Kental Komersialisasi, RUU Cipta Kerja Tak Angkat Mutu Pendidikan

Selasa, 21 Juli 2020 - 10:05 WIB
loading...
Kental Komersialisasi, RUU Cipta Kerja Tak Angkat Mutu Pendidikan
Unjuk rasa mahasiswa menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. RUU ini dinilai tidak memperbaiki mutu pendidikan karena lebih condong pada komersialisasi. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Revisi sejumlah undang-undang terkait pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dinilai jauh dari upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) menyebut bahwa RUU Cipta Kerja hanya mementingkan para investor saja.

“RUU ini hanya untuk investor, bukan untuk perbaikan mutu pendidikan. Makanya DPR harus mengeluarkan UU Sisdiknas dan UU Dosen Guru,” kata anggota Tim Kajian RUU Cipta Kerja FGII, Halimson Redis dalam diskusi daring, Senin (20/7/2020).

Dalam draf RUU Cipta Kerja, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (Dikti), UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, serta UU No 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran ikut direvisi.

(Baca: Buka Keran Investasi, RUU Cipta Kerja Dinilai Bukan Solusi Pendidikan)

Namun alih-alih memperkuat upaya perbaikan kualitas pendidikan, Halimson justru menilai RUU Cipta Kerja dipaksakan untuk bisa mengakomodir banyak permasalahan. Padahal, karakteristik satu sama lain sangat berbeda. Di antaranya yaitu masalah pendidikan dan kebudayaan, perikanan, perumahan, koperasi, ketenagakerjaan, transportasi, lingkungan hidup serta aspek perekonomian lainnya.

“RUU itu memposisikan pendidikan dan kebudayaan, khususnya Sisdiknas, guru, tenaga kependidikan dan dosen sebagai bagian dari masalah tersebut. Tetapi pada konsideran menimbang, justru tidak kita temukan, hal-hal untuk jadi pertimbangan yang terkait itu,” terang guru dari Jubilee School Jakarta itu.

Halimson menilai pembahasan omnibus law tersebut seharusnya dilakukan untuk perubahan UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen secara utuh. Bila tidak ada perbaikan dengan menerima masukan dari publik, DPR dan pemerintah harus mengeluarkan materi UU Sisdiknas serta UU Guru dan Dosen dari bagian pembahasan RUU Cipta Kerja.

(Baca: Pusat Studi IPB Sebut RUU Cipta Kerja Memundurkan Reforma Agraria)

Parahnya lagi, menurut Halimson, sektor pendidikan dalam substansi RUU Cipta Kerja telah mengarah pada komersialisasi, privatisasi, neoliberal, dan kapitalisme. Salah satunya, bisa dilihat dalam revisi Pasal 53 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Pasal 53 ayat (1) disebutkan bahwa penyelenggaraan dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Pasal 53 ayat (3) menyebut badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Namun, RUU Cipta Kerja merevisi ketentuan itu sehingga badan hukum pendidikan ‘dapat berprinsip nirlaba’. Jika beleid itu disahkan, Halimson meyakini lembaga pendidikan tidak harus berbentuk yayasan.

“Akibatnya, akan terjadi komersialisasi pendidikan yakni berbiaya mahal dan sulit dijangkau masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat miskin bakal semakin sulit mengakses pendidikan yang berkualitas.

Lantaran itu, FGII mendesak agar pembahasan RUU Cipta Kerja itu harus dikaji ulang. Terlebih lagi, mengenai UU Sisdiknas serta UU Dosen dan Guru yang perlu dibahas secara khusus dan utuh dengan melibatkan publik, seperti kalangan guru, akademisi, lembaga pendidikan, dan lainnya.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3217 seconds (0.1#10.140)