Distopia Kecerdasan Buatan: Ancaman AI yang Paling Berbahaya bagi Kemanusiaan
loading...
A
A
A
Ardiyansah, Digital Media Enthusiast
Senior Business Analyst, BINUS Digital
KITA sering membicarakan Artificial Intelligence (AI) dalam nuansa yang suram. Mulai yang paling "remeh" soal pencurian pekerjaan, hingga ancaman punahnya peradaban. Hal ini tentu beralasan, sebab bagaimanapun, arah perkembangan AI belum sepenuhnya terang benderang. Bidang pekerjaan kreatif yang menurut Kai-Fu Lee --penulis buku AI Superpowers: China, Silicon Valley, and The New World Order-- akan terdampak paling akhir, nyatanya saat ini juga turut terancam.
Kai-Fu Lee dikenal sebagai tokoh penyokong teknologi AI. Lee percaya bahwa AI dapat memberikan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Lee meyakini AI dapat membantu meningkatkan kualitas hidup manusia melalui perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, Lee juga menganjurkan perkembangan AI harus segera diregulasi. AI bisa sangat mengancam karena dapat dilatih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya seperti menyebarkan berita dusta, mencelakai hingga membunuh manusia. Bahkan dalam skala yang lebih mengerikan, menjadi mesin perang yang efektif dan tidak memiliki perasaan.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Geoffrey Hinton, sesepuh teknologi AI, yang baru-baru ini mengejutkan khalayak karena memilih mundur dari Alphabet Inc. --induk Google-- dan kini justru mengampanyekan bahaya AI. Hinton mengatakan, perkembangan AI saat ini bisa sangat tak terkendali dan mengancam. Hinton kerap menyinggung soal aktor-aktor jahat yang dapat menguasai dan memanfaatkan kecanggihan AI untuk kezaliman, seperti peperangan dan pembantaian massal, yang ujungnya adalah upaya untuk mengendalikan manusia. Hinton mengatakan hal tersebut sambil menyitir Machiavelli.
Hinton yang berjuluk "Bapak AI" dan pernah memenangkan Penghargaan Turing serta berkontribusi besar dalam perkembangan machine learning, deep learning, dan back propagation yang merupakan "roh" teknologi AI kontemporer, mengkhawatirkan kecerdasan buatan manusia ini dalam beberapa waktu ke depan akan melampaui kecerdasan biologis (otak) manusia dan bahkan menundukkan superioritas manusia. Parahnya, menurut Hinton, AI adalah "makhluk abadi" hasil ciptaan manusia yang fana. Sehingga menurut Hinton, manusia tidak akan mampu mengendalikan kekuatan sebesar itu. Bahaya AI, masih menurut Hinton, lebih nyata dibanding perubahan iklim.
Sinyal peringatan bahaya AI ini juga pernah dilontarkan oleh Elon Musk, tokoh teknologi terkemuka yang kontroversial dan banyak melahirkan ide-ide sableng. Musk pernah mengatakan bahwa AI jauh lebih berbahaya dibanding nuklir. Musk mengusulkan untuk memperlambat perkembangan AI karena risiko tersebut. Namun, belakangan Elon Musk justru menjadi salah satu tokoh yang mendalangi lahirnya ChatGPT, AI generatif paling fenomenal yang hanya butuh 5 hari untuk menggaet 1 juta pengguna pertama. Memang sableng!
Perkembangan AI kiwari menunjukkan grafik yang eksponensial. Popularitas AI generatif boleh dikatakan tak terduga dan potensial memicu gelombang perubahan selanjutnya. Diawali dengan ChatGPT, berturut-turut kemudian muncul platform AI generatif seperti Midjourney, Luma AI, Musicfy, dan lain-lain yang mengusung aneka layanan yang memudahkan (sekaligus mengancam) pekerjaan manusia. Namun, sebenarnya apa ancaman terbesar AI bagi kehidupan manusia?
Senior Business Analyst, BINUS Digital
KITA sering membicarakan Artificial Intelligence (AI) dalam nuansa yang suram. Mulai yang paling "remeh" soal pencurian pekerjaan, hingga ancaman punahnya peradaban. Hal ini tentu beralasan, sebab bagaimanapun, arah perkembangan AI belum sepenuhnya terang benderang. Bidang pekerjaan kreatif yang menurut Kai-Fu Lee --penulis buku AI Superpowers: China, Silicon Valley, and The New World Order-- akan terdampak paling akhir, nyatanya saat ini juga turut terancam.
Kai-Fu Lee dikenal sebagai tokoh penyokong teknologi AI. Lee percaya bahwa AI dapat memberikan manfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Lee meyakini AI dapat membantu meningkatkan kualitas hidup manusia melalui perbaikan layanan kesehatan dan pendidikan. Namun demikian, Lee juga menganjurkan perkembangan AI harus segera diregulasi. AI bisa sangat mengancam karena dapat dilatih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya seperti menyebarkan berita dusta, mencelakai hingga membunuh manusia. Bahkan dalam skala yang lebih mengerikan, menjadi mesin perang yang efektif dan tidak memiliki perasaan.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Geoffrey Hinton, sesepuh teknologi AI, yang baru-baru ini mengejutkan khalayak karena memilih mundur dari Alphabet Inc. --induk Google-- dan kini justru mengampanyekan bahaya AI. Hinton mengatakan, perkembangan AI saat ini bisa sangat tak terkendali dan mengancam. Hinton kerap menyinggung soal aktor-aktor jahat yang dapat menguasai dan memanfaatkan kecanggihan AI untuk kezaliman, seperti peperangan dan pembantaian massal, yang ujungnya adalah upaya untuk mengendalikan manusia. Hinton mengatakan hal tersebut sambil menyitir Machiavelli.
Hinton yang berjuluk "Bapak AI" dan pernah memenangkan Penghargaan Turing serta berkontribusi besar dalam perkembangan machine learning, deep learning, dan back propagation yang merupakan "roh" teknologi AI kontemporer, mengkhawatirkan kecerdasan buatan manusia ini dalam beberapa waktu ke depan akan melampaui kecerdasan biologis (otak) manusia dan bahkan menundukkan superioritas manusia. Parahnya, menurut Hinton, AI adalah "makhluk abadi" hasil ciptaan manusia yang fana. Sehingga menurut Hinton, manusia tidak akan mampu mengendalikan kekuatan sebesar itu. Bahaya AI, masih menurut Hinton, lebih nyata dibanding perubahan iklim.
Sinyal peringatan bahaya AI ini juga pernah dilontarkan oleh Elon Musk, tokoh teknologi terkemuka yang kontroversial dan banyak melahirkan ide-ide sableng. Musk pernah mengatakan bahwa AI jauh lebih berbahaya dibanding nuklir. Musk mengusulkan untuk memperlambat perkembangan AI karena risiko tersebut. Namun, belakangan Elon Musk justru menjadi salah satu tokoh yang mendalangi lahirnya ChatGPT, AI generatif paling fenomenal yang hanya butuh 5 hari untuk menggaet 1 juta pengguna pertama. Memang sableng!
Perkembangan AI kiwari menunjukkan grafik yang eksponensial. Popularitas AI generatif boleh dikatakan tak terduga dan potensial memicu gelombang perubahan selanjutnya. Diawali dengan ChatGPT, berturut-turut kemudian muncul platform AI generatif seperti Midjourney, Luma AI, Musicfy, dan lain-lain yang mengusung aneka layanan yang memudahkan (sekaligus mengancam) pekerjaan manusia. Namun, sebenarnya apa ancaman terbesar AI bagi kehidupan manusia?