Pemerintah Perlu Gaungkan Narasi Positif untuk Imbangi Isu People Power
loading...
A
A
A
JAKARTA - Istilah people power makin sering digaungkan oleh oposisi pemerintah menjelang Pemilu 2024. Pemerintah dinilai perlu menggaungkan narasi sebaliknya untuk mengimbangi gerakan tersebut.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menjelaskan, istilah people power yang dipahami di beberapa negara berarti menggulingkan pemerintahan yang sah. Karena bersifat tidak konstruktif, gerakan people power bisa menimbulkan dampak jatuhnya korban jiwa.
"Seandainya ada kekurangan pemerintah, apa salahnya dikritik, didemo, atau diajak berdialog yang berbasis fakta, data, dan bukti. Tidak serta-merta melakukan people power dalam pengertian menggulingkan kekuasaan, karena konsekuensinya itu tidak baik dan berpotensi menabrak konstitusi," kata Emrus menanggapi adanya pertemuan bertajuk Rakyat Bertanya, Kapan People Power? di Kota Solo, Kamis (22/6/2023).
Ketidakpuasan kelompok terhadap pemerintah selalu dibarengi dengan narasi bahwa pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Menghadapi gerakan ini diperlukan narasi antitesisnya, yaitu seruan untuk mendukung pemerintah karena masyarakatnya bahagia, sejahtera, nyaman, dan tetap dalam kebhinekaan di bawah kepemimpinan presiden saat ini.
"Saya kira perlu juga digerakkan people power yang mendukung Pemerintah. Supaya pengertian people power ini tidak hanya dimaknai sebagai menurunkan pemerintah. Mari kita berdemo people power dengan kekuatan rakyat untuk mendukung pemerintah karena kinerjanya yang sangat luar biasa di bawah kepemimpinan Pak Joko Widodo," ujarnya.
Terkait politik identitas yang kerap menyertai narasi people power, Direktur Eksekutif Emrus Corner itu menegaskan, dalam segala hal, khususnya Pemilu, tidak boleh ada politik identitas. Menurutnya, manusia lahir sejak lahir memiliki identitas berbeda satu dengan lainnya.
"Dua manusia kembar ke bumi yang sama, pasti tidak sama identitasnya. Laki-laki dan perempuan, apakah identitasnya sama? Sesama perempuan saja punya identitas yang berbeda, apalagi dengan yang berbeda gendernya," katanya.
Menurut Emrus, orang yang mempertentangkan identitas, tidak paham tentang hakikat manusia. Sayangnya seruan people power dalam pengertian negatif, seringkali dibumbui dengan isu politik identitas yang sempit.
Emrus berharap kalangan oposisi pemerintah melahirkan tindakan rasional dan berwacana berdasarkan gagasan solutif, bukan memainkan politik identitas, sehingga bisa menjadi antitesis berkualitas.
Selain itu juga perlu ada pengelolaan informasi yang baik dari pemerintah, sehingga bisa menangkal sentimen negatif yang dimainkan kelompok tertentu. Salah satunya bisa dengan membentuk atau memperkuat suatu badan yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden untuk mengelola informasi yang beredar di ruang publik.
"Fungsinya adalah menjadi leading sector di bidang komunikasi. Jangan begitu ada isu kita baru meng-counter karena itu tidak efektif. Lebih baik kita menganalisa kemungkinan isu yang akan terjadi, bahkan sebelum isu itu muncul sudah bisa kita sampaikan kontra narasinya. Tujuannya agar manajemen komunikasi pemerintah menjadi leading sector, bukan menjadi ekor ataupun seperti pemadam kebakaran," katanya.
Ia menyayangkan bila masih ada tokoh dalam perpolitikan Indonesia yang cenderung membuat keruh suasana di masyarakat. Ia menganggap, justru yang dibutuhkan saat ini adalah pernyataan-pernyataan yang mempersatukan anak bangsa agar bisa menjawab tantangan dunia ke depannya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menjelaskan, istilah people power yang dipahami di beberapa negara berarti menggulingkan pemerintahan yang sah. Karena bersifat tidak konstruktif, gerakan people power bisa menimbulkan dampak jatuhnya korban jiwa.
"Seandainya ada kekurangan pemerintah, apa salahnya dikritik, didemo, atau diajak berdialog yang berbasis fakta, data, dan bukti. Tidak serta-merta melakukan people power dalam pengertian menggulingkan kekuasaan, karena konsekuensinya itu tidak baik dan berpotensi menabrak konstitusi," kata Emrus menanggapi adanya pertemuan bertajuk Rakyat Bertanya, Kapan People Power? di Kota Solo, Kamis (22/6/2023).
Ketidakpuasan kelompok terhadap pemerintah selalu dibarengi dengan narasi bahwa pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal dalam menyejahterakan rakyatnya. Menghadapi gerakan ini diperlukan narasi antitesisnya, yaitu seruan untuk mendukung pemerintah karena masyarakatnya bahagia, sejahtera, nyaman, dan tetap dalam kebhinekaan di bawah kepemimpinan presiden saat ini.
"Saya kira perlu juga digerakkan people power yang mendukung Pemerintah. Supaya pengertian people power ini tidak hanya dimaknai sebagai menurunkan pemerintah. Mari kita berdemo people power dengan kekuatan rakyat untuk mendukung pemerintah karena kinerjanya yang sangat luar biasa di bawah kepemimpinan Pak Joko Widodo," ujarnya.
Terkait politik identitas yang kerap menyertai narasi people power, Direktur Eksekutif Emrus Corner itu menegaskan, dalam segala hal, khususnya Pemilu, tidak boleh ada politik identitas. Menurutnya, manusia lahir sejak lahir memiliki identitas berbeda satu dengan lainnya.
"Dua manusia kembar ke bumi yang sama, pasti tidak sama identitasnya. Laki-laki dan perempuan, apakah identitasnya sama? Sesama perempuan saja punya identitas yang berbeda, apalagi dengan yang berbeda gendernya," katanya.
Menurut Emrus, orang yang mempertentangkan identitas, tidak paham tentang hakikat manusia. Sayangnya seruan people power dalam pengertian negatif, seringkali dibumbui dengan isu politik identitas yang sempit.
Emrus berharap kalangan oposisi pemerintah melahirkan tindakan rasional dan berwacana berdasarkan gagasan solutif, bukan memainkan politik identitas, sehingga bisa menjadi antitesis berkualitas.
Selain itu juga perlu ada pengelolaan informasi yang baik dari pemerintah, sehingga bisa menangkal sentimen negatif yang dimainkan kelompok tertentu. Salah satunya bisa dengan membentuk atau memperkuat suatu badan yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden untuk mengelola informasi yang beredar di ruang publik.
"Fungsinya adalah menjadi leading sector di bidang komunikasi. Jangan begitu ada isu kita baru meng-counter karena itu tidak efektif. Lebih baik kita menganalisa kemungkinan isu yang akan terjadi, bahkan sebelum isu itu muncul sudah bisa kita sampaikan kontra narasinya. Tujuannya agar manajemen komunikasi pemerintah menjadi leading sector, bukan menjadi ekor ataupun seperti pemadam kebakaran," katanya.
Ia menyayangkan bila masih ada tokoh dalam perpolitikan Indonesia yang cenderung membuat keruh suasana di masyarakat. Ia menganggap, justru yang dibutuhkan saat ini adalah pernyataan-pernyataan yang mempersatukan anak bangsa agar bisa menjawab tantangan dunia ke depannya.
(abd)