Wakil Ketua MPR: Pendidikan Berperan Penting Bangun Kerukunan dan Toleransi

Rabu, 01 Maret 2023 - 23:13 WIB
loading...
Wakil Ketua MPR: Pendidikan Berperan Penting Bangun Kerukunan dan Toleransi
Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan pentingnya membangun kesadaran setiap anak bangsa agar mampu memahami berbagai bentuk perbedaan. Foto/dpr.go.id
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menekankan pentingnya membangun kesadaran setiap anak bangsa agar mampu memahami berbagai bentuk perbedaan. Upaya tersebut dapat dilakukan lewat sektor pendidikan .

Hal itu disampaikan Rerie panggilan akrab Lestari Moerdijat dalam diskusi bertema "Peran Pendidikan Melawan Intoleransi dan Mengawal Kebinnekaan" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/3/2023).

"Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, alih-alih menonjolkan perbedaan yang paling penting untuk diimplementasikan adalah persamaan sebagai anak
bangsa Indonesia," ujarnya.

Anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu menyebut salah satu wadah untuk membangun kesadaran bersama setiap anak bangsa terkait pemahaman kebinnekaan adalah lewat sektor pendidikan.

Mengutip pernyataan Ki Hajar Dewantara bahwa selain pengetahuan akademis, pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, dan persamaan, serta mencakup pengembangan karakter dan etika.

"Sehingga, sektor pendidikan juga mampu menjadi sarana untuk memperkuat kerukunan dan toleransi antaragama di Indonesia," katanya.

Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu mendorong agar pendidikan menjadi wadah untuk menanamkan nilai kebangsaan sejak dini bersumber dari konsensus kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. "Kita bangun kesadaran bersama untuk berbenah, mencegah kasus-kasus intoleransi kembali terjadi," tegasnya.

Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek Julians Andarsa mengatakan intoleransi merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan saat ini tetapi sedikit sekali yang bicara.

"Intoleransi tercatat sebagai satu dari tiga dosa besar di lingkungan pendidikan, selain perundungan dan kekerasan seksual. Perlu upaya pencegahan agar tidak terjadi tiga dosa besar di lingkungan pendidikan tersebut," katanya.

Julians berharap kolaborasi semua pihak mampu mewujudkan kesetaraan dan keadilan dalam keberagaman pada proses pendidikan. Ada empat keterampilan yang harus ditanamkan kepada peserta didik saat ini yakni, kreativitas, komunikasi, berpikir kritis, dan kolaborasi.

"Dengan empat keterampilan itu diharapkan peserta didik mampu memahami keberagaman yang ada dan membangun sikap toleransi dalam keseharian," paparnya.

Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina berpendapat membangun toleransi merupakan langkah untuk memperkaya kebinekaan. Apalagi, survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 tercatat Indonesia terdiri dari enam agama, 1.128 suku dan 633 kelompok suku besar, sehingga BPS menilai Indonesia sangat heterogen dari sisi etnis.

Berdasarkan catatan itu, kata Putu, negara dan masyarakat kita membutuhkan kemampuan yang baik untuk mengelola keberagaman. Karena, bila negara tidak mampu mengelola keberagaman yang ada akan berisiko besar muncul banyak friksi.

"Komnas HAM merekomendasikan adanya regulasi dan kurikulum yang konkret dan aplikatif. Selain itu, visi yang baik terkait pendidikan karakter sejak dini dan memperkuat edukasi diseminasi toleransi lewat kolaborasi," ujarnya.

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengungkapkan benih-benih intoleransi sudah ada sejak di bangku sekolah. Berdasarkan riset Setara terhadap pelajar SMA negeri pada 2016 tercatat ada 35,7% pelajar terindikasi intoleran aktif dan 2,4% intoleran pasif.

"Temuan tersebut sangat mengkhawatirkan. Untuk itu Kemendikbud Ristek perlu melakukan diseminasi mahasiswa dan pelajar lewat revitalisasi forum akademik, perbanyak ruang perjumpaan dan pembudayaan tradisi dan kearifan lokal," tandasnya.

Selain itu, penting juga membangun sinergi kampus, orang tua, dan mahasiswa. Mencegah kampus dan sekolah menjadi enabling enviroment bagi berkembangnya paham dan gerakan keagamaan yang intoleran, eksklusif, ekstrem, dan kekerasan.

"Yang tidak kalah penting, mewujudkan tata kelola organisasi mahasiswa yang inkulsif dan menerapkan inklusivitas serta meritokrasi dalam rekrutmen guru," katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Bangsa Ahmad Baidhowi AR berpendapat catatan dari survei Setara Institute tersebut semakin menguatkan problem intoleransi bukanlah masalah yang sederhana.

"Benih-benih diskriminasi dan intoleransi sudah ada sejak anak duduk di bangku SD, bahkan PAUD, lewat perilaku para tenaga pengajar yang terbiasa memberi labeling pada siswa," ucapnya.

Selain itu, dosa besar pada lingkungan pendidikan sebenarnya sangat terkait pada bagaimana manajemen sekolah dalam mengelola keuangan sekolah. "Lihat Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)-nya itu sumber diskriminasi," tambahnya.

Baidhowi menyarankan agar sekolah memiliki statuta spesifik berdasarkan visi sekolah yang telah ditetapkan, sehingga sekolah bisa dioperasikan sesuai tujuan bersama.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1716 seconds (0.1#10.140)