Paradoks Mobile First Culture

Kamis, 16 Juli 2020 - 12:28 WIB
loading...
Paradoks Mobile First Culture
Pemerhati budaya dan komunikasi Digital, dan pendiri LITEROS.org, Dr Firman Kurniawan S. Foto/Istimewa
A A A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org

APA ganjaran yang diterima para penghayat kehidupan digital, yang memigrasikan kehidupannya dari ruang-ruang analog ke ruang digital? Insight for Brand, Google 2018 menyebutkan, Indonesia seiring negara-negara yang mengadopsi kencang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, merupakan negara yang menjadikan perangkat mobile-smartphone, tablet dan sejenisnya- sebagai perangkat utama yang digunakan untuk melayani kehidupan sehari-hari warganya.

Keadaan ini lazim disebut sebagai mobile first culture. Realitas budaya yang menempatkan perangkat mobile sebagai alat utama yang melayani keperluan manusia. Ini mulai dari keperluan berita, layanan kesehatan, kebutuhan perjalanan, pemesanan makanan hingga status kemenangan klub olah raga kesayangan. Semua dapat diakses real time lewat perangkat mobile yang tak pernah jauh dari genggaman.

Dalam mobile first culture, hingga 70% kegiatan manusia terlayani oleh perangkat mobile. Dapat dibayangkan jika sistem penunjangnya tak berfungsi, oleh padamnya aliran listrik misalnya, mati kutunya peradaban jadi kenyataan.
Charlene Li dan Josh Bernof, 2008 membaca gejala makin intensifnya aktivitas sosial manusia yang dipindahkan pada perangkat teknologi, dan menyebutnya sebagai Groundswell.

Konsep tersebut dapat diterangkan sebagai realitas, di mana orang-orang menggunakan teknologi untuk memperoleh yang mereka butuhkan dari orang lain. Bukan dari institusi tradisional seperti perusahaan atau lembaga pemerintahan. Lewat perantaraan teknologi, manusia berkolaborasi dengan peer-nya yang sederajat, penuhi kebutuhan hidupnya. Kebergantungan pada institusi patron, sebagai produsen maupun institusi pemerintah makin terkikis.

Dalam groundswell ada manusia, teknologi dan ekonomi. Hubungan ketiganya dapat dibaca sebagai: manusia memanfaatkan teknologi untuk membangun ekonomi, atau pengembangan ekonomi diintensifkan lewat manusia yang diberdayakan oleh teknologi, atau teknologi jadi bagian terpenting kegiatan manusia yang intensif menjalankan aktivitas ekonomi. Teknologi jadi yang utama.

Yang jelas, ketika kini ketergantungan manusia makin tinggi pada perangkat mobile, Insight for Brand, Google 2019, memperbaiki pembacaannya: penduduk Indonesia bukan lagi pelaku mobile first culture, namun bergeser jadi pelaku mobile only culture. Sebuah budaya yang menjadikan perangkat mobile sebagai pilihan utama aktivitas kehidupan, nyaris tanpa alternatif.

Bahagiakah manusia dengan migrasinya dari ruang hidup analog ke digital ? Dalam What to Do When Machine Do Everyithing, Malcolm Frank, Paul Roehrig dan Ben Pring, 2017, menyebut teknologi hadir di tengah kehidupan manusia dengan 3 sifat. Pertama ubipresent.

Ia hadir di mana mana. Mulai bangun tidur, jalani ritual pagi, aktivitas pendidikan maupun kerja, sampai tidur lagi, ada teknologi yang mengiringi. Kegiatan menyeduh kopi pagi, ada coffee machine-nya yang dapat menyediakan kopi ala kafe. Kebutuhan berita disediakan agregator berita yang dapat diakses di smartphone.

Pengaturan suhu ruangan dilakukan oleh teknologi AC terkini. Hingga menjalankan hobby, tersedia konsol yang makin mampu membaca algoritma pemakainya. Semua ada teknologinya. Sifat ubipresent teknologi karena mampu melayani aneka kebutuhan, lalu disambut sebagai harapan baru yang meningkatkan kualitas hidup manusia. Maka pada tahap kedua, manusia menerima teknologi dengan tangan terbuka, welcome.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1675 seconds (0.1#10.140)