah yang tercatat dalam ingatkan saya sebagai negarawan yang pertama kali menyebut bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pelaut, sebagai bangsa maritim," katanya.

Marcellus Hakeng kemudian menyampaikan pandangan seputar isu-isu kemaritiman, seperti urgensi penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga, pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia dan ekspor pasir laut. Menurutnya, persoalan utama di sektor maritim yang rentan terhadap gangguan keamanan adalah penyelesaian batas wilayah laut Indonesia dengan negara-negara tetangga, termasuk dalam hal ini India.

Saat ini kedaulatan wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna seringkali memunculkan masalah. Wilayah tersebut kaya sumber daya perikanan serta sumber daya alam lainnya, sehingga seringkali menjadi incaran negara lain serta tentunya kapal-kapal ikan asing untuk mengeksploitasinya. Pokok masalah terbesar di sana adalah belum disepakatinya batas wilayah laut dengan masing-masing negara tetangga yang saling melakukan klaim sepihak atas wilayah tersebut.

"Berbicara tentang ZEE, contohnya adalah perundingan mengenai batas laut dan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dan Vietnam adalah topik yang menarik untuk dikaji secara ilmiah, karena perundingan tersebut telah berlangsung lama sejak 21 Mei 2010 dan sampai saat ini belum menemukan kesepakatan. Pemberian konsesi ZEE ke Vietnam yang tak kunjung menemui kesepakatan perlu mendapat pengawalan baik dari masyarakat maritim, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun dari TNI AL," katanya.

Hakeng menjelaskan, Indonesia secara geografis terletak di antara simpangan dua samudera, yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta dua benua yakni Asia dan Australia. Wilayah maritim Indonesia yang luas memiliki banyak potensi sumber kekayaan alam seperti energi dan protein ikan. Namun potensi yang ada belum secara optimal dimanfaatkan, karena terbatasnya sumber daya manusia untuk menggarap sektor maritimnya. Dengan memberdayakan potensi maritim yang dimiliki ini, Indonesia dapat mewujudkan pemerataan ekonomi.

"Yang menjadi catatan saya, baru sekitar 10% saja dari potensi 1.200 triliun sumber daya maritim yang berhasil dikelola oleh bangsa Indonesia, itu pun sebagian besar sebatas dikomersialkan dalam bentuk bahan mentah saja, belum sampai ketahap pengelolaan lebih lanjut sehingga memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi," kata Hakeng.

Untuk itu, sudah saatnya bagi Indonesia fokus kembali ke maritim. Tidak berlebihan jika Indonesia memposisikan laut menjadi pusat pemecahan berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan.

Selanjutnya, Pendiri dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Ahli Keamanan dan Keselamatan Maritim Indonesia (AKKMI) ini menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Salah satu poin di PP tersebut adalah diperbolehkannya ekspor pasir laut ke Singapura.

Hakeng melihat PP itu berpotensi merugikan Indonesia baik dari sisi Ketahanan Nasional hingga sisi ekosistem laut dan masyarakat pesisir yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Pengerukan pasir laut yang kemudian diekspor ke Singapura menurut dugaan DR (HC) Capt Hakeng akan dipakai untuk memperluas daerah daratan Singapura.

"Hal itu tentu akan mempengaruhi batas wilayah antara Singapura dan Indonesia. Potensi terjadinya konflik pertahanan dan keamanan dapat terjadi. Konflik perbatasan tidak menutup kemungkinan terjadi dengan negara ASEAN lainnya yang bertetangga dengan Singapura," katanya.

Indonesia sebagai negara maritim, kata Hakeng, belum menyadari posisinya saat ini. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, tapi bangsa Indonesia masih fokus pada urusan sebagai negara agraris. Padahal daratan hanyalah sepertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia. Bangsa Indonesia telah terlalu lama memunggungi lautan, sehingga sulit bagi bangsa Indonesia melakukan akselerasi menjadi bangsa besar. Jika potensi besar itu digarap dengan baik, tentu Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang besar dengan cepat.

"Untuk mempercepat hal tersebut saya tidak dapat bekerja sendiri, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi pemikir di bidang maritim dari bangsa Indonesia yang harus dilahirkan. Karenanya saya selalu mendorong banyak pihak di Indonesia untuk fokus akan hal ini," katanya.

Hakeng menegaskan, setiap bangsa memiliki jalurnya masing-masing untuk menjadi besar di dunia. India dengan populasinya serta kemampuannya di bidang teknologi telah menjadi sebuah bangsa yang besar. "Untuk bangsa Indonesia, saya memiliki keyakinan bahwa jalur Indonesia menjadi bangsa yang besar adalah dengan menjadi bangsa maritim," katanya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1824 seconds (0.1#10.140)