Rawan Kriminalisasi, Kalangan Petani Soroti Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan , yang menyejajarkan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol berpotensi menjadi gerbang kriminalisasi. Hal ini juga mengancam hilangnya mata pencaharian para petani.
Pandangan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kabupaten Temanggung, Siyamin.
"Para petani dihadapkan pada rancangan regulasi yang tidak adil. Di dalam RUU Kesehatan ada aturan yang mau menyetarakan tembakau dan hasil tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol. Ini menyakiti hati kami yang sudah turun temurun menanam tembakau sebagai sumber penghidupan," kata Siyamin, Kamis (8/6/2023).
Selain itu, Ketua APTI Pamekasan, Samukrah, juga menilai, pasal tembakau yang ada dalam RUU Kesehatan itu sebagai bentuk penindasan kepada para petani.
"Sungguh ini niatan yang tidak masuk akal, apalagi tidak pernah disampaikan, padahal akan sangat berdampak bagi penghidupan petani tembakau," ucapnya.
Pamekasan dan Madura secara umum merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar dengan kontribusi mencapai 35 persen dari total produksi tembakau Jawa Timur.
Adapun kontribusi tembakau Jawa Timur terhadap produksi tembakau nasional mencapai sebesar 45 persen. Atas dasar itu pihaknya meminta Komisi IX DPR untuk secara bijaksana menghapus pasal-pasal tembakau dalam RUU Kesehatan dimaksud.
Sebab, dampak negatif dari aturan tersebut juga dapat merembet ke sektor produksi hasil tembakau dan sektor hilir di mana terdapat jutaan masyarakat Indonesia terlibat di dalamnya. Belum lagi dampak terhadap perekonomian negara karena industri tembakau setiap tahunnya menyumbang pendapatan dalam jumlah besar.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah, mengatakan memposisikan tembakau sejajar dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol bisa menjadi celah kriminalisasi.
"Saya bisa memahami ketika ada kelompok yang menolak RUU ini, khususnya terkait Pasal 154 itu dengan menilai RUU ini tidak rasional, diskriminatif, dan akan mengkriminalisasi para petani dan juga para perokok," ujarnya.
Potensi kriminalisasi dimaksud, kata Luluk, karena nantinya tembakau beserta produk turunannya akan disamakan dengan narkotika.
"Kan otomatis kalau ini disamakan, pasti ini juga akan sangat rawan terjadi kriminalisasi. Jadi, tidak ada kata telat untuk mengoreksi, karena sudah dibahas di komisi IX," sarannya.
Pandangan ini disampaikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kabupaten Temanggung, Siyamin.
"Para petani dihadapkan pada rancangan regulasi yang tidak adil. Di dalam RUU Kesehatan ada aturan yang mau menyetarakan tembakau dan hasil tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol. Ini menyakiti hati kami yang sudah turun temurun menanam tembakau sebagai sumber penghidupan," kata Siyamin, Kamis (8/6/2023).
Selain itu, Ketua APTI Pamekasan, Samukrah, juga menilai, pasal tembakau yang ada dalam RUU Kesehatan itu sebagai bentuk penindasan kepada para petani.
"Sungguh ini niatan yang tidak masuk akal, apalagi tidak pernah disampaikan, padahal akan sangat berdampak bagi penghidupan petani tembakau," ucapnya.
Pamekasan dan Madura secara umum merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar dengan kontribusi mencapai 35 persen dari total produksi tembakau Jawa Timur.
Adapun kontribusi tembakau Jawa Timur terhadap produksi tembakau nasional mencapai sebesar 45 persen. Atas dasar itu pihaknya meminta Komisi IX DPR untuk secara bijaksana menghapus pasal-pasal tembakau dalam RUU Kesehatan dimaksud.
Sebab, dampak negatif dari aturan tersebut juga dapat merembet ke sektor produksi hasil tembakau dan sektor hilir di mana terdapat jutaan masyarakat Indonesia terlibat di dalamnya. Belum lagi dampak terhadap perekonomian negara karena industri tembakau setiap tahunnya menyumbang pendapatan dalam jumlah besar.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah, mengatakan memposisikan tembakau sejajar dengan narkotika, psikotropika, dan alkohol bisa menjadi celah kriminalisasi.
"Saya bisa memahami ketika ada kelompok yang menolak RUU ini, khususnya terkait Pasal 154 itu dengan menilai RUU ini tidak rasional, diskriminatif, dan akan mengkriminalisasi para petani dan juga para perokok," ujarnya.
Potensi kriminalisasi dimaksud, kata Luluk, karena nantinya tembakau beserta produk turunannya akan disamakan dengan narkotika.
"Kan otomatis kalau ini disamakan, pasti ini juga akan sangat rawan terjadi kriminalisasi. Jadi, tidak ada kata telat untuk mengoreksi, karena sudah dibahas di komisi IX," sarannya.
(maf)