Serangan Subuh Idulfitri, Pasukan Siliwangi Tembak Mati Pentolan Pemberontak Paling Dicari

Jum'at, 21 April 2023 - 06:18 WIB
loading...
Serangan Subuh Idulfitri,...
Kahar Muzakkar. Foto/Dok MPI
A A A
JAKARTA - Tak seperti kebanyakan masyarakat muslim Indonesia yang sedang bergembira menyambut Idulfitri, satu pasukan TNI dengan kekuatan tempur penuh justru berjibaku menyisir rimba belantara Sulawesi. Mata dan telinga dibuka lebar-lebar dengan senapan di tangan siap menyemburkan peluru tajam.

Hari itu pengujung bulan Ramadan, 2 Februari 1965. Empat kompi pasukan Batalyon Infanteri 330/Para Kujang I Kodam Siliwangi yang diterjunkan dalam Operasi Kilat mengepung hutan dengan Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Di tempat itu pentolan pemberontak paling dicari negara, Abdul Kahar Muzakkar, terdeteksi.

Yonif 330/ Para Kujang I bertugas di bawah pimpinan Mayor Yogie S Memet, membantu Kodam Hasanuddin yang dikomando Kolonel M Jusuf. Kelak, Jusuf menjadi Panglima ABRI dan Yogie Danjen Kopassus. Pengepungan Kahar dipimpin Kolonel Solichin GP.



Dalam Operasi Kilat ini, turut dilibatkan pula Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Kehadiran pasukan elite Baret Merah ini diharapkan bisa menutup akses bagi Kahar dan kelompoknya untuk lari. Intinya, semua pasukan telah memenuhi semua sisi gunung tempat persembunyian pemimpin pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sulawesi Selatan tersebut.

“Tepat pukul 04.00 subuh, satu peleton pasukan Kujang I mulai bergerak melakukan penyusupan senyap hingga jarak sangat dekat tanpa diketahui lawan,” kata Iwan Santosa dan EA Negara dalam buku ‘Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus’ (halaman 156), dikutip Jumat (21/4/2023).


Detik-detik Terakhir Kahar Muzakkar

Perburuan Kahar Muzakkar melalui jalan berliku. La Domeng, panggilan masa kecil Kahar, menempuh jalan pemberontakan sejak 1952 dengan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bentukan SM Kartosoewirjo.

Pada 7 Agustus 1953, Kahar memproklamirkan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Dia sekaligus diangkat menjadi Panglima Divisi IV TII.

Sebulan sebelumnya atau pada Januari 1965, seorang perwira kepercayaan Kahar, yakni Letkol TII Kadir Junus menyerah kepada TNI. Dia lantas membocorkan tempat persembunyian Kahar, yakni di sekitar Sungai Lasolo. Tetapi menurut M Jusuf, kepastian lokasi La Domeng didapat pada 22 Januari 1965.

“Suatu tim RPKAD menyergap sekelompok orang di sekitar Lawate. Di antara dokumen-dokumen yang disita terdapat surat-surat yang masih baru, yang ditulis oleh Kahar Muzakkar ditujukan kepada Mansjur,” tutur Atmaji Sumarkidjo dalam ‘Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit’ (halaman 109).

Informasi ini selanjutnya diteruskan ke Yogie S Memet, kemudian diteruskan ke lapangan. Hari itu, 2 Februari 1965, pasukan Kujang I yang menyisir hutan mendapati seseorang membawa senjata naik rakit di Sungai Lasolo yang sedang banjir.

Peltu Umar, pemimpin Peleton I/Kompi D memerintahkan anak buahnya untuk tidak bergerak. Mereka mengamati pergerakan itu. Rakit ternyata menuju ke sebuah perkemahan yang terdiri atas sejumlah bivak berjajar di tepi sungai.

Di sana tim Peltu Umar melihat lebih banyak lagi orang mandi. Sayup-sayup terdengar lagi dari suara radio transistor. “Lagu yang keluar adalah Kenang-kenangan. Menurut penunjuk jalan, ini lagu kesayangan Kahar,” tulis Atmaji.

Baru pada dini hari 3 Februari Umar memerintahkan pasukannya mengepung perkemahan. Empat prajurit ditinggal di seberang sungai untuk mencegah lawan yang sekiranya nanti melarikan diri.

Pasukan Para Kujang ini mengepung seraya menunggu terang. Pukul 04.00, beberapa orang keluar bivak dan berjalan menuju sungai. Khawatir mereka melakukan sesuatu, empat prajurit TNI di seberang sungai menghujani tembakan.

Rentetan tembakan itu lantas diikuti puluhan prajurit yang telah mengepung perkemahan Kahar. Pagi buta itu pecah dengan baku tembak yang menggelegar. Hanya sekitar lima menit.

Dalam suasana pagi buta yang masih samar-sama tersebut tampak seseorang keluar dan berlari membawa sesuatu. Prajurit Kujang mengira barang di tangan orang tersebut granat.

Tak mau mengambil risiko, Kopral III Sadeli menembakkan rentetan senapan Thompson. Tiga peluru bersarang di tubuh pria itu yang membuatnya roboh bersimbah darah. Kala fajar mulai menyingsing, mayat-mayat yang berserakan dikumpulkan.

“Akhirnya diyakini salah satu yang tewas adalah Kahar Muzakkar, orang paling ditakuti sejak 1950 dan yang mengangkat dirinya sebagai Khalifah RPII,” kata Atmadji.

Kahar meninggal akibat terjangan peluru pada pagi buta 3 Februari 1965 itu, bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri. Kematian itu mengakhiri sepak terjang Kahar, sosok yang semula dikenal sebagai sosok patriotik pembela bangsa.

Pada mulanya seorang nasionalis. Dia bahkan dikenal pernah menjadi pengawal Presiden Soekarno. Namun kekecewaan terhadap pemerintah membuat dia mengambil jalan pemberontakan. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, Kahar ikut mengawal Presiden Soekarno.

Pemberontakan Kahar mula-mula dipicu kekecewaan mendalam. Menurut Sejarawan Universitas Indonesia (UI) Anhar Gonggong, kekecewaan itu persisnya ketika Kolonel Alex Kawilarang menolak Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) bentukan Kahar masuk Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).

Penolakan itu membikin La Domeng merasa gagal mengembalikan harga dirinya sebagai orang Bugis-Makassar. Kahar berikut KGSS lalu memutuskan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo pada 20 Agustus 1952.

Meski riwayatnya berakhir, namun bagian sebagian masyarakat Sulawesi terutama Luwu, masih ada yang memercayai Kahar masih hidup.
(rca)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1503 seconds (0.1#10.140)