Kisah Pejuang Kemerdekaan Bantai Prajurit Jepang di Bekasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah pejuang kemerdekaan Indonesia yang terjadi di Bekasi ini diabadikan dalam bentuk Monumen Front Perjuangan Rakyat Bekasi atau Monumen Kali Bekasi. Monumen Kali Bekasi ini juga disebut sebagai monumen pembunuhan tentara Jepang oleh Sejarawan Ali Anwar.
Tepatnya pada 19 Oktober 1945, terjadi pembantaian besar besaran yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan terhadap tentara Jepang di Bekasi.
Peristiwa ini bermula ketika komandan pejuang Bekasi Letnan Dua Zakaria Burhanuddin menerima informasi akan adanya kereta pengangkut 90 tentara Jepang yang akan pulang melalui di Stasiun Bekasi menuju Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Baca juga : Kisah Heroik Pejuang Melawan Belanda dari Markas Rumah Limasan Jaya Wirya
Kejadian ini bertepatan setelah Jepang mengalami kekalahan dari tentara sekutu sehingga para pejuangnya diperintahkan untuk kembali ke negara asalnya.
Para pejuang Jepang ini lalu berencana untuk kembali ke markas. Namun mereka terlebih dahulu harus menuju lapangan terbang Kalijati menggunakan kereta yang telah diincar oleh Zakaria Burhanuddin.
Pasukan Zakaria ini meminta pada kepala stasiun untuk mengarahkan kereta yang dinaiki pasukan Jepang menuju rel kedua atau rel buntu yang saat ini telah menjadikan tempat Monumen Kali berdiri.
Para tentara Negeri Sakura ini tidak menyadari bahwa jalur yang dilalui kereta telah dibelokkan. Hingga pada akhirnya mereka sampai ke rel buntu yang berada tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitiu kereta berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam terjadi ketika Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta.
Para pejuang kemerdekaan ini langsung menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Mereka lalu memberikan surat ijin yang telah ditandatangani Presiden Soekarno.
Namun di tengah pemeriksaan, tiba tiba terdapat seorang prajurit Jepang ini melepaskan tembakan ke arah gerbong.
Tembakan ini menjadi pemancing para pasukan Bekasi untuk melakukan penyerbuan. Maka penuhlah gerbong kereta api itu setelah ratusan orang memasukinya.
Setelah pertempuran kecil, para pasukan Zakaria berhasil mengambil alih kereta dan merampas senjata yang dibawa oleh tentara Jepang.
Baca juga : Kisah Yang Chil-seong, Pejuang Kemerdekaan Indonesia asal Korea yang Merepotkan Belanda
Setelah itu, mereka lalu memasukkan sekitar 90 orang tentara Jepang ke sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Beberapa jam kemudian, tanpa berkonsultasi pada Komandan resimen V TKR Mayor Sambas, para tentara Bekasi ini menggiring para tawanan ke tepi Kali Bekasi.
Satu persatu, serdadu malang itu dibunuh dan dihanyutkan ke sungai. Peristiwa tragis ini membuat Kali Bekasi berwarna merah berkat darah dari para serdadu Jepang.
Mengetahui hal tersebut, Laksamana Maeda geram dan melayangkan protes keras terhadap Pemerintahan RI. Menanggapi itu, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama staf Departemen Luar Negeri RI, Boediarto lantas menghadap.
Menurut Maeda, kejadian ini menggambarkan bangsa Indonesia yang tidak memiliki pendirian teguh. Tanggapan itu dijawab oleh Said Soekanto dengan mengatakan bahwa Bekasi memang masih merupakan salah satu daerah yang belum sepenuhnya tunduk oleh hukum.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Soekarno mendatangi Bekasi dan meminta agar rakyat Bekasi mau untuk menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintahan RI.
Tepatnya pada 19 Oktober 1945, terjadi pembantaian besar besaran yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan terhadap tentara Jepang di Bekasi.
Peristiwa ini bermula ketika komandan pejuang Bekasi Letnan Dua Zakaria Burhanuddin menerima informasi akan adanya kereta pengangkut 90 tentara Jepang yang akan pulang melalui di Stasiun Bekasi menuju Kalijati, Subang, Jawa Barat.
Baca juga : Kisah Heroik Pejuang Melawan Belanda dari Markas Rumah Limasan Jaya Wirya
Kejadian ini bertepatan setelah Jepang mengalami kekalahan dari tentara sekutu sehingga para pejuangnya diperintahkan untuk kembali ke negara asalnya.
Para pejuang Jepang ini lalu berencana untuk kembali ke markas. Namun mereka terlebih dahulu harus menuju lapangan terbang Kalijati menggunakan kereta yang telah diincar oleh Zakaria Burhanuddin.
Pasukan Zakaria ini meminta pada kepala stasiun untuk mengarahkan kereta yang dinaiki pasukan Jepang menuju rel kedua atau rel buntu yang saat ini telah menjadikan tempat Monumen Kali berdiri.
Para tentara Negeri Sakura ini tidak menyadari bahwa jalur yang dilalui kereta telah dibelokkan. Hingga pada akhirnya mereka sampai ke rel buntu yang berada tepat di mulut Kali Bekasi.
Begitiu kereta berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam terjadi ketika Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta.
Para pejuang kemerdekaan ini langsung menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Mereka lalu memberikan surat ijin yang telah ditandatangani Presiden Soekarno.
Namun di tengah pemeriksaan, tiba tiba terdapat seorang prajurit Jepang ini melepaskan tembakan ke arah gerbong.
Tembakan ini menjadi pemancing para pasukan Bekasi untuk melakukan penyerbuan. Maka penuhlah gerbong kereta api itu setelah ratusan orang memasukinya.
Setelah pertempuran kecil, para pasukan Zakaria berhasil mengambil alih kereta dan merampas senjata yang dibawa oleh tentara Jepang.
Baca juga : Kisah Yang Chil-seong, Pejuang Kemerdekaan Indonesia asal Korea yang Merepotkan Belanda
Setelah itu, mereka lalu memasukkan sekitar 90 orang tentara Jepang ke sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi.
Beberapa jam kemudian, tanpa berkonsultasi pada Komandan resimen V TKR Mayor Sambas, para tentara Bekasi ini menggiring para tawanan ke tepi Kali Bekasi.
Satu persatu, serdadu malang itu dibunuh dan dihanyutkan ke sungai. Peristiwa tragis ini membuat Kali Bekasi berwarna merah berkat darah dari para serdadu Jepang.
Mengetahui hal tersebut, Laksamana Maeda geram dan melayangkan protes keras terhadap Pemerintahan RI. Menanggapi itu, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama staf Departemen Luar Negeri RI, Boediarto lantas menghadap.
Menurut Maeda, kejadian ini menggambarkan bangsa Indonesia yang tidak memiliki pendirian teguh. Tanggapan itu dijawab oleh Said Soekanto dengan mengatakan bahwa Bekasi memang masih merupakan salah satu daerah yang belum sepenuhnya tunduk oleh hukum.
Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Soekarno mendatangi Bekasi dan meminta agar rakyat Bekasi mau untuk menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintahan RI.
(bim)