Ada Apa dengan Dhani dan Once

Senin, 03 April 2023 - 12:06 WIB
loading...
Ada Apa dengan Dhani...
Kemala Atmojo - Pemerhati Masalah Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
JAKARTA - Kemala Atmojo
Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni

Saat ini ramai di media online dan media sosial lainnya bahwa Ahmad Dhani melarang Once Mekel untuk menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 di pertunjukan tunggalnya. Namun, Dhani tidak melarang untuk lagu-lagunya yang lain di luar Dewa. Dhani juga tidak melarang band dan penyanyi cafe untuk terus mengumandangkan lagu-lagu Dewa 19. Juga tidak melarang siapa saja untuk meng-cover-kan lagu-lagu Dewa 19 dan yang lain ke platform seperti YouTube.

Dhani melarang Once Mekel menyanyikan lagu-lagu Dewa 19 dengan alasan karena setelah Lebaran Group Band Dewa 19 akan melakukan tour hingga Desember 2023. Jadi jangan sampai ada yang mengganggu kelancaran dan “kemurnian” konser Dewa tersebut. Sedangkan untuk band cafe, urusan royalti menjadi tanggung jawab event organizer (EO) atau pihak cafe. Adapun untuk platform YouTube, ada publisher yang mengurus hal itu dengan YouTube. Apalagi, selama ini YouTube memang sudah punya mekanisme sendiri mengenai urusan bayar-membayar royalti ini.

Once memang sempat sakit hati dengan pernyataan Dhani di media. Apalagi dalam lagu “Cemburu” dia merasa ikut menjadi bagian ketika lagu itu diciptakan. Ia melakukan konferensi pers dan menghimbau Dhani agar menempuh jalur yang konstruktif apabila ia memang dianggap bersalah. Ia tidak mau masalah ini sampai memengaruhi kehidupan keluarganya.

Jika perseteruan ini sekadar urusan royalti, maka dari sudut pandang hukum hak cipta hal ini sederhana saja, yakni masalah hak ekonomi sebuah ciptaan. Memang, sesuai dengan Ayat (2) Pasal 9 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi seperti melakukan pertunjukan dan pengumuman sebuah ciptaan, wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.” Lalu disambung dengan Ayat (3) yang mengatakan: “Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.”

Jadi Once memang harus meminta izin langsung dari Dhani atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di mana Dhani bergabung dengan cara mengadakan perjanjian (membayar). Kabarnya kini ada lebih dari 5 (lima) jumlah LMK. Apabila hal itu sudah dilakukan, maka Once tidak akan dianggap melakukan pelanggaran. Hal itu juga sesuai dengan bunyi undang-undang yang sama Ayat (4) Pasal 87 UUHC. Di situ dikatakan: “Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.”

Tapi, apa benar masalahnya sekadar soal royalti? Tidak adakah motif-motif lain di baliknya? Sejauh ini, hanya Dhani dan Once yang tahu. Sebab kasus ini belum sampai meningkat hingga terjadi saling gugat secara resmi. Andai saja hal itu terjadi, kita akan tahu lebih lengkap apa motifasi sesungguhnya dan bagaimana argumentasi hukum dibangun oleh para pihak.

Karena itu, pada kesempatan ini, terutama buat pembaca Sindo News, saya hanya ingin menambahkan beberapa hal yang berkaitan dengan hak cipta, khususnya musik.

Selain hak ekonomi yang lebih mudah dipahami, Pencipta atau Pegang Hak Cipta memiliki Hak Moral yang melekat. Isinya, antara lain, a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

Hak moral itu tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Lalu, dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral dimaksud, penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.

Secara filosofis, munculnya hak moral dalam sebuah ciptaan ini mempunyai sejarah yang amat panjang. Bahkan jika dirunut ke belakang, bisa sampai pada pemikiran John Locke, Immanuel Kant, dan Hegel. Jadi saya singkatkan saja bahwa hak moral ciptaan ini bermula dari doktrin yang disebut “personality”. Menurut doktrin ini, bahwa hak milik pribadi sangat penting untuk kepuasan dari kebutuhan dasar manusia, sehingga pembuat kebijakan harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan itu dan melindunginya.

Seorang individu membutuhkan beberapa model pengawasan atas sumber daya yang dia miliki di lingkungan ekternalnya. Pembenarannya, bahwa hak atas kekayaan sebagai obyek perlindungan ini memiliki hubungan yang erat dengan identitas seseorang. Dalam setiap karya yang diciptakan, terkandung kepribadian pembuatnya. Kepribadian Pencipta itulah yang mau dilindungi.

Dalam perkembangannya, terutama di Prancis dan Jerman, pengaruh doktrin ini cukup kuat sehingga di negara-negara tersebut akhirnya ditetapkan “hak moral” bagi Pencipta. Hak moral menjadi instrumen untuk mengawasi karya Pencipta yang beredar ke publik, termasuk menarik peredaran karyanya, menerima manfaat atas karyanya, dan menentang mutilasi atau pengerusakan karyanya.

Lalu, setelah melalui perjalanan panjang dan berbagai perjanjian, akhirnya sampailah hak moral itu dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 (Pasal 24 sampai 26) dan kemudian berlanjut dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 milik kita sekarang (Pasal 4 sampai Pasal 7).

Hak lain yang sering diucapkan dalam percakapan sehari-hari adalah performing rights. Ini tidak lain adalah salah satu bentuk hak ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Sesuai dengan pasal 9. Di situ dikatakan, antara lain, Pencipta atau pemegang hak cipta berhak untuk mempertunjukkan ciptaan serta melakukan pengumuman atas ciptaannya. Jadi, gampangnya, hak mempertunjukkan atau melakukan pengumuman itulah yang dimaksud dengan performing rights.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

Dulu, sebelum zaman Over The Top (OTT) populer sekarang ini, mempertunjukkan atau mengumumkan ciptaan ini hanya salah satu dari sumber pendapatan para musisi. Ada sumber lain yang tidak kalah besar jumlahnya, yakni dengan cara perbanyakan dalam bentuk kaset, compact disk, laser disk, atau bentuk-bentuk lainnya yang kesemuanya dikenal sebagai istilah mechanical right. Sekarang, selain mendapat penghasilan dari pertunjukan live, para musisi dapat meraup uang dari platfom digital seperti YouTube, Spotify, atau yang lain.

Terminologi lain yang mungkin agak asing buat orang awam adalah Hak Terkait. Apa itu? Ini adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran. Ketiganya memiliki hak ekonomi. Tetapi, khusus Pelaku Pertunjukan, ditambah lagi dengan Hak Moral.

Lalu siapa yang dimaksud dengan Pelaku Pertunjukan itu? Pelaku Pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan.

Hak ekonomi Pelaku Pertunjukan ini meliputi, antara lain, hak melaksanakan sendiri, memberikan izin atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penyiaran atau Komunikasi atas pertunjukan Pelaku Pertunjukan; b.. Fiksasi dari pertunjukannya yang belim difiksasi; c. Penggandaan atas Fiksasi pertunjukannya dengan cara atau bentuk apapun; d. Pendistribusian atas Fiksasi pertunjukan atau salinannya; e. Penyewaan atau Fiksasi pertunjukan atau salinannya kepada publik, dan penyediaan atas fiksasi pertunjukan yang dapat diakses publik.

Kemudian, dalam Ayat (5) Pasal 23 ditulis: “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”

Sesuai dengan perkembangan zaman, Pelaku Pertunjukan ini juga “diproteksi” dengan Beijing Treaty on Audiovisial Performances alias Traktak Beijing mengenai Pertunjukan Audiovisual. Ini adalah perjanjian multilateral yang ingin mengembangkan dan menjaga perlindungan hak pelaku pertunjukan atas pertunjukan audiovisual dengan cara yang seefektif mungkin. Indonesia menandatangani Beijing Treaty ini pada 18 Desember 2012 dan meratifikasi perjanjian tersebut pada 6 Januari 2020 melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2020.

Terdiri dari 30 pasal, intinya perjanjian itu untuk melindungi hak ekonomi dan hak moral Pelaku Pertunjukan di era digital, dan untuk meningkatkan pembangunan kreativitas nasional. Di dalam perjanjian tersebut dimuat pasal-pasal seperti hak moral, hak ekonomi pelaku pertunjukan yang tidak difiksasi, hak reproduksi, hak distribusi, hak penyewaan, hak penyediaan Fiksasi Pertunjukan, hak Penyiaran dan Komuniukasi ke Publik, dan lain-lain. Maka semakin kuatlah posisi Pelaku Pertunjukan di era digital ini.

Baiklah, untuk sementara, kita cukupkan sampai di sini. Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi, kalau ada umur yang panjang, boleh kita berjumpa lagi.
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1582 seconds (0.1#10.140)