Kesaksian Martin Aleida Ungkap Kekejaman Operasi Kalong 1965

Sabtu, 14 November 2015 - 18:56 WIB
Kesaksian Martin Aleida...
Kesaksian Martin Aleida Ungkap Kekejaman Operasi Kalong 1965
A A A
JAKARTA - Keterangan mantan wartawan Harian Rakyat Martin Aleida dalam Pengadilan Rakyat Internasional 1965 atau International Peoples Tribunal 1965 di Den Haag, Belanda, membuka diskusi lama tentang tragedi 1965.

Dalam kesaksiannya, Martin mengungkapkan kekejaman tentara dalam Operasi Kalong. Operasi ini dijalankan tentara setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) meletus untuk memburu anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tidak jarang mereka yang tertangkap dalam operasi itu sama sekali tidak mengetahui adanya G30S apalagi tersangkut dalam gerakan kudeta Angkatan Darat (AD) yang menewaskan enam orang jenderal pada 1 Oktober 1965.

"Setelah peristiwa (G30S) terjadi, dilangsungkan Operasi Kalong yang dilancarkan AD dan dipimpin oleh Mayor Suroso," katanya, dalam sidang IPT65, di Den Haag, seperti dikutip dalam situs IPT65, Sabtu (14/11/2015).

Diceritakan Martin, saat itu dia dan teman-temannya di tempatkan di kamp konsentrasi yang terletak di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta. Di depan kamp tempatnya ditahan, terdapat Komando Distrik Militer 0501 Jakarta Pusat.

"Di seberang jalan, ada gedung tua. Gedung sekolah yang tidak dipakai, dikelilingi kawat berdiri. Ketika saya masuk di sana ada sekitar 300 tahanan. Ruang interogasi terletak di kantor Komando Distrik Militer 0501," ungkapnya.

Di sebelahnya ruang pemeriksaan itu ada dapur yang dijadikan tempat tahanan wanita. Di antara para tahanan wanita itu, Martin melihat Istri Nyoto dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil menyaksikan para tahanan diperiksa dan disiksa.

Dijelaskan dia, interogasi para tahanan selalu dilangsungkan saat tengah malam. Para tahahan dibawa menyeberangi Jalan Budi Kemuliaan lalu diinterogasi. Proses interogasi selalu diwarnai dengan penyiksaan para tahanan oleh tentara.

"Pemimpin Redaksi saya di Harian Rakyat Mula Naibaho dikirim ke dalam kamp di mana saya berada. Dia mengatakan kepada saya, 'sudahlah saya yang bertanggung jawab'. Saat itu dia membuka baju dan memperlihatkan lukanya," paparnya.

Luka yang masih berdarah akibat sabetan ekor pari. Saat itu, satu-satunya obat yang tersedia adalah beras dan kencur. Mulai Naibaho menceritakan, di ruang interogasi dirinya disuruh jongkok lalu disetrum dan dipukul ekor pari.

"Sesudah disetrum dan dipukul, dia diangkat dan dimasukkan ke dalam bak mandi yang ada di dalam dapur. Lalu dia disuruh menghabiskan satu piring sampah," tegasnya.

Dalam tahanan itu, Martin tidak sampai setahun dan dibebaskan. Dia mengaku tidak tahu kenapa dirinya ditahan, sementara teman-temannya tinggal diam di tahanan. Dia menduga, pembebasannya akibat dua surat yang dikantonginya.

Surat itu, katanya berasal dari ayahnya yang berisi wasiat sebelum berangkat ibadah haji, pada awal 1966. Dalam surat itu, diterangkan pembagian harta warisan jika sang ayah meninggal. Sedang surat satunya lagi adalah surat cintanya.

Harsutejo dalam catatannya Neraka Rezim Suharto (the Untold Story) menyatakan, Operasi Kalong di bawah Mayor Suroso ini berhasil menangkap empat pimpinan PKI, di antaranya Sudisman.

Dalam Operasi Kalong, ada seorang algojo yang sangat ditakuti para tahanan karena terkenal sadisnya. Algojo itu bernama Letnan Bob. Saat melakukan interogasi dan penyiksaan, Bob selalu menggunakan alat-alat yang menakutkan.

Alat penyiksa standar yang biasa digunakannya adalah pentungan kayu dan karet, buntut ikan pari yang telah dipasangi paku kecil, dan kabel dengan lempeng-lempeng yang dialiri listrik. Alat terakhir adalah andalannya.

Dalam tahanan Operasi Kalong, tahanan perempuan yang diperiksa ditelanjangi. Begitupun dengan tentara yang memeriksanya juga telanjang. Tahanan wanita yang sangat terkenal dalam tahanan Operasi Kalong adalah aktivis Gerwani Sri Ambar.

Sri Ambar terkenal karena sikapnya yang tetap bungkam meski telah disiksa dengan gebukan dan setruman. Konon dia tewas digantung telanjang bulat di pohon mangga. Pantatnya kemudian ditusuk bayonet oleh seorang tentara penyiksa.

Yang sangat menyedihkan adalah ibu dan kedua orang anaknya yang masih kecil juga ikut ditahan dan dipaksa untuk menyaksikan pembunuhan keji terhadap Sri Ambar.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0908 seconds (0.1#10.140)