Sensor Film: Orwelian Sudah Berlalu
loading...
A
A
A
Penentuan “batas usia penonton” sebenarnya sudah merupakan salah satu jalan keluar. Batasan usia penonton ini seperti “Aturan Pakai” dalam produk obat-obatan. Ia berfungsi menjadi panduan bagi siapa saja yang ingin meminum obat..
Dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cpta Kerja, masalah sensor diatur mulai pasal 57 sampai pasal 66. Di situ dikatakan bahwa semua film, termasuk iklan, yang hendak diedarkan dan dipertunjukkan untuk umum wajib memperoleh surat tanda lulus sensor (Pasal 57).
Hal itu ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Dalam PP inilah diatur lebih rinci mengenai pedoman penyensoran, kriteria penyensoran, penggolongan usia, dan lain-lain. Jadi, baik komisioner LSF maupun para pembuat film dapat melihat PP tersebut sebagai rujukan mengenai aneka hal yang berhubungan sengan sensor.
Kata “sensor” juga muncul di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal 47 Undang-Undang Penyiaran mengatakan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Maksudnya adalah Lembaga Sensor Film (LSF).
Selain itu, seluruh isi siaran dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Khusus mengenai film, meski telah mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari LSF, KPI tetap melakukan pengawasan sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan oleh KPI. Tetapi, menurut saya, KPI tidak boleh melakukan sensor ulang. KPI hanya boleh menentukan “jam siar” film yang sudah mendapat STLS dari LSF.
Alasan utama mengapa KPI melakukan pengawasan dan sensor (bukan film), karena penyiaran televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga serta dilindungi oleh Negara. Ia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sementara film, terutama bioskop, tidak ada urusan atau tidak menggunakan frekuensi publik. Selutuh rangkaian bisnis film adalah usaha swasta. Maka, baik LSF maupun KPI, sebaiknya tidak berperilaku seperti teleskrin, polisi pikiran, yang mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh dibuat oleh sineas, serta apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Era semacam itu sudah berlalu, sudah ketinggalan zaman.
Kode Etik Produksi yang rencananya akan dibuat oleh orang film juga dapat menjadi panduan umum tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam memproduksi film. Temasuk di dalamnya adalah perilaku para pekerja film sendiri pada saat berproduksi, terutama menyangkut penggunaan narkoba, bulliying, dan pelecehan seksual.
Selain itu, LSF secara resmi bisa saja diubah menjadi lembaga pemeringkat (rating). Dengan begitu tidak ada lagi keengganan atau ketakutan bagi pemilik film untuk mendaftarkan fiilmnya. Tetapi, itu harus diperjuangan, diperdebatkan, dalam rencana revisi undang-undang perfilman yang sekarang memang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.
Akhir kata, LSF ini hendak dipertahankan, dihapus atau sekadar diubah, semuanya terserah Anda. Selamat berdebat.
Dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman sebagaimana diubah dengan UU No. 11 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cpta Kerja, masalah sensor diatur mulai pasal 57 sampai pasal 66. Di situ dikatakan bahwa semua film, termasuk iklan, yang hendak diedarkan dan dipertunjukkan untuk umum wajib memperoleh surat tanda lulus sensor (Pasal 57).
Hal itu ditegaskan lagi dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Dalam PP inilah diatur lebih rinci mengenai pedoman penyensoran, kriteria penyensoran, penggolongan usia, dan lain-lain. Jadi, baik komisioner LSF maupun para pembuat film dapat melihat PP tersebut sebagai rujukan mengenai aneka hal yang berhubungan sengan sensor.
Kata “sensor” juga muncul di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagaimana diubah dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal 47 Undang-Undang Penyiaran mengatakan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Maksudnya adalah Lembaga Sensor Film (LSF).
Selain itu, seluruh isi siaran dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Khusus mengenai film, meski telah mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari LSF, KPI tetap melakukan pengawasan sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang ditetapkan oleh KPI. Tetapi, menurut saya, KPI tidak boleh melakukan sensor ulang. KPI hanya boleh menentukan “jam siar” film yang sudah mendapat STLS dari LSF.
Alasan utama mengapa KPI melakukan pengawasan dan sensor (bukan film), karena penyiaran televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga serta dilindungi oleh Negara. Ia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sementara film, terutama bioskop, tidak ada urusan atau tidak menggunakan frekuensi publik. Selutuh rangkaian bisnis film adalah usaha swasta. Maka, baik LSF maupun KPI, sebaiknya tidak berperilaku seperti teleskrin, polisi pikiran, yang mengontrol apa yang boleh dan tidak boleh dibuat oleh sineas, serta apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat. Era semacam itu sudah berlalu, sudah ketinggalan zaman.
Kode Etik Produksi yang rencananya akan dibuat oleh orang film juga dapat menjadi panduan umum tentang apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan dalam memproduksi film. Temasuk di dalamnya adalah perilaku para pekerja film sendiri pada saat berproduksi, terutama menyangkut penggunaan narkoba, bulliying, dan pelecehan seksual.
Selain itu, LSF secara resmi bisa saja diubah menjadi lembaga pemeringkat (rating). Dengan begitu tidak ada lagi keengganan atau ketakutan bagi pemilik film untuk mendaftarkan fiilmnya. Tetapi, itu harus diperjuangan, diperdebatkan, dalam rencana revisi undang-undang perfilman yang sekarang memang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR.
Akhir kata, LSF ini hendak dipertahankan, dihapus atau sekadar diubah, semuanya terserah Anda. Selamat berdebat.
(wur)