Ganjar dan Prabowo Butuh Cawapres yang Tidak Pro atau Kontra Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pilpres 2024 mencatatkan sejarah penting. Untuk kali pertama penentuan sosok cawapres berjalan cukup panjang dan begitu menguras perhatian masyarakat luas. Ini lantaran belum satu pun capres atau koalisi parpol yang mengumumkan cawapres. Pada titik inilah, sosok cawapres diakui menjadi faktor yang cukup dominan untuk ikut menentukan hasil akhir Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memberikan berpendapat sagat penting bagi parpol dan koalisi parpol untuk menentukan pasangan capres-cawapres secara tepat. Sosok cawapres yang diusung harus berdaya jual tinggi.
“Mau tidak mau cawapres ini menjadi penting karena tolok ukur untuk mengumpulkan semua suara yang sekarang diperebutkan bertiga (Prabowo, Ganjar, Anies) misalnya sekarang sudah diwacanakan bertiga itu,” kata Dedi dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji” secara daring, Sabtu (17/6/2023).
Nilai strategis cawapres, kata Dedi, terletak pada seberapa besar massa pendukung dan kemampuannya menaikkan elektabilitas capres, sekaligus parpol koalisi.
“Itu akan ditentukan siapa yang paling memiliki massa besar sekaligus memiliki daya dongkrak terhadap elektabilitas capres, sekaligus juga dari sisi partai politik yang mengusung atau koalisi,” sambungnya.
Lantas, Dedi pun membagikan bagaimana memunculkan tokoh-tokoh yang yang punya daya jual, dan juga tokoh yang menjadi antitesa daripada tokoh-tokoh yang muncul di Pemilu 2014 dan 2019. Harus dicari tokoh-tokoh yang bisa melawan hegemoni dari pertentangan di pemilu-pemilu sebelumnya. Artinya, 2024 akan menjadi pertempuran cawapres dari kelompok-kelompok yang kira-kira bisa menempatkan diri dan diterima oleh kelompok masyarakat, sekaligus diterima kelompok pemerintah.
Apalagi, Dedi melanjutkan bahwa Pilpres 2024 ini kental dengn isu keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung, yang ditunjukkan lewat endorsemen terhadap satu dua kandidat capres. Presiden juga memiliki basis massa relawan sendiri yang sudah ada sejak 2014 dan masih eksis sampai hari ini.
“Sehingga mau tidak mau harus ada tokoh cawapres itu bagi kelompok yang pro-pemerintah. Misalnya Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto mereka perlu tokoh-tokoh yang kira-kira punya penerimaan publik kontra pemerintah lebih besar untuk terpilih sebagai cawapresnya,” terangnya.
Merujuk pada hasil survei IPO, Dedi mengungkapkan ada nama-nama seperti TGB Zainul Majdi dan juga Erick Thohir. Alasannya, TGB termasuk tokoh yang dianggap semi berpihak pada pemerintah, karena Partai Perindo juga sejauh ini tidak menyatakan kontra atau menyatakan pro pemerintah, karena mereka berada di luar parlemen.
“Sehingga baik Perindo maupun TGB itu punya peluang karena dianggap tokoh tengah tadi itu,” imbuh Dedi.
Erick Thohir, menurut Dedi, karena meskipun Erick Thohir bagian dari pemerintahan Jokowi, tapi sisi lainnya Erick juga tidak berpartai, sehingga masih mungkin bagi tokoh-tokoh semacam Erick dan TGB itu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak luar yang sejauh ini kontra pemerintah.
Kemudian, sambung Dedi, perlu dilihat faktor demografisnya. Untuk PDIP dan Ganjar, sudah cukup banyak mendominasi Pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, PDIP maupun Ganjar belum bisa menguasai Jawa Barat bahkan Bali sekalipun belum dikuasai, maka Ganjar memerlukan tokoh yang menguasai luar Jawa agar membantu pemenangannya.
“Sehingga diperlukan tokoh-tokoh yang kemudian muncul dari luar Jawa, Kenapa? karena kalau kemudian diambil lagi dari tokoh Jawa maka ini akan tumpang tindih, karena bisa saja pemilih cawapres di Jawa itu sebetulnya juga sudah memilih PDIP atau pemilih Ganjar Pranowo,” terangnya.
“Jadi kalau disimpulkan yang pertama adalah cawapres harus punya daya ungkit terhadap capresnya, yang kedua partai politik juga harus melakukan koordinasi, konsolidasi agar daya ungkit partai itu juga berimbas pada dukungan elite di mitra koalisi yang akan diusulkan,” tandas Dedi.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memberikan berpendapat sagat penting bagi parpol dan koalisi parpol untuk menentukan pasangan capres-cawapres secara tepat. Sosok cawapres yang diusung harus berdaya jual tinggi.
“Mau tidak mau cawapres ini menjadi penting karena tolok ukur untuk mengumpulkan semua suara yang sekarang diperebutkan bertiga (Prabowo, Ganjar, Anies) misalnya sekarang sudah diwacanakan bertiga itu,” kata Dedi dalam Polemik MNC Trijaya yang berjudul “Cawapres Adalah Koentji” secara daring, Sabtu (17/6/2023).
Nilai strategis cawapres, kata Dedi, terletak pada seberapa besar massa pendukung dan kemampuannya menaikkan elektabilitas capres, sekaligus parpol koalisi.
“Itu akan ditentukan siapa yang paling memiliki massa besar sekaligus memiliki daya dongkrak terhadap elektabilitas capres, sekaligus juga dari sisi partai politik yang mengusung atau koalisi,” sambungnya.
Lantas, Dedi pun membagikan bagaimana memunculkan tokoh-tokoh yang yang punya daya jual, dan juga tokoh yang menjadi antitesa daripada tokoh-tokoh yang muncul di Pemilu 2014 dan 2019. Harus dicari tokoh-tokoh yang bisa melawan hegemoni dari pertentangan di pemilu-pemilu sebelumnya. Artinya, 2024 akan menjadi pertempuran cawapres dari kelompok-kelompok yang kira-kira bisa menempatkan diri dan diterima oleh kelompok masyarakat, sekaligus diterima kelompok pemerintah.
Apalagi, Dedi melanjutkan bahwa Pilpres 2024 ini kental dengn isu keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara langsung, yang ditunjukkan lewat endorsemen terhadap satu dua kandidat capres. Presiden juga memiliki basis massa relawan sendiri yang sudah ada sejak 2014 dan masih eksis sampai hari ini.
“Sehingga mau tidak mau harus ada tokoh cawapres itu bagi kelompok yang pro-pemerintah. Misalnya Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto mereka perlu tokoh-tokoh yang kira-kira punya penerimaan publik kontra pemerintah lebih besar untuk terpilih sebagai cawapresnya,” terangnya.
Merujuk pada hasil survei IPO, Dedi mengungkapkan ada nama-nama seperti TGB Zainul Majdi dan juga Erick Thohir. Alasannya, TGB termasuk tokoh yang dianggap semi berpihak pada pemerintah, karena Partai Perindo juga sejauh ini tidak menyatakan kontra atau menyatakan pro pemerintah, karena mereka berada di luar parlemen.
“Sehingga baik Perindo maupun TGB itu punya peluang karena dianggap tokoh tengah tadi itu,” imbuh Dedi.
Erick Thohir, menurut Dedi, karena meskipun Erick Thohir bagian dari pemerintahan Jokowi, tapi sisi lainnya Erick juga tidak berpartai, sehingga masih mungkin bagi tokoh-tokoh semacam Erick dan TGB itu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak luar yang sejauh ini kontra pemerintah.
Kemudian, sambung Dedi, perlu dilihat faktor demografisnya. Untuk PDIP dan Ganjar, sudah cukup banyak mendominasi Pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur, PDIP maupun Ganjar belum bisa menguasai Jawa Barat bahkan Bali sekalipun belum dikuasai, maka Ganjar memerlukan tokoh yang menguasai luar Jawa agar membantu pemenangannya.
“Sehingga diperlukan tokoh-tokoh yang kemudian muncul dari luar Jawa, Kenapa? karena kalau kemudian diambil lagi dari tokoh Jawa maka ini akan tumpang tindih, karena bisa saja pemilih cawapres di Jawa itu sebetulnya juga sudah memilih PDIP atau pemilih Ganjar Pranowo,” terangnya.
“Jadi kalau disimpulkan yang pertama adalah cawapres harus punya daya ungkit terhadap capresnya, yang kedua partai politik juga harus melakukan koordinasi, konsolidasi agar daya ungkit partai itu juga berimbas pada dukungan elite di mitra koalisi yang akan diusulkan,” tandas Dedi.
(muh)