Pemilu 2024, GMNI Deklarasi Lawan Politik Identitas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ) mendeklarasikan gerakan lawan politik identitas . Deklarasi disampaikan saat perayaan dies natalis ke-69 GMNI di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mengatakan, komitmen antipolitik identitas perlu dimiliki elemen pemuda. Ini mengingat demografi pemilih Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda yang berusia 17-39 tahun.
Populasi pemilih muda diprediksi mencapai sekitar 60% dari total pemilih pada Pemilu 2024 . Untuk itu keterlibatan pemilih muda dalam menangkal politik identitas sangat relevan dalam menghadapi ancaman politisasi agama.
“Pemuda akan mendominasi demografi pemilih kita, peranannya sangat dibutuhkan untuk bergotong royong melawan politik identias yang bisa merusak keakraban kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Arjuna dalam siaran persnya, Sabtu (1/4/2023).
Selain itu, Arjuna juga menyampaikan narasi politik identitas yang berbasis agama dapat menguatkan pola pikir ekstremisme yang berujung pada terorisme. Praktik tersebut sudah banyak terjadi di banyak negara.
“Tentu kita tidak mau negara ini mengalami disintegrasi akibat politik identitas yang dijadikan sebagai alat politik meraih kekuasaan,” tambahnya.
Menurut Arjuna, para pengguna politik identitas cenderung untuk lebih jauh mengembangkan perpecahan dengan informasi palsu (hoaks) melalui media sosial untuk memperoleh keuntungan bagi kepentingan mereka sendiri. Dengan bantuan buzzer, isu-isu politik identitas dibingkai, diamplifikasi serta disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial.
“Ada banyak argumen untuk menghalalkan praktik politik identitas. Mulai dari seakan-akan politik identitas itu sesuatu yang alamiah. Namun apabila politik identitas yang mengandung primordialisme ini terus menerus diamplifikasi di media sosial, maka bisa jadi bom waktu,” tandasnya.
Lebih lanjut Arjuna berpendapat politik identitas berkontribusi mengikis rasionalisme pemilih. Di mana pemilih lebih mempertimbangkan aspek sentimen dibanding kualitas calon dan program kerja yang berdampak kesejahteraan sosial warga negara.
“Diskusi rasional disumbat oleh isu identitas. Kita mesti lawan karena sama halnya dengan pembodohan,” tegasnya.
Berikut 3 poin deklarasi GMNI menyikapi kompetisi politik 2024 yang tak menutup kemungkinan akan diwarnai isu primordialisme suku, agama, ras dan antargolongan (SARA):
1. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menolak segala penggunaan politik identitas yang mengeksploitasi primordialisme dan sentimen SARA dalam kontestasi Pemilu 2024.
2. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang siap dan proaktif melawan di garda depan semua praktek penggunaan politik identitas baik di dunia maya maupun dunia nyata.
3. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang memilih untuk bergerak menciptakan lapisan pemilih rasional yang mengutamakan keberpihakan politik pada kesejahteraan rakyat kecil dalam konstestasi politik 2024 bukan pada pertimbangan sentimen primordial yang berbasis SARA.
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino mengatakan, komitmen antipolitik identitas perlu dimiliki elemen pemuda. Ini mengingat demografi pemilih Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda yang berusia 17-39 tahun.
Populasi pemilih muda diprediksi mencapai sekitar 60% dari total pemilih pada Pemilu 2024 . Untuk itu keterlibatan pemilih muda dalam menangkal politik identitas sangat relevan dalam menghadapi ancaman politisasi agama.
“Pemuda akan mendominasi demografi pemilih kita, peranannya sangat dibutuhkan untuk bergotong royong melawan politik identias yang bisa merusak keakraban kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Arjuna dalam siaran persnya, Sabtu (1/4/2023).
Selain itu, Arjuna juga menyampaikan narasi politik identitas yang berbasis agama dapat menguatkan pola pikir ekstremisme yang berujung pada terorisme. Praktik tersebut sudah banyak terjadi di banyak negara.
“Tentu kita tidak mau negara ini mengalami disintegrasi akibat politik identitas yang dijadikan sebagai alat politik meraih kekuasaan,” tambahnya.
Menurut Arjuna, para pengguna politik identitas cenderung untuk lebih jauh mengembangkan perpecahan dengan informasi palsu (hoaks) melalui media sosial untuk memperoleh keuntungan bagi kepentingan mereka sendiri. Dengan bantuan buzzer, isu-isu politik identitas dibingkai, diamplifikasi serta disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial.
“Ada banyak argumen untuk menghalalkan praktik politik identitas. Mulai dari seakan-akan politik identitas itu sesuatu yang alamiah. Namun apabila politik identitas yang mengandung primordialisme ini terus menerus diamplifikasi di media sosial, maka bisa jadi bom waktu,” tandasnya.
Lebih lanjut Arjuna berpendapat politik identitas berkontribusi mengikis rasionalisme pemilih. Di mana pemilih lebih mempertimbangkan aspek sentimen dibanding kualitas calon dan program kerja yang berdampak kesejahteraan sosial warga negara.
“Diskusi rasional disumbat oleh isu identitas. Kita mesti lawan karena sama halnya dengan pembodohan,” tegasnya.
Berikut 3 poin deklarasi GMNI menyikapi kompetisi politik 2024 yang tak menutup kemungkinan akan diwarnai isu primordialisme suku, agama, ras dan antargolongan (SARA):
1. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menolak segala penggunaan politik identitas yang mengeksploitasi primordialisme dan sentimen SARA dalam kontestasi Pemilu 2024.
2. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang siap dan proaktif melawan di garda depan semua praktek penggunaan politik identitas baik di dunia maya maupun dunia nyata.
3. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang memilih untuk bergerak menciptakan lapisan pemilih rasional yang mengutamakan keberpihakan politik pada kesejahteraan rakyat kecil dalam konstestasi politik 2024 bukan pada pertimbangan sentimen primordial yang berbasis SARA.
(poe)