Anggota DPR Kasih Masukan Kejagung soal Penanganan Perkara hingga Tata Kelola SDM
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Wayan Sudirta menyampaikan sejumlah catatan evaluasi untuk dibenahi Kejaksaan Agung (Kejagung). Catatan evaluasi tersebut terkait penanganan perkara hingga tata kelola sumber daya manusia (SDM).
Tujuannya, agar Korps Adhyaksa itu ke depannya memberikan pelayanan yang lebih berkualitas bagi masyarakat Indonesia utamanya yang memiliki persepsi negatif karena mendapat pelayanan kurang baik dari oknum-oknum jaksa.
Sudirta menunjuk penyerapan anggaran yang optimal (96,36%) dan akuntabilitas keuangan Kejaksaan yang terus menerus mencapai predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Selain itu, hal yang juga penting adalah kemampuan realisasi PNBP yang melampaui target (mencapai Rp2,7 triliun dari target Rp662 miliar).
Kejaksaan di 2022 telah membantu penyelamatan keuangan negara sebesar Rp6 triliun, pemulihan kerugian negara Rp 3 Triliun. ‘’Ini capaian yang terkait dengan asset recovery yang sangat penting dalam penegakan hukum,’’ kata Sudirta dalam keterangan tertulis, Jumat (10/3/2023).
Menurut dia, terobosan responsif dan sensitivitas Kejaksaan di 2022 cukup tinggi. ‘’Kejaksaan secara responsif membentuk Satgas Mafia Tanah yang mencapai 41 laporan atau aduan masyarakat yang terverifikasi. Selain itu, Kejaksaan juga telah membentuk Satgas Pengamanan Investasi yang berupaya untuk membentuk percepatan pembangunan ekonomi,” katanya.
Dia menuturkan, sejumlah kasus yang mendapat sorotan dan perhatian masyarakat terlihat responsivitas Kejaksaan yang tinggi, seperti dalam penanganan mafia tanah, mafia minyak goreng, mafia bahan pokok, dan beberapa kasus yang menyangkut perekonomian dan keuangan masyarakat seperti kasus Jiwasraya dan investasi bodong. “Kejaksaan juga melakukan penanganan dari sisi tindak pidana khusus, atau persoalan korupsinya,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, hal-hal yang menunjukkan pengembangan program inovatif, mendapat perhatian positif seperti Jaksa Menyapa, Jaksa Masuk Sekolah, Podcast, maupun kerja sama dengan kementerian atau lembaga khususnya dalam melakukan edukasi pencegahan tindak pidana korupsi dan pelanggaran hukum lainnya. ‘’Saya juga memberi apresiasi atas inisiatif Kejaksaan dalam mendorong penerapan keadilan restoratif dengan membentuk peraturan teknis dan rumah keadilan restoratif yang telah ada di beberapa daerah. Kami mencatat telah ada 621 rumah restorative justice,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, Kejaksaan juga mendorong pembentukan 119 Balai Rehabilitasi untuk mendukung penanganan rehabilitatif bagi pecandu atau pengguna narkotika, sehingga tidak memperburuk kondisi over-populasi di lembaga pemasyarakatan. “Namun, sekalipun ada progres yang bagus, tentu masih ada masyarakat yang tidak mendapat layanan berkualitas, yang punya persepsi negatif dan tidak puas. Dan itu mesti dievaluasi,” jelasnya.
Pertama, kata Sudirta, mengenai penanganan perkara, terutama korupsi dan HAM yang dinilai masyarakat menemui tren penurunan atau sering dikeluhkan oleh masyarakat. Terkait dengan penanganan kasus korupsi, Kejaksaan memang berfokus kepada pemulihan dan penyelamatan kerugian negara, sehingga kuantitas boleh menurun namun kualitas meningkat.
Mengingat fenomena dan dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya, terutama bersama dengan TPPU, diduga masih tinggi seperti terekspos dari kasus pejabat Kantor Pajak yang sedang viral, Sudirta melihat bahwa Kejaksaan perlu banyak bekerja sama dengan KPK, Polri, dan seluruh kementerian/lembaga untuk melakukan pengawasan dan penindakan.
Sebagai contoh, terkait dengan dugaan TPPU dan pelanggaran hukum oleh oknum-oknum di Kementerian Keuangan yang saat ini menyita perhatian masyarakat. Menurutnya, peran Jaksa dalam hal ini akan sangat membantu dalam menimbulkan efek jera sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum.
Dia juga menilai Kejaksaan perlu mengoptimalkan kembali penanganan perkara korupsi seperti kelanjutan dari pelaku korupsi di kasus lahan PT Duta Palma, korupsi oleh kepala daerah atau pemda maupun pemerintah desa, kasus BTS, dan kasus-kasus lainnya, terutama yang terkait dengan pendapatan dan penerimaan negara. “Hal ini juga dapat mendorong peningkatan indeks persepsi korupsi nasional,” tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, Kejaksaan juga perlu meningkatkan optimalisasi penyelesaian kasus-kasus HAM terutama HAM Berat termasuk yang terjadi di masa lalu, yang menjadi tugas dan kewenangannya. Sedangkan terhadap tata kelola sumber daya manusia (SDM) di Kejaksaan, Sudirta melihat bahwa Kejaksaan telah mengembangkan sistem pengawasan maupun pengembangan kapasitas, serta mendorong peningkatan pengawasan untuk membersihkan oknum-oknum jaksa yang terlibat dan terkait dengan mafia penegakan hukum dan kartelisasi lainnya.
Dia menyarankan agar independensi, kemandirian, dan tidak berpolitik, tetap perlu dijaga, agar hukum tidak menjadi alat dari politik dan kekuasaan kekuatan tertentu. Sudirta juga menyoroti sistem meritokrasi dan penerapan sistem reward and punishment yang selama ini dijalankan oleh Kejaksaan.
‘’Saya masih sering mendengar bahwa sistem pengisian jabatan atau penempatan Jaksa (mutasi dan rotasi) masih seringkali didasarkan pada tolok ukur subyektivitas daripada obyektivitas,’ imbuhnya.
Untuk itu, dia terus mendorong Kejaksaan membentuk aturan yang komprehensif terkait dengan tata kelola SDM dan pegawai terkait dengan tolok ukur kinerja dan prestasi, disamping meritokrasi untuk penurunan kinerja dan pelanggaran lainnya. Terkait meritokrasi, Sudirta mendorong agar Kejaksaan dapat lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi melalui sistem pelelangan yang terbuka dan tidak berbelit sehingga optimalisasi nilai lelang dapat menjadi maksimal.
“Selain itu, saya mendukung Kejaksaan untuk terus meneliti dan mengkaji, layaknya Jaksa Pengacara Negara, terhadap seluruh bidang-bidang yang dapat membuka potensi kebocoran pendapatan negara atau kerugian negara dan masyarakat,” katanya.
Dia memberikan contoh, terkait dengan permasalahan yang terjadi di Kementerian Keuangan, baik Pajak maupun Bea Cukai, Kejaksaan dapat secara proaktif melakukan pengawasan dan penelitian terkait dengan pelanggaran hukum maupun potensi dan pemetaan kerawanannya, sehingga dapat membantu dalam pengambilan kebijakan keuangan negara yang lebih komprehensif.
Catatan lainnya terhadap modernisasi Jaksa, dia menekankan bahwa Jaksa perlu lebih proaktif dalam menerapkan sistem akuntabilitas dan responsivitas data penanganan perkara. Dalam berbagai temuan oleh Komisi III DPR RI, dia melihat persoalan bolak-balik perkara masih kerap terjadi.
“Hal ini tentu perlu sebuah terobosan bersama sehingga kinerja Kejaksaan tidak hanya meningkat sendiri, namun juga mendorong kerja-kerja kolaboratif. Kerja sama yang dibangun tidak hanya sebatas pembangunan sistem dan pembentukan MoU saja, namun harus secara konsisten diimplementasikan bersama,” kata Sudirta.
Selain itu, sambung dia, peluncuran berbagai program dan sistem aplikasi yang berbeda-beda di beberapa daerah harus didasarkan pada masterplan yang terpadu, sehingga penanganan perkara oleh Kejaksaan dapat berjalan harmonis, sinkron dengan kebijakan, dan terawasi. ‘’Saya secara khusus memberikan apresiasi dan penghargaan atas kinerja Kejaksaan, terutama di tahun 2022,’’ ujar Sudirta.
Namun, dia menilai kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada saat ini dapat dilihat sebagai pemimpin yang transformatif dan strategis. Yakni adanya arah untuk membawa kejaksaan menjadi lembaga yang responsif, adaptif, inovatif, humanis, profesional, dan kolaboratif.
‘’Saya setuju dengan gaya kepemimpinan tersebut dan mendorong Kejaksaan untuk dapat meningkatkan kembali kepercayaan dan kepuasan publik dengan strategi yang tidak hanya transformatif, humanis, dan modern, namun juga berorientasi pada pelayanan publik dan pencapaian rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, Jaksa sebagai pintu masuk peradilan perlu membangun sebuah sistem yang transparan, responsif, profesional, berkualitas, dan melayani. “Dalam hal ini pola kepemimpinan di Kejaksaan perlu ditingkatkan, tidak hanya dari pola transformatif dan inovatif, namun juga berorientasi pada kualitas pelayanan hukum dan masyarakat serta kolaboratif sesuai dengan tugas dan fungsi Kejaksaan,” ujar Sudirta.
Di sisi lain, Sudirta mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung sepanjang 2022. Dia juga menilai penghargaan sebagai Best Institutional Leaders layak bagi Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Penghargaan itu juga melengkapi penghargaan sebelumnya yakni Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) dalam acara 27th Annual Conference and General Meeting IAP pada 26 September 2022.
“Saya menilai penghargaan itu layak bagi kepemimpinan Jaksa Agung, yang dinilai telah membawa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penegak hukum yang baik, humanis, dan modern. Selain itu beliau dinilai telah memberikan kontribusi serta inspirasi besar bagi bangsa dan negara. Dalam hal ini, saya menyampaikan selamat dan penghargaan kepada Saudara Jaksa Agung yang telah dinilai mampu meningkatkan kredibilitas lembaga dan tingkat kepercayaan masyarakat,’’ pungkasnya.
Tujuannya, agar Korps Adhyaksa itu ke depannya memberikan pelayanan yang lebih berkualitas bagi masyarakat Indonesia utamanya yang memiliki persepsi negatif karena mendapat pelayanan kurang baik dari oknum-oknum jaksa.
Sudirta menunjuk penyerapan anggaran yang optimal (96,36%) dan akuntabilitas keuangan Kejaksaan yang terus menerus mencapai predikat wajar tanpa pengecualian (WTP). Selain itu, hal yang juga penting adalah kemampuan realisasi PNBP yang melampaui target (mencapai Rp2,7 triliun dari target Rp662 miliar).
Kejaksaan di 2022 telah membantu penyelamatan keuangan negara sebesar Rp6 triliun, pemulihan kerugian negara Rp 3 Triliun. ‘’Ini capaian yang terkait dengan asset recovery yang sangat penting dalam penegakan hukum,’’ kata Sudirta dalam keterangan tertulis, Jumat (10/3/2023).
Menurut dia, terobosan responsif dan sensitivitas Kejaksaan di 2022 cukup tinggi. ‘’Kejaksaan secara responsif membentuk Satgas Mafia Tanah yang mencapai 41 laporan atau aduan masyarakat yang terverifikasi. Selain itu, Kejaksaan juga telah membentuk Satgas Pengamanan Investasi yang berupaya untuk membentuk percepatan pembangunan ekonomi,” katanya.
Dia menuturkan, sejumlah kasus yang mendapat sorotan dan perhatian masyarakat terlihat responsivitas Kejaksaan yang tinggi, seperti dalam penanganan mafia tanah, mafia minyak goreng, mafia bahan pokok, dan beberapa kasus yang menyangkut perekonomian dan keuangan masyarakat seperti kasus Jiwasraya dan investasi bodong. “Kejaksaan juga melakukan penanganan dari sisi tindak pidana khusus, atau persoalan korupsinya,” imbuhnya.
Dia melanjutkan, hal-hal yang menunjukkan pengembangan program inovatif, mendapat perhatian positif seperti Jaksa Menyapa, Jaksa Masuk Sekolah, Podcast, maupun kerja sama dengan kementerian atau lembaga khususnya dalam melakukan edukasi pencegahan tindak pidana korupsi dan pelanggaran hukum lainnya. ‘’Saya juga memberi apresiasi atas inisiatif Kejaksaan dalam mendorong penerapan keadilan restoratif dengan membentuk peraturan teknis dan rumah keadilan restoratif yang telah ada di beberapa daerah. Kami mencatat telah ada 621 rumah restorative justice,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, Kejaksaan juga mendorong pembentukan 119 Balai Rehabilitasi untuk mendukung penanganan rehabilitatif bagi pecandu atau pengguna narkotika, sehingga tidak memperburuk kondisi over-populasi di lembaga pemasyarakatan. “Namun, sekalipun ada progres yang bagus, tentu masih ada masyarakat yang tidak mendapat layanan berkualitas, yang punya persepsi negatif dan tidak puas. Dan itu mesti dievaluasi,” jelasnya.
Pertama, kata Sudirta, mengenai penanganan perkara, terutama korupsi dan HAM yang dinilai masyarakat menemui tren penurunan atau sering dikeluhkan oleh masyarakat. Terkait dengan penanganan kasus korupsi, Kejaksaan memang berfokus kepada pemulihan dan penyelamatan kerugian negara, sehingga kuantitas boleh menurun namun kualitas meningkat.
Mengingat fenomena dan dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana khusus lainnya, terutama bersama dengan TPPU, diduga masih tinggi seperti terekspos dari kasus pejabat Kantor Pajak yang sedang viral, Sudirta melihat bahwa Kejaksaan perlu banyak bekerja sama dengan KPK, Polri, dan seluruh kementerian/lembaga untuk melakukan pengawasan dan penindakan.
Sebagai contoh, terkait dengan dugaan TPPU dan pelanggaran hukum oleh oknum-oknum di Kementerian Keuangan yang saat ini menyita perhatian masyarakat. Menurutnya, peran Jaksa dalam hal ini akan sangat membantu dalam menimbulkan efek jera sekaligus kepercayaan masyarakat terhadap sistem penegakan hukum.
Dia juga menilai Kejaksaan perlu mengoptimalkan kembali penanganan perkara korupsi seperti kelanjutan dari pelaku korupsi di kasus lahan PT Duta Palma, korupsi oleh kepala daerah atau pemda maupun pemerintah desa, kasus BTS, dan kasus-kasus lainnya, terutama yang terkait dengan pendapatan dan penerimaan negara. “Hal ini juga dapat mendorong peningkatan indeks persepsi korupsi nasional,” tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, Kejaksaan juga perlu meningkatkan optimalisasi penyelesaian kasus-kasus HAM terutama HAM Berat termasuk yang terjadi di masa lalu, yang menjadi tugas dan kewenangannya. Sedangkan terhadap tata kelola sumber daya manusia (SDM) di Kejaksaan, Sudirta melihat bahwa Kejaksaan telah mengembangkan sistem pengawasan maupun pengembangan kapasitas, serta mendorong peningkatan pengawasan untuk membersihkan oknum-oknum jaksa yang terlibat dan terkait dengan mafia penegakan hukum dan kartelisasi lainnya.
Dia menyarankan agar independensi, kemandirian, dan tidak berpolitik, tetap perlu dijaga, agar hukum tidak menjadi alat dari politik dan kekuasaan kekuatan tertentu. Sudirta juga menyoroti sistem meritokrasi dan penerapan sistem reward and punishment yang selama ini dijalankan oleh Kejaksaan.
‘’Saya masih sering mendengar bahwa sistem pengisian jabatan atau penempatan Jaksa (mutasi dan rotasi) masih seringkali didasarkan pada tolok ukur subyektivitas daripada obyektivitas,’ imbuhnya.
Untuk itu, dia terus mendorong Kejaksaan membentuk aturan yang komprehensif terkait dengan tata kelola SDM dan pegawai terkait dengan tolok ukur kinerja dan prestasi, disamping meritokrasi untuk penurunan kinerja dan pelanggaran lainnya. Terkait meritokrasi, Sudirta mendorong agar Kejaksaan dapat lebih membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi melalui sistem pelelangan yang terbuka dan tidak berbelit sehingga optimalisasi nilai lelang dapat menjadi maksimal.
“Selain itu, saya mendukung Kejaksaan untuk terus meneliti dan mengkaji, layaknya Jaksa Pengacara Negara, terhadap seluruh bidang-bidang yang dapat membuka potensi kebocoran pendapatan negara atau kerugian negara dan masyarakat,” katanya.
Dia memberikan contoh, terkait dengan permasalahan yang terjadi di Kementerian Keuangan, baik Pajak maupun Bea Cukai, Kejaksaan dapat secara proaktif melakukan pengawasan dan penelitian terkait dengan pelanggaran hukum maupun potensi dan pemetaan kerawanannya, sehingga dapat membantu dalam pengambilan kebijakan keuangan negara yang lebih komprehensif.
Catatan lainnya terhadap modernisasi Jaksa, dia menekankan bahwa Jaksa perlu lebih proaktif dalam menerapkan sistem akuntabilitas dan responsivitas data penanganan perkara. Dalam berbagai temuan oleh Komisi III DPR RI, dia melihat persoalan bolak-balik perkara masih kerap terjadi.
“Hal ini tentu perlu sebuah terobosan bersama sehingga kinerja Kejaksaan tidak hanya meningkat sendiri, namun juga mendorong kerja-kerja kolaboratif. Kerja sama yang dibangun tidak hanya sebatas pembangunan sistem dan pembentukan MoU saja, namun harus secara konsisten diimplementasikan bersama,” kata Sudirta.
Selain itu, sambung dia, peluncuran berbagai program dan sistem aplikasi yang berbeda-beda di beberapa daerah harus didasarkan pada masterplan yang terpadu, sehingga penanganan perkara oleh Kejaksaan dapat berjalan harmonis, sinkron dengan kebijakan, dan terawasi. ‘’Saya secara khusus memberikan apresiasi dan penghargaan atas kinerja Kejaksaan, terutama di tahun 2022,’’ ujar Sudirta.
Namun, dia menilai kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada saat ini dapat dilihat sebagai pemimpin yang transformatif dan strategis. Yakni adanya arah untuk membawa kejaksaan menjadi lembaga yang responsif, adaptif, inovatif, humanis, profesional, dan kolaboratif.
‘’Saya setuju dengan gaya kepemimpinan tersebut dan mendorong Kejaksaan untuk dapat meningkatkan kembali kepercayaan dan kepuasan publik dengan strategi yang tidak hanya transformatif, humanis, dan modern, namun juga berorientasi pada pelayanan publik dan pencapaian rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, Jaksa sebagai pintu masuk peradilan perlu membangun sebuah sistem yang transparan, responsif, profesional, berkualitas, dan melayani. “Dalam hal ini pola kepemimpinan di Kejaksaan perlu ditingkatkan, tidak hanya dari pola transformatif dan inovatif, namun juga berorientasi pada kualitas pelayanan hukum dan masyarakat serta kolaboratif sesuai dengan tugas dan fungsi Kejaksaan,” ujar Sudirta.
Di sisi lain, Sudirta mengapresiasi kinerja Kejaksaan Agung sepanjang 2022. Dia juga menilai penghargaan sebagai Best Institutional Leaders layak bagi Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Penghargaan itu juga melengkapi penghargaan sebelumnya yakni Special Achievement Award dari International Association of Prosecutors (IAP) dalam acara 27th Annual Conference and General Meeting IAP pada 26 September 2022.
“Saya menilai penghargaan itu layak bagi kepemimpinan Jaksa Agung, yang dinilai telah membawa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga penegak hukum yang baik, humanis, dan modern. Selain itu beliau dinilai telah memberikan kontribusi serta inspirasi besar bagi bangsa dan negara. Dalam hal ini, saya menyampaikan selamat dan penghargaan kepada Saudara Jaksa Agung yang telah dinilai mampu meningkatkan kredibilitas lembaga dan tingkat kepercayaan masyarakat,’’ pungkasnya.
(rca)