Lindungi Pekerja Rumah Tangga, MPR Desak RUU PPRT Disahkan Jadi UU
loading...
A
A
A
JAKARTA - MPR mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga ( RUU PPRT ) untuk segera disahkan menjadi UU. Sebab, UU tersebut penting untuk melindungi harkat dan martabat manusia.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat diskusi daring bertema “Mengapa RUU PPRT Tak Kunjung Menjadi UU?” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/2/2023).
"Tidak ada lagi alasan mendasar untuk menunda pembahasan RUU PPRT, selain segera melanjutkan dan mengesahkannya menjadi undang-undang. Saat ini kita seperti menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi terhadap pekerja rumah tangga," katanya.
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, dalam konteks permasalahan yang dihadapi para pekerja rumah tangga, seharusnya terdapat ikatan kesetaraan yang meniadakan dominasi sosial antara pemberi dan penerima kerja. Selain hak dan kewajiban tersebut, kata anggota DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, terdapat kebutuhan yang paling mendasar yakni saling melindungi antara pemberi kerja dan PRT, sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai ditunda-tundanya pembahasan RUU PPRT oleh pimpinan DPR merupakan keprihatinan bersama sekaligus tamparan bagi kita semua bahwa perjuangan selama 19 tahun belum bisa terwujud hingga saat ini.
Ketua Panja RUU PPRT - DPR RI Willy Aditya mengungkapkan problem krusial yang dihadapi dalam proses pembahasan RUU PPRT saat ini berada pada pimpinan DPR. Respons Ketua DPR RI yang menyebutkan RUU PPRT itu masih memerlukan kajian secara socio cultural merupakan tanggapan yang tidak tepat karena di dalam RUU PPRT itu sudah mencakup pengaturan aspek socio cultural. "Saya kira ini karena belum membaca isi RUU PPRT," ujarnya.
Willy mengaku sudah tiga kali meminta audiensi kepada Ketua DPR RI untuk menjelaskan sejumlah substansi dalam RUU PPRT itu, tetapi hingga saat ini permintaan itu tidak ditanggapi. Salah satu upaya untuk mendorong agar pimpinan DPR segera mengagendakan Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR, kata Willy, bisa melalui dugaan pelanggaran tata tertib DPR yang dilakukan Ketua DPR.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menegaskan turut mendukung percepatan pembahasan RUU PPRT. Dalam upaya itu, Komnas HAM juga bersama institusi lain seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan, karena profesi PRT banyak melibatkan perempuan dan anak. ”Kelompok perempuan dan anak, seringkali mengalami beragam eksploitasi dan kekerasan, serta ketidakadilan dalam menjalankan profesi sebagai PRT,” katanya.
Aspek perlindungan dari berbagai ancaman itu, merupakan salah satu tugas dari Komnas HAM. Atnike mengakui, Komnas HAM pada 2021 sudah memberikan rekomendasi dalam bentuk kajian agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 189 sehingga Indonesia segera memiliki undang-undang yang mampu memberi perlindungan bagi PRT. "Kajian itu sudah kami serahkan kepada Komisi IX DPR RI dan Pemerintah," ujarnya.
Atnike menilai dengan adanya UU PPRT itu juga berarti negara hadir dalam upaya memberi perlindungan bagi PRT. Di sisi lain, kehadiran UU PPRT juga mendorong agar profesi PRT menjadi lebih profesional dan kompeten. “Kehadiran UU PPRT juga memberi pemerintah legal standing bila pekerja migran asal Indonesia menghadapi masalah di luar negeri,” katanya.
Ketua Komunitas Pemberi Kerja, Damairia Pakpahan menilai isi RUU PPRT sebenarnya lunak, sehingga tidak perlu terjadi upaya penundaan dalam proses pembahasannya. Menurut Damairia, hadirnya UU PPRT memberi kejelasan aturan bagi pemberi kerja dan PRT terkait hak dan kewajiban masing-masing.
“Informasi terkait kemampuan PRT, jam kerja, kualitas kerja, dan perjanjian kerja harus jelas. Sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak dapat dijalankan dengan baik,” katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Brian Sriprahastuti berpendapat komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Januari 2023 untuk segera menghadirkan UU PPRT merupakan puncak dari dorongan pemerintah terhadap percepatan proses pembahasan RUU PPRT.
“Ada sejumlah hal krusial yang diatur dalam RUU PPRT. Antara lain terkait kesepakatan jam kerja, waktu istirahat, model pengawasan, perizinan penyedia PRT, serta sistem perlindungan sosialnya,” katanya.
Sejumlah upaya, tegas Brian, juga sudah dilakukannya seperti komunikasi politik, kajian sejumlah substansi pada RUU PPRT dan komunikasi publik. Bila proses legislasi dan kajian terhadap Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada draft RUU PPRT berjalan lancer dengan dua kali konsinyering beleid ini selesai dibahas.
Ari Ujianto dari Jala PRT mengungkapkan banyak pihak yang tidak setuju terhadap RUU PPRT karena belum membaca isi RUU tersebut. Ari menilai isi aturan yang ada pada RUU PPRT saat ini terbilang tidak berat untuk dilaksanakan. Apalagi, pada awal diusulkan isi RUU PPRT sebenarnya direncanakan mengadopsi secara penuh Konvensi ILO 189.
“Namun, karena isi Konvensi ILO 189 dinilai sulit untuk diterapkan secara penuh diambil kesepakatan agar sejumlah aturan disesuaikan dengan kondisi yang ada,” katanya.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat saat diskusi daring bertema “Mengapa RUU PPRT Tak Kunjung Menjadi UU?” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (15/2/2023).
"Tidak ada lagi alasan mendasar untuk menunda pembahasan RUU PPRT, selain segera melanjutkan dan mengesahkannya menjadi undang-undang. Saat ini kita seperti menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi terhadap pekerja rumah tangga," katanya.
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, dalam konteks permasalahan yang dihadapi para pekerja rumah tangga, seharusnya terdapat ikatan kesetaraan yang meniadakan dominasi sosial antara pemberi dan penerima kerja. Selain hak dan kewajiban tersebut, kata anggota DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, terdapat kebutuhan yang paling mendasar yakni saling melindungi antara pemberi kerja dan PRT, sesuai yang diamanatkan oleh konstitusi.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu menilai ditunda-tundanya pembahasan RUU PPRT oleh pimpinan DPR merupakan keprihatinan bersama sekaligus tamparan bagi kita semua bahwa perjuangan selama 19 tahun belum bisa terwujud hingga saat ini.
Ketua Panja RUU PPRT - DPR RI Willy Aditya mengungkapkan problem krusial yang dihadapi dalam proses pembahasan RUU PPRT saat ini berada pada pimpinan DPR. Respons Ketua DPR RI yang menyebutkan RUU PPRT itu masih memerlukan kajian secara socio cultural merupakan tanggapan yang tidak tepat karena di dalam RUU PPRT itu sudah mencakup pengaturan aspek socio cultural. "Saya kira ini karena belum membaca isi RUU PPRT," ujarnya.
Willy mengaku sudah tiga kali meminta audiensi kepada Ketua DPR RI untuk menjelaskan sejumlah substansi dalam RUU PPRT itu, tetapi hingga saat ini permintaan itu tidak ditanggapi. Salah satu upaya untuk mendorong agar pimpinan DPR segera mengagendakan Sidang Paripurna untuk mengesahkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR, kata Willy, bisa melalui dugaan pelanggaran tata tertib DPR yang dilakukan Ketua DPR.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menegaskan turut mendukung percepatan pembahasan RUU PPRT. Dalam upaya itu, Komnas HAM juga bersama institusi lain seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan, karena profesi PRT banyak melibatkan perempuan dan anak. ”Kelompok perempuan dan anak, seringkali mengalami beragam eksploitasi dan kekerasan, serta ketidakadilan dalam menjalankan profesi sebagai PRT,” katanya.
Aspek perlindungan dari berbagai ancaman itu, merupakan salah satu tugas dari Komnas HAM. Atnike mengakui, Komnas HAM pada 2021 sudah memberikan rekomendasi dalam bentuk kajian agar pemerintah meratifikasi Konvensi ILO 189 sehingga Indonesia segera memiliki undang-undang yang mampu memberi perlindungan bagi PRT. "Kajian itu sudah kami serahkan kepada Komisi IX DPR RI dan Pemerintah," ujarnya.
Atnike menilai dengan adanya UU PPRT itu juga berarti negara hadir dalam upaya memberi perlindungan bagi PRT. Di sisi lain, kehadiran UU PPRT juga mendorong agar profesi PRT menjadi lebih profesional dan kompeten. “Kehadiran UU PPRT juga memberi pemerintah legal standing bila pekerja migran asal Indonesia menghadapi masalah di luar negeri,” katanya.
Ketua Komunitas Pemberi Kerja, Damairia Pakpahan menilai isi RUU PPRT sebenarnya lunak, sehingga tidak perlu terjadi upaya penundaan dalam proses pembahasannya. Menurut Damairia, hadirnya UU PPRT memberi kejelasan aturan bagi pemberi kerja dan PRT terkait hak dan kewajiban masing-masing.
“Informasi terkait kemampuan PRT, jam kerja, kualitas kerja, dan perjanjian kerja harus jelas. Sehingga hak dan kewajiban kedua belah pihak dapat dijalankan dengan baik,” katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Brian Sriprahastuti berpendapat komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 18 Januari 2023 untuk segera menghadirkan UU PPRT merupakan puncak dari dorongan pemerintah terhadap percepatan proses pembahasan RUU PPRT.
“Ada sejumlah hal krusial yang diatur dalam RUU PPRT. Antara lain terkait kesepakatan jam kerja, waktu istirahat, model pengawasan, perizinan penyedia PRT, serta sistem perlindungan sosialnya,” katanya.
Sejumlah upaya, tegas Brian, juga sudah dilakukannya seperti komunikasi politik, kajian sejumlah substansi pada RUU PPRT dan komunikasi publik. Bila proses legislasi dan kajian terhadap Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada draft RUU PPRT berjalan lancer dengan dua kali konsinyering beleid ini selesai dibahas.
Ari Ujianto dari Jala PRT mengungkapkan banyak pihak yang tidak setuju terhadap RUU PPRT karena belum membaca isi RUU tersebut. Ari menilai isi aturan yang ada pada RUU PPRT saat ini terbilang tidak berat untuk dilaksanakan. Apalagi, pada awal diusulkan isi RUU PPRT sebenarnya direncanakan mengadopsi secara penuh Konvensi ILO 189.
“Namun, karena isi Konvensi ILO 189 dinilai sulit untuk diterapkan secara penuh diambil kesepakatan agar sejumlah aturan disesuaikan dengan kondisi yang ada,” katanya.
(cip)