Stoikisme dalam Film The Acts of Vengeance

Sabtu, 08 April 2023 - 10:40 WIB
loading...
Stoikisme dalam Film The Acts of Vengeance
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Stoikisme yang kini popular di kalangan anak muda Indonesia, sudah lama juga digemari di dunia Barat. Bahkan ajaran yang salah satunya dipelopori oleh Markus Aurelius itu masuk atau menjadi bagian film yang dibintangi oleh Antonio Banderas. Beberapa adegan dalam filmnya seakan-akan bisa “berubah” atau “tergantung” apa kata Markus Aurelius dalam buku “Meditation”. Jadi Stoikisme tak hanya menjadi inspirasi atau latar belakang sebuah cerita, tetapi ditampilkan secara langsung melalui beberapa adegannya.

Apa itu Stoikisme? Gambaran umumnya, Stoikisme adalah cara berpikir atau falsafah hidup populer yang dianggap berguna dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari. Ia mengajarkan orang untuk hidup lebih tenang dalam situasi sulit. Ia membantu berpikir logis, menjernihkan pikiran, dan membuat keputusan yang tepat. Stoikisme mengajarkan kita bersyukur atas apa yang kita miliki. Kita harus menerima keadaan yang tidak kita bisa ubah dan mengubah apa yang kita bisa ubah. Tujuan utama aliran ini adalah pengendalian diri agar mencapai ketenangan dan kebahagiaan.

Markus Aurelius menganjurkan bahwa dalam hidup ini kita harus mewaspadai pikiran; berpasrah kepada apa pun kejadian yang diberikan nasib, dan selalu memilih bertindak membantu manusia lainnya. Pusat pemikiran Markus adalah mengejar kebahagiaan. Filsafat dimengerti sebagai seni dan praktik yang hendak membebaskan manusia dari ketakutannya yang paling mendasar, yaitu kematian. Rasa takut adalah emosi yang perlu didalami dan diluruskan.

Film yang saya maksudkan adalah The Acts of Vengeance. Ini bukan film baru, tetapi juga belum terlalu lama. Ia beredar pada 2017, ditulis oleh Matt Venne, dibintangi oleh Antonio Banderas, dan disutradari oleh Isaac Florentine. Produksi Millenium Media ini juga sudah pernah diputar di televisi Indonesia pada 2021. Saat ini, Anda masih bisa menyaksikan film ini di Netflix. Kisahnya tentang balas dendam seorang pengacara atas kematian anak dan istrinya akibat pembunuhan.

Frank Valera (Antonio Banderas) adalah seorang pengacara pidana yang bekerja di Pittsburgh, Amerika Serikat. Ia biasa membela tersangka kejahatan. Pada suatu hari, putrinya, Olivia (Lillian Blankenship) yang cantik itu hendak mengikuti audisi dalam acara Talent Show Junior. Dia meminta agar ayahnya ikut menonton.

Namun, karena kesibukan di kantor dan kemacetan jalanan, ia terlambat datang. Pertunjukan sudah bubar ketika ia sampai di lokasi acara. Ia hanya mendapat kiriman video ketika Olivia menyanyikan lagu kesayangan mereka berdua: All I Have To Do is Dream.

Frank berusaha menghubungi istrinya, Susan (Christina Serafini), via telepon selular, tapi tidak berhasil. Hingga akhirnya polisi datang mengabari adanya peristiwa sadis itu. Anak dan istrinya telah meninggal. Jenazahnya dibuang di got dalam keadaan mengerikan. Diduga anak dan istrinya telah dibantai oleh mafia Rusia. Di pemakaman, sang mertua pun marah dan tak ingin mendengar suara Frank Valera lagi.

Frank Valera yang tampak linglung itu mulai gemar mabuk. Ia menemui detektif Lustiger (Jonathan Schaech), yang memberi tahu bahwa ada serat benang emas di tempat kejadian perkara (TKP). Frank ingin agar kepolisian berusaha lebih keras lagi. Frank merasa bersalah atas kematian istri dan anaknya. Dia lalu menghukum dirinya sendiri dengan mabuk dan membiarkan dirinya dihajar dalam pertandingan tinju amatiran yang brutal. Ini semacam penebusan dosa.

Frank yang hampir putus asa bertemu dengan Hank Strode (Karl Urban), salah seorang polisi di Pittsburgh. Hank Strode juga sesekali ikut dalam pertandingan tinju amatiran itu. Oleh Hank Strode, Frank diberi tahu bahwa kasusnya mandek. Pihak kepolisian tidak bisa berbuat banyak karena kasus pembunuhan keluarga Frank hampir tak terpecahkan.

Dalam perjalanan pulang, di jalanan, ia bertemu dengan seorang pelacur cilik (13 tahuan) yang berusaha merayunya. Lalu muncul sejumlah pemuda yang mengeroyoknya. Pisau pengeroyok yang jatuh itu lalu diambil oleh pelacur cilik dan langsung ditikamkan ke kaki kiri Frank Valera. Ia roboh ke dalam sebuah toko buku. Untuk menutupi lukanya, ia menyambar sebuah buku apa saja untuk menutup dara yang mengucur. Ternyata buku yang dia ambil itu adalah karya Markus Aurelius yang berjudul “Meditation”.

Ia sekilas membuka buku itu dan terbacalah: “Hukumlah Hanya yang Bersalah” (Ini Bagian II dari buku Meditasi). Selama ini dia menghukum dirinya sendiri atas kematian anak dan istrinya, padahal dia bukan yang membunuh mereka. Dia kini sadar telah menghukum orang yang salah. Bagi Frank, menemukan buku itu adalah sebuah pertanda. Sampai di rumah, ia membaca lagi buku itu dan tertulis: “Mungkin bagi orang lain, mungkin bagimu”.

Intinya, buku itulah yang mengubah sudut pandangnya, mengubah hidupnya. Frank yang tadinya tak mengenal ilmu bela diri mulai berlatih karate, jiu-jitsu, dan meningkatkan kemampuan fisiknya.

Di rumah, ia terus membaca buku Meditasi itu. “Kata-kata adalah pendapat, bukan fakta. Tindakan adalah satu-satunya kebenaran”. Buku Meditasi yang ditulis 2.000 tahun lalu itu menjadi dasar dari Stoikisme. Penganut Stoikisme akan bersumpah diam demi fokus pada tugas tertentu.

Karena itu, Frank kemudian bersumpah untuk diam, sampai dia berhasil membalas dendam pada pembunuh anak dan istrinya. Sejak itu, hampir sepanjang film, Frank mempraktekkan “ajaran diam” itu. Dengan diam, kemampuan inderanya yang lain, yakni pendengaran, meningkat drastis.

Suatu hari ia kembali ke tempat kejadian perkara. Di sana ia sempat masuk ke tempat tinggal seorang tunawisma, tapi kosong. Ia malah dikeroyok oleh beberapa orang anggota genk Rusia. Tapi Frank tahu bukan mereka yang melakukan pembunuhan. Akibat tertembak, ia jatuh pingsan dan ditolong oleh Alma (Paz Vega), seorang perawat di sebuah rumah sakit. Alma juga sukarelawan yang membantu tunawisma di sekitar lokasi kejadian. Selama ini Alma menjadi korban pemerasan mafia Rusia yang selalu memintanya mencuri beberapa jenis obat dari rumah sakit sebagai upeti.

Di hari lain, berkat bantuan anjing pelacak, Frank menemukan dompet istrinya. Ia lalu berpikir bahwa tunawisma yang tinggal di salah satu peti kemas itu mestinya bisa menjadi saksi penting tentang apa yang terjadi di malam pembunuhan. Di layar kemudian tertulis: “Tidak ada yang menghalangimu untuk melakukan apa yang harus dilakukan” (Ini dari Bagian III Buku Meditasi).
Suatu malam, di TKP, Frank melihat si tunawisma, Shivers (Clint Dyer), itu datang dengan batuk-batuk kering yang selalu terdengar. Frank mendekati, tapi tunawisma itu segera meloncat turun dan kabur. Frank mendapat sedikit petunjuk dari Alma bahwa Shivers bekerja sebagai koki di sebuah restoran lokal. Menurut Alam, batuk Tuan Shivers sangat khas sehingga mudah dikenali. Lalu muncul Bagian IV dari buku Meditasi: “Mengharapkan orang jahat untuk tidak berbuat salah adalah kegilaan.”

Benar saja, Frank mendengar batuk yang khas itu dari dapur sebuah restoran. Ia langsung menghajar Shivers agar memberikan keterangan. Akhirnya Shivers menceritakan bahwa ia melihat apa yang terjadi di malam kejadian pembunuhan itu. Ternyata pelakunya adalah seorang polisi, yang membunuh anak dan istrinya itu di sebuah gudang dan membuangnya di got.

Dompet istrinya yang ketinggalan diambil oleh Shivers, tetapi ia hanya mengambil uangnya.Selama ini dia tidak berani melaporkan kejadian itu kepada polisi karena hidupnya sendiri sudah penuh masalah. Dia tidak ingin berurusan dengan polisi.

Selanjutnya Frank menyusup ke ruangan Lustiger di kantor polisi untuk mencari tahu siapa yang bertugas patroli di malam terjadinya pembunuhan. Dan dia terkejut ketika melihat siapa yang bertugas malam itu, yang ternyata adalah Hank Strode, polisi yang dia temui di restoran dan sekaligus tempat adu tinju ilegal itu. Lalu muncul teks: “Balas dendam terbaik adalah tidak menjadi seperti musuhmu (Bagian V buku Meditasi).

Setelah melakukan pengintaian berhari-hari, Frank kemudian masuk ke rumah Hank Strode. Di sana ia menemukan jaket polisi dengan badge yang dibordir dengan serat benang emas. Badge itu sedikit lepas dari jaketnya atau terkelupas. Frank juga menemukan tas yang berisi beberapa majalah dengan gambar sampul wajahnya sebagai pengacara kriminal yang terbaik. Juga kliping berita tentang pembunuhan seorang anak perempuan berusia 12 tahuan, yang tak lain adalah anak Hank Strode.

Dan Frank adalah pengacara si terduga pelaku pembunuhan anaknya, yang berhasil dibebaskan. Juga ada kamera yang berisi foto-foto keluarga Frank sampai acara pemakaman anak dan istrinya. Rupanya, Hank Strode menaruh dendam pada Frank. Ia ingin Frank juga merasakan apa yang dia rasakan.

Frank mengambil kamera itu dan meninggalkan pesan untuk Strode agar datang ke sebuah gudang pada pukul 11 malam. Hank Strode benar-benar datang ke tempat yang diminta Frank. Maka terjadilah sebuah perkelahian yang seru. Mereka saling menjatuhkan. Lalu, singkat cerita, ketika Frank memperoleh peluang untuk menghabisi nyawa lawannya, terdengar suara hatinya: “Aku sangat ingin membunuh monster di hadapanku. Tapi itu tak akan membuatku lebih baik darinya. Karena penganut Stoik terhebat pernah berkata, Balas dendam terbaik adalah tidak seperti musuhmu.”

Maka, Frank batal menusukkan benda tajam yang digenggamnya itu untuk menghabisi nyawa Strode. Ia memilih melakukan pukulan keras dengan tangan yang membuat Strode pingsan. Andai saja ia tidak ingat kutipan dari buku Meditasi, pastilah Frank akan menghujamkan senjata tajam itu dan mengakhiri hidup Strode untuk selamanya.

Lalu muncul teks Bagian VI dari buku Meditasi: “Terimalah Apa yang Sudah Menjadi Takdirmu”. Adegan selanjutnya, setelah persidangan Strode, Lutigers memberi keterangan pers bahwa bukti yang memberatkan Strode sangat banyak. Frank dan Alma yang menyaksikan melalui televisi berkata: “Keadilan telah ditegakkan”.

Di akhir film, Frank dan Alma mengunjungi makam istri dan putrinya. Di situ Frank mengakhiri “sumpah diamnya” dengan mengatakan, "Aku menyintaimu" kepada anak dan istrinya.

Begitulah ajaran Stoikisme ini mengejawantah melalui beberapa adegan dalam film. Boleh juga dicoba oleh insan film Indonesia untuk membuat film yang memasukkan ajaran-ajaran pemikir lokal seperti Ki Ageng Suryomentaram dengan Kawruh Begja-nya. Siapa tahu bisa menjadi film yang menarik dengan ciri Indonesia yang kental.

Adapun mengenai keaslian buku berjudul “Meditasi” (Eis Heauton) itu tidak terlalu jelas. Sebab ada yang meragukan bahwa buku berjudul “Meditasi” yang kini beredar itu benar-benar karangan Markus Aurelius. Bisa jadi buku itu karangan pemikir lain, meskipun isinya memang ajaran Stoikisme.
(wur)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0773 seconds (0.1#10.140)