Pangan dan Pertahanan Negara
loading...
A
A
A
Dahnil Anzar Simanjuntak
Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UKRI
LOGISTIK tidak dapat memenangkan pertempuran. Tetapi, tanpa logistik pertempuran tidak dapat dimenangkan. Demikian semboyan terkenal di kalangan militer dalam menggambarkan betapa pentingnya logistik dalam sebuah operasi. Karena itu, kemenangan pasukan juga sangat ditentukan seberapa besar cadangan logistik yang dimiliki. Apalagi, dalam perang berlarut (protracted war).
Tidak heran kalau gudang logistik selalu jadi incaran musuh untuk dihancurkan terlebih dahulu. Saat perang saudara di Amerika pada tahun 1861-1865 misalnya, pasukan utara (The Union) melancarkan taktik blokade, terutama melalui laut dan sungai sehingga pasukan selatan (Confederate State) mengalami kelangkaan amunisi, terutama makanan. Bahkan, Jenderal Philip Sheridan menghancurkan basis pertanian pasukan Selatan.
Kita juga dahulu mengalaminya pada era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu ketika Belanda menerapkan taktik blokade ekonomi, mencegah arus ekspor dan impor. Untuk menembus blokade tersebut, PM Sjahrir ketika itu mengirim bantuan beras ke India yang kemudian dibarter dengan tekstil dan obat-obatan. Siasat Sjahrir ini kemudian dikenal sebagai “diplomasi beras”.
Pentingnya logistik ini sampai Napoleon Bonaparte menyebut pergerakan pasukan ada di perutnya (an army marches on its stomach). Makanya, pemimpin militer dan politik Prancis itu memberi penghargaan dan uang dalam jumlah yang tidak sedikit kepada Nicholas Appert, penemu teknologi mengemas makanan untuk tentara Prancis (Subianto, 2012).
Menariknya, dari metode itulah kita sekarang mengenal makanan kaleng. Memang tidak dapat dinafikan bahwa banyak sarana dan prasarana untuk menunjang kemudahan manusia dalam beraktivitas saat ini pada mulanya untuk kepentingan militer. Seperti Global Positioning System (GPS) dan juga termasuk internet (interconnection-networking). Dalam hal ini militer Amerika Serikat.
Melihat nilai strategis logistik ini pula Presiden Soekarno menyebut bahwa pangan adalah urusan hidup dan matinya suatu bangsa. Dengan demikian, pangan memiliki banyak dimensi, termasuk soal ketahanan dan pertahanan. Pergolakan yang melanda negara-negara di Timur Tengah sampai saat ini juga berawal dari aksi bunuh diri seorang pedagang buah di Tunisia yang frustrasi pada 17 Desember 2010 lalu.
Saat ini kita memang tidak dalam suasana perang. Tetapi, banyak ahli yang memprediksi bahwa perang masa depan itu adalah perang pangan. Hal ini seakan memutar kembali jarum sejarah. Bukankah kolonialisme bangsa Eropa dahulu termasuk ke Indonesia pada awalnya dimaksudkan untuk mencari komoditas pangan, dalam hal ini rempah-rempah? Kekhawatiran tersebut semakin beralasan kalau kita mencermati perkembangan dan dinamika lingkungan strategis global, regional, dan nasional.
Misalnya, jumlah pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Sementara lahan pertanian malah menyusut karena masifnya alih fungsi lahan. Hal ini semakin mempertegas tesis Robert Malthus bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampaui pertumbuhan persediaan makanan. Karena penduduk, menurutnya, tumbuh seperti "deret ukur", sedangkan persediaan makanan bertambah seperti "deret hitung".
Untuk Indonesia yang berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 berpenduduk 238,5 juta jiwa misalnya, mengalami laju pertumbuhan penduduk (LPP) sekitar 1,5% per tahun. Sementara konversi lahan sawah untuk kepentingan nonpertanian mencapai rata-rata 100.000 hektare per tahun dan pencetakan sawah baru tidak lebih dari 50.000 hektare per tahun.
Peneliti Senior Institute Kajian Strategis UKRI
LOGISTIK tidak dapat memenangkan pertempuran. Tetapi, tanpa logistik pertempuran tidak dapat dimenangkan. Demikian semboyan terkenal di kalangan militer dalam menggambarkan betapa pentingnya logistik dalam sebuah operasi. Karena itu, kemenangan pasukan juga sangat ditentukan seberapa besar cadangan logistik yang dimiliki. Apalagi, dalam perang berlarut (protracted war).
Tidak heran kalau gudang logistik selalu jadi incaran musuh untuk dihancurkan terlebih dahulu. Saat perang saudara di Amerika pada tahun 1861-1865 misalnya, pasukan utara (The Union) melancarkan taktik blokade, terutama melalui laut dan sungai sehingga pasukan selatan (Confederate State) mengalami kelangkaan amunisi, terutama makanan. Bahkan, Jenderal Philip Sheridan menghancurkan basis pertanian pasukan Selatan.
Kita juga dahulu mengalaminya pada era perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu ketika Belanda menerapkan taktik blokade ekonomi, mencegah arus ekspor dan impor. Untuk menembus blokade tersebut, PM Sjahrir ketika itu mengirim bantuan beras ke India yang kemudian dibarter dengan tekstil dan obat-obatan. Siasat Sjahrir ini kemudian dikenal sebagai “diplomasi beras”.
Pentingnya logistik ini sampai Napoleon Bonaparte menyebut pergerakan pasukan ada di perutnya (an army marches on its stomach). Makanya, pemimpin militer dan politik Prancis itu memberi penghargaan dan uang dalam jumlah yang tidak sedikit kepada Nicholas Appert, penemu teknologi mengemas makanan untuk tentara Prancis (Subianto, 2012).
Menariknya, dari metode itulah kita sekarang mengenal makanan kaleng. Memang tidak dapat dinafikan bahwa banyak sarana dan prasarana untuk menunjang kemudahan manusia dalam beraktivitas saat ini pada mulanya untuk kepentingan militer. Seperti Global Positioning System (GPS) dan juga termasuk internet (interconnection-networking). Dalam hal ini militer Amerika Serikat.
Melihat nilai strategis logistik ini pula Presiden Soekarno menyebut bahwa pangan adalah urusan hidup dan matinya suatu bangsa. Dengan demikian, pangan memiliki banyak dimensi, termasuk soal ketahanan dan pertahanan. Pergolakan yang melanda negara-negara di Timur Tengah sampai saat ini juga berawal dari aksi bunuh diri seorang pedagang buah di Tunisia yang frustrasi pada 17 Desember 2010 lalu.
Saat ini kita memang tidak dalam suasana perang. Tetapi, banyak ahli yang memprediksi bahwa perang masa depan itu adalah perang pangan. Hal ini seakan memutar kembali jarum sejarah. Bukankah kolonialisme bangsa Eropa dahulu termasuk ke Indonesia pada awalnya dimaksudkan untuk mencari komoditas pangan, dalam hal ini rempah-rempah? Kekhawatiran tersebut semakin beralasan kalau kita mencermati perkembangan dan dinamika lingkungan strategis global, regional, dan nasional.
Misalnya, jumlah pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Sementara lahan pertanian malah menyusut karena masifnya alih fungsi lahan. Hal ini semakin mempertegas tesis Robert Malthus bahwa pertumbuhan penduduk cenderung melampaui pertumbuhan persediaan makanan. Karena penduduk, menurutnya, tumbuh seperti "deret ukur", sedangkan persediaan makanan bertambah seperti "deret hitung".
Untuk Indonesia yang berdasarkan Hasil Sensus Penduduk 2010 berpenduduk 238,5 juta jiwa misalnya, mengalami laju pertumbuhan penduduk (LPP) sekitar 1,5% per tahun. Sementara konversi lahan sawah untuk kepentingan nonpertanian mencapai rata-rata 100.000 hektare per tahun dan pencetakan sawah baru tidak lebih dari 50.000 hektare per tahun.