Perfilman Indonesia dan Gerakan Manikebu
loading...
A
A
A
Maksudnya adalah menjebol kekuatan yang imperialistis dan membangun potensi yang nasionalis dan revolusioner di bidang perfilman. Salah satu wujud gerakannya adalah memboikot film Amerika Serikat dan asing lain yang tidak sejalan dengan mereka dan membubarkan AMPAI (American Motion Picture Association of Indonesia). Selain itu, mereka menuntut pembubaran Dewan Film Nasional (DFI) yang dianggap gagal melawan dominasi film asing, khususnya Amerika Serikat, sekaligus mereka menuntut retooling pimpinannya, Kolonel Sukardjo. Mereka ingin dibentuk lembaga perfilman baru yang anggota dan pimpinannya berporos pada Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Lembaga baru itu nanti, kata mereka, harus bersih dari pembela-pembela AMPAI, orang- orang bekas partai-partai terlarang, dan Manikebu. Dalam koran Berita Yudha 17 Maret 1965 diberitakan bahwa sehari sebelumnya telah terjadi demonstrasi di bekas kantor AMPAI, Jl. Segara, yang dilakukan oleh pendukung beberapa organisasi seperti Gerakan Pemuda Marhaenis, Lekra, CGMI, dan lain-lain. Bunyi spanduk yang dibawa oleh sekitar 1.500 orang itu antara lain berbunyi: “Usir Bill Palmer agen CIA”, “Tutup AMPAI”, dan lain-lain. Bill Palmer adalah ketua AMPAI di Indonesia waktu itu.
Lalu, dalam majalah Purnama, April 1964, terdapat sebuah iklan berupa Ikrar dari seniman dan pekerja film yang terlibat dalam Festival Film Afrika-Asia III. Isinya, antara lain, mereka bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kebudayaan di Indonesia, terutama dominasi imperialis dalam bidang film. Di salah satu alineanya dituliskan: “Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobi-phobian, Manikebu-manikebuan, terutama di bidang film....”
Semua itu menunjukkan bahwa gerakan Manikebu itu memang cukup diperhitungkan oleh lawan-lawannya.
Namun, selain Manikebu, ada gerakan lain yang disebut sebagai kelomok “Mubes Nasakom Penterapan Penpres No. 1 Tahun 1964”, yang kemudian disingkat sebagai kelompok “Mubes Nasakom”. Dalam rangka penerapan Penpres 1964 itu, mereka mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) pada 27-31 Oktober 1964 di Wisma Nusantara, yang dipimpin Nyonya M. Hadijuwono. Hadir, antara lain, Soemardjono, Wahyu Sihombing, Zulharman Said, N. Anwar Makarim, Affandy Djoko Atmoko, H. Amura, dan masih banyak lagi. Penpres 1964 yang di-mubes-kan itu adalah Penpres yang ditanda tangani Presiden Sukarno pada 5 Maret 1964 yang berisi pembinaan perfilman nasional.
Penpres ini menjadi salah satu dasar -- selain Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960-- tentang pembinaan perfilman nasional. Dalam acara Musyawarah Besar Naskom yang dihadiri oleh 32 organisasi itu ada banyak sambutan pejabat diucapkan, makalah dibacakan, dan dilanjutkan dengan rapat-rapat komisi dan akhirnya pernyataan, keputusan, serta resolusi.
Resolusi pertama mereka adalah memberi gelar kepada Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Sukarno, sebagai Pembina Agung Perfilman Nasional.Kemudian, dalam hal pelaksanaan Penpres 1964, resolusinya antara lain, mendukung sepenuhnya kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi di bidang film dan menuntut dilaksanakannya Penetapan Presiden Nomor I tahun 1964 selekas-lekasnya.
Nah, yang seram, mereka ingin menyingkirkan semua golongan yang merongrong Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964, karena perongrongan itu berarti menentang Pancasila dan Manifesto Politik/Usdek, serta kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi Nasional dan Pimpinan Revolusi Nasional. Dan yang perlu disingkirkan juga adalah “apa yang dinamakan “Manikebu”, karena “Manikebu” itu melemahkan Revolusi.
Menurut saya, meski dengan cara keras, semangat para peserta “Mubes Nasakom” ini adalah untuk mepertahankan Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Mereka tidak saja menolak dominasi asing dalam pengertian Amerika Serikat saja, tetapi juga dominasi yang mungkin akan muncul dari Blok Timur. Mereka menolak komunisme dan berseberangan dengan sekelompok orang lain yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena itu, apa yang dilakukan kubu “Mubes Nasakom” itu juga tidak disukai oleh kelompok Papfias. Menurut Papfias, Mubes Nasakom Penterapan Penpres Nomor I Tahun 1964” adalah “mubes” yang khusus diadakan untuk menimbulkan kekacauan opini umum mengenai perfilman umumnya, dan khususnya untuk menjegal pengaruh Papfias yang semakin kuat.
Intinya Papfias menyimpulkan bahwa penyelenggaraan “mubes Nasakom” itu adalah perbuatan yang munafik dan bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian yang elementer tentang Nasakom. Menurut mereka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang Penpres Nomor I Tahun 1964 itu, karena sejak Penpres itu dikeluarkan tidak ada orang yang menentang dan mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias.
Lembaga baru itu nanti, kata mereka, harus bersih dari pembela-pembela AMPAI, orang- orang bekas partai-partai terlarang, dan Manikebu. Dalam koran Berita Yudha 17 Maret 1965 diberitakan bahwa sehari sebelumnya telah terjadi demonstrasi di bekas kantor AMPAI, Jl. Segara, yang dilakukan oleh pendukung beberapa organisasi seperti Gerakan Pemuda Marhaenis, Lekra, CGMI, dan lain-lain. Bunyi spanduk yang dibawa oleh sekitar 1.500 orang itu antara lain berbunyi: “Usir Bill Palmer agen CIA”, “Tutup AMPAI”, dan lain-lain. Bill Palmer adalah ketua AMPAI di Indonesia waktu itu.
Lalu, dalam majalah Purnama, April 1964, terdapat sebuah iklan berupa Ikrar dari seniman dan pekerja film yang terlibat dalam Festival Film Afrika-Asia III. Isinya, antara lain, mereka bertekad untuk menjebol dominasi imperialis dalam kebudayaan di Indonesia, terutama dominasi imperialis dalam bidang film. Di salah satu alineanya dituliskan: “Kami berketetapan hati untuk meneruskan perjuangan melawan phobi-phobian, Manikebu-manikebuan, terutama di bidang film....”
Semua itu menunjukkan bahwa gerakan Manikebu itu memang cukup diperhitungkan oleh lawan-lawannya.
Namun, selain Manikebu, ada gerakan lain yang disebut sebagai kelomok “Mubes Nasakom Penterapan Penpres No. 1 Tahun 1964”, yang kemudian disingkat sebagai kelompok “Mubes Nasakom”. Dalam rangka penerapan Penpres 1964 itu, mereka mengadakan Musyawarah Besar (Mubes) pada 27-31 Oktober 1964 di Wisma Nusantara, yang dipimpin Nyonya M. Hadijuwono. Hadir, antara lain, Soemardjono, Wahyu Sihombing, Zulharman Said, N. Anwar Makarim, Affandy Djoko Atmoko, H. Amura, dan masih banyak lagi. Penpres 1964 yang di-mubes-kan itu adalah Penpres yang ditanda tangani Presiden Sukarno pada 5 Maret 1964 yang berisi pembinaan perfilman nasional.
Penpres ini menjadi salah satu dasar -- selain Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960-- tentang pembinaan perfilman nasional. Dalam acara Musyawarah Besar Naskom yang dihadiri oleh 32 organisasi itu ada banyak sambutan pejabat diucapkan, makalah dibacakan, dan dilanjutkan dengan rapat-rapat komisi dan akhirnya pernyataan, keputusan, serta resolusi.
Resolusi pertama mereka adalah memberi gelar kepada Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, Sukarno, sebagai Pembina Agung Perfilman Nasional.Kemudian, dalam hal pelaksanaan Penpres 1964, resolusinya antara lain, mendukung sepenuhnya kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi di bidang film dan menuntut dilaksanakannya Penetapan Presiden Nomor I tahun 1964 selekas-lekasnya.
Nah, yang seram, mereka ingin menyingkirkan semua golongan yang merongrong Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1964, karena perongrongan itu berarti menentang Pancasila dan Manifesto Politik/Usdek, serta kebijaksanaan Pemimpin Besar Revolusi Nasional dan Pimpinan Revolusi Nasional. Dan yang perlu disingkirkan juga adalah “apa yang dinamakan “Manikebu”, karena “Manikebu” itu melemahkan Revolusi.
Menurut saya, meski dengan cara keras, semangat para peserta “Mubes Nasakom” ini adalah untuk mepertahankan Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Mereka tidak saja menolak dominasi asing dalam pengertian Amerika Serikat saja, tetapi juga dominasi yang mungkin akan muncul dari Blok Timur. Mereka menolak komunisme dan berseberangan dengan sekelompok orang lain yang mendukung Partai Komunis Indonesia (PKI).
Karena itu, apa yang dilakukan kubu “Mubes Nasakom” itu juga tidak disukai oleh kelompok Papfias. Menurut Papfias, Mubes Nasakom Penterapan Penpres Nomor I Tahun 1964” adalah “mubes” yang khusus diadakan untuk menimbulkan kekacauan opini umum mengenai perfilman umumnya, dan khususnya untuk menjegal pengaruh Papfias yang semakin kuat.
Intinya Papfias menyimpulkan bahwa penyelenggaraan “mubes Nasakom” itu adalah perbuatan yang munafik dan bertujuan menggerogoti pengertian-pengertian yang elementer tentang Nasakom. Menurut mereka, sesungguhnya tidak ada alasan untuk bermusyawarah-bermusyawarahan tentang Penpres Nomor I Tahun 1964 itu, karena sejak Penpres itu dikeluarkan tidak ada orang yang menentang dan mempersoalkan Penpres tersebut untuk diterapkan. Maka, bagi Papfias, me-mubes-kan penterapan Penpres tersebut adalah pekerjaan yang dicari-cari untuk dijadikan dalih bagi “Pameran Anti Nasakom”, anti persatuan nasional yang revolusioner dan anti-Papfias.