Lihai Jadi Mata-mata, Perwira Muda TNI AD Ini Diperebutkan Tiga Jenderal Jadi Ajudan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andries Tendean atau Pierre Tendean ketika masih menjadi perwira muda pernah menjadi rebutan para perwira tinggi TNI . Memiliki perawakan yang tampan, Pierre Tendean jadi rebutan karena kelihaiannya ketika menjalankan tugas di medan operasi.
Kelincahannya menjadi mata-mata ketika menjalan misi membuat petinggi TNI AD kepincut. Tak tanggung-tanggung, ada tiga jenderal yang berniat mengangkatnya menjadi ajudan. Ketiga pentolan TNI AD itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Dandi Kadarsan.
Dikutip dari buku Wajah dan Sejarah Perjuangan Nasional, Jumat (2/2/2023), lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1961 ini akhirnya diangkat menjadi ajudan Jenderal AH Nasution yang ketika itu menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankan/Kasab).
Jabatan sebagai ajudan Jenderal Nasution mulai dipangku Pierre tanggal 15 April 1965. Sebelum itu pangkatnya sudah dinaikkan menjadi letnan satu. Dalam menjalankan tugas sebagai ajudan inilah Letnan Satu Pierre Tendean gugur karena dibunuh oleh orang-orang PKI yang melakukan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara. Pemberontakan itu dikenal dengan nama Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30-S/PKI).
Kecintaannya pada dunia militer, sudah terlihat saat Pierre muda. Lulus dari SMA di Semarang, orang tua Pierre menghendaki agar ia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sesuai dengan profesi ayahnya, ia dianjurkan memasuki Fakultas Kedokteran.
Namun, Pierre mempunyai pilihan sendiri, yakni ingin memasuki AMN (Akademi Militer Nasional) sekarang Akademi Militer (Akmil). Akan tetapi, Pierre tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Karena itulah, selain mengikuti testing untuk Akademi Militer Jurusan Teknik (Atekad), ia juga mengikuti testing untuk memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Tes untuk memasuki Fakultas Kedokteran tidak dilakukannya dengan sesungguh hati. Akhirnya ia tidak diterima di Fakultas Kedokteran dan bulan November 1958 ia diterima sebagai taruna Atekad di Bandung.
Keseriusannya terjun di militer ditunjukkan dengan lulus dari Atekad pada tahun 1962 dengan nilai sangat memuaskan. Pada waktu itu pula ia dilantik sebagai letnan dua. Selama mengikuti pendidikan di Atekad ia memperlihatkan sikap yang baik, sehingga ia disenangi oleh teman-temannya. Malahan ia terpilih menjadi Wakil Ketua Senat Korps Taruna.
Ketika masih menjalani pendidikan, yakni pada waktu masih menjadi Kopral Taruna, Pierre Tendean telah diikutkan dalam operasi militer untuk menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Sebagai taruna Atekad, Pierre ditempatkan dalam kesatuan Zeni Tempur Operasi Saptamarga.
Jabatan pertama yang dipangku Pierre setelah menyelesaikan pendidikan di Atekad adalah Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Daerah Militer (Dam) II Bukit Barisan berkedudukan di Medan.
Kebetulan yang tak disangka-sangka, pada tahun yang sama dengan seruan ganyang Malaysia dilancarkan, sepucuk surat diterima Pierre. Isinya tak lain adalah perintah untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Bogor, sebagai persiapan menjalani tugas dan tanggung jawab yang telah diperhitungkan.
Pierre sadar betul sebagai seorang prajurit akan kesiapannya menghadapi segala kemungkinan termasuk tugas-tugas dan panggilan negara. Terlebih penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen merupakan kesempatan langka yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Tak main-main, Letda Pierre kala itu menjadi salah satu siswa termuda, baik dari segi usia maupun pengalamannya. Sementara siswa lain yang juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan intelijen dengannya merupakan para prajurit yang notabene sudah memiliki jam terbang tinggi.
Predikat memuaskan juga berhasil diperoleh Pierre ketika dinyatakan lulus dari STIN dengan masa pendidikan yang ditempuh selama satu tahun.
Pada tahun 1963, Indonesia sedang melakukan politik konfrontasi terhadap Malaysia. Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) sebagai bagian dari konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris.
Entah sebuah kebetulan yang tiba-tiba atau justru sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari, setelah lulus ia memang harus langsung siap siaga untuk ditugaskan ke medan pertempuran. Pendidikan intelijen itu diberikan, sebab Pierre akan ditugaskan untuk melakukan penyusupan ke daerah Malaysia. Dalam melaksanakan tugas ini ia diperbantukan pada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat yang bertugas di garis depan.
Dituliskan juga dalam buku "Pierre Tendean, Jejak Sang Ajudan", dua tahun lamanya Pierre Tendean ditempatkan di garis depan dan selama masa itu tiga kali ia melakukan penyusupan ke daerah Malaysia. Pertama kali ia memasuki daerah Malaysia dengan menyamar sebagai wisatawan.
Dengan fisik blasteran khas bule yang hampir mirip dengan pasukan Inggris, Pierre memang menjadi musuh berat karena sorot kamuflase ini. Pada masa konfrontasi Indonesia-Malaysia perwira muda ini melakukan aksi infiltrasi untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait kekuatan militer Inggris dan Malaysia dengan menyamar sebagai turis.
Dalam penyusupan ketiga, di tengah laut ia dikejar oleh kapal perusak (destroyer) Inggris. Dengan cepat ia membelokkan speedboat-nya dan secara diam-diam ia menyelam ke dalam laut. Sesudah itu ia berenang menuju sebuah perahu nelayan.
Agar tidak diketahui oleh pengemudi perahu, dengan sangat hati-hati ia bergantung di bagian belakang perahu, sementara seluruh badannya dibenamkan di air. Speedboat-nya kemudian diperiksa oleh pasukan patroli Inggris. Mereka hanya menemukan seorang pengemudi yang tidak menimbulkan kecurigaan apa-apa. Speedboat itu dibiarkan berlayar. Dengan cara demikian Pierre Tendean terhindar dari penangkapan.
Ambil peran dalam konfrontasi tersebut, di sanalah Pierre menjadi sorotan karena aksinya sebagai penyusup andal menjadi sebuah prestasi dan kenangan tersendiri. Rasa-rasanya sebutan sebagai 'Sang Pengecoh Pasukan Inggris', begitu melekat pada diri Pierre di sepanjang kiprah militer yang pernah dilaluinya.
Bahkan, jika di kemudian hari sosok Pierre lebih dikenal sebagai seorang ajudan Jenderal Besar AH Nasution, sebenarnya bergelut di bidang intelijen telah lebih dulu dan lebih lama ia jalani. Kelihaiannya sebagai mata-mata itu lah yang membuat Jenderal Nasution dan dua jenderal lainnya kepincut menjadikannya ajudan.
Dua tahun lamanya Pierre mengharumkan korpsnya dengan berada di garis depan mengoordinasikan para sukarelawan yang akan menyusup ke Malaysia. Sementara sebagai ajudan, ia jalani selama enam bulan mulai April-September 1965.
Meski tergolong singkat dalam hitungan waktu, kiprah Pierre dalam dunia kemiliteran serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara telah menjadi sebuah catatan panjang dengan goresan tinta emas yang mengokohkan sosoknya. Jiwa kepemimpinan dan kecakapan yang terpatri serta tanggung jawab atas tugas yang diembannya, praktis membuat pencapaian karier Pierre terus melonjak.
Ia bak gurung garuda yang mengepakkan sayapnya dan tengah terbang tinggi menyusuri batas cakrawala. Tak hanya tugas-tugas besar yang ia terima, bahkan seorang Pak Nas pun harus berebut Pierre dengan petinggi militer AD lainnya untuk menjadikannya sebagai ajudan pribadi.
Lihat Juga: Profil Susilo Adi Purwantoro, Pati TNI Jenderal Bintang Dua Wakil Rektor Universitas Pertahanan
Kelincahannya menjadi mata-mata ketika menjalan misi membuat petinggi TNI AD kepincut. Tak tanggung-tanggung, ada tiga jenderal yang berniat mengangkatnya menjadi ajudan. Ketiga pentolan TNI AD itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Dandi Kadarsan.
Baca Juga
Dikutip dari buku Wajah dan Sejarah Perjuangan Nasional, Jumat (2/2/2023), lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1961 ini akhirnya diangkat menjadi ajudan Jenderal AH Nasution yang ketika itu menjadi Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Menko Hankan/Kasab).
Jabatan sebagai ajudan Jenderal Nasution mulai dipangku Pierre tanggal 15 April 1965. Sebelum itu pangkatnya sudah dinaikkan menjadi letnan satu. Dalam menjalankan tugas sebagai ajudan inilah Letnan Satu Pierre Tendean gugur karena dibunuh oleh orang-orang PKI yang melakukan pemberontakan untuk merebut kekuasaan negara. Pemberontakan itu dikenal dengan nama Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30-S/PKI).
Kecintaannya pada dunia militer, sudah terlihat saat Pierre muda. Lulus dari SMA di Semarang, orang tua Pierre menghendaki agar ia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sesuai dengan profesi ayahnya, ia dianjurkan memasuki Fakultas Kedokteran.
Namun, Pierre mempunyai pilihan sendiri, yakni ingin memasuki AMN (Akademi Militer Nasional) sekarang Akademi Militer (Akmil). Akan tetapi, Pierre tidak ingin mengecewakan orang tuanya. Karena itulah, selain mengikuti testing untuk Akademi Militer Jurusan Teknik (Atekad), ia juga mengikuti testing untuk memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Tes untuk memasuki Fakultas Kedokteran tidak dilakukannya dengan sesungguh hati. Akhirnya ia tidak diterima di Fakultas Kedokteran dan bulan November 1958 ia diterima sebagai taruna Atekad di Bandung.
Keseriusannya terjun di militer ditunjukkan dengan lulus dari Atekad pada tahun 1962 dengan nilai sangat memuaskan. Pada waktu itu pula ia dilantik sebagai letnan dua. Selama mengikuti pendidikan di Atekad ia memperlihatkan sikap yang baik, sehingga ia disenangi oleh teman-temannya. Malahan ia terpilih menjadi Wakil Ketua Senat Korps Taruna.
Ketika masih menjalani pendidikan, yakni pada waktu masih menjadi Kopral Taruna, Pierre Tendean telah diikutkan dalam operasi militer untuk menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Sebagai taruna Atekad, Pierre ditempatkan dalam kesatuan Zeni Tempur Operasi Saptamarga.
Jabatan pertama yang dipangku Pierre setelah menyelesaikan pendidikan di Atekad adalah Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Daerah Militer (Dam) II Bukit Barisan berkedudukan di Medan.
Kebetulan yang tak disangka-sangka, pada tahun yang sama dengan seruan ganyang Malaysia dilancarkan, sepucuk surat diterima Pierre. Isinya tak lain adalah perintah untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Bogor, sebagai persiapan menjalani tugas dan tanggung jawab yang telah diperhitungkan.
Pierre sadar betul sebagai seorang prajurit akan kesiapannya menghadapi segala kemungkinan termasuk tugas-tugas dan panggilan negara. Terlebih penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen merupakan kesempatan langka yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Tak main-main, Letda Pierre kala itu menjadi salah satu siswa termuda, baik dari segi usia maupun pengalamannya. Sementara siswa lain yang juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan intelijen dengannya merupakan para prajurit yang notabene sudah memiliki jam terbang tinggi.
Predikat memuaskan juga berhasil diperoleh Pierre ketika dinyatakan lulus dari STIN dengan masa pendidikan yang ditempuh selama satu tahun.
Pada tahun 1963, Indonesia sedang melakukan politik konfrontasi terhadap Malaysia. Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) sebagai bagian dari konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris.
Entah sebuah kebetulan yang tiba-tiba atau justru sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari, setelah lulus ia memang harus langsung siap siaga untuk ditugaskan ke medan pertempuran. Pendidikan intelijen itu diberikan, sebab Pierre akan ditugaskan untuk melakukan penyusupan ke daerah Malaysia. Dalam melaksanakan tugas ini ia diperbantukan pada Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat yang bertugas di garis depan.
Dituliskan juga dalam buku "Pierre Tendean, Jejak Sang Ajudan", dua tahun lamanya Pierre Tendean ditempatkan di garis depan dan selama masa itu tiga kali ia melakukan penyusupan ke daerah Malaysia. Pertama kali ia memasuki daerah Malaysia dengan menyamar sebagai wisatawan.
Dengan fisik blasteran khas bule yang hampir mirip dengan pasukan Inggris, Pierre memang menjadi musuh berat karena sorot kamuflase ini. Pada masa konfrontasi Indonesia-Malaysia perwira muda ini melakukan aksi infiltrasi untuk mengumpulkan berbagai informasi terkait kekuatan militer Inggris dan Malaysia dengan menyamar sebagai turis.
Dalam penyusupan ketiga, di tengah laut ia dikejar oleh kapal perusak (destroyer) Inggris. Dengan cepat ia membelokkan speedboat-nya dan secara diam-diam ia menyelam ke dalam laut. Sesudah itu ia berenang menuju sebuah perahu nelayan.
Agar tidak diketahui oleh pengemudi perahu, dengan sangat hati-hati ia bergantung di bagian belakang perahu, sementara seluruh badannya dibenamkan di air. Speedboat-nya kemudian diperiksa oleh pasukan patroli Inggris. Mereka hanya menemukan seorang pengemudi yang tidak menimbulkan kecurigaan apa-apa. Speedboat itu dibiarkan berlayar. Dengan cara demikian Pierre Tendean terhindar dari penangkapan.
Ambil peran dalam konfrontasi tersebut, di sanalah Pierre menjadi sorotan karena aksinya sebagai penyusup andal menjadi sebuah prestasi dan kenangan tersendiri. Rasa-rasanya sebutan sebagai 'Sang Pengecoh Pasukan Inggris', begitu melekat pada diri Pierre di sepanjang kiprah militer yang pernah dilaluinya.
Bahkan, jika di kemudian hari sosok Pierre lebih dikenal sebagai seorang ajudan Jenderal Besar AH Nasution, sebenarnya bergelut di bidang intelijen telah lebih dulu dan lebih lama ia jalani. Kelihaiannya sebagai mata-mata itu lah yang membuat Jenderal Nasution dan dua jenderal lainnya kepincut menjadikannya ajudan.
Dua tahun lamanya Pierre mengharumkan korpsnya dengan berada di garis depan mengoordinasikan para sukarelawan yang akan menyusup ke Malaysia. Sementara sebagai ajudan, ia jalani selama enam bulan mulai April-September 1965.
Meski tergolong singkat dalam hitungan waktu, kiprah Pierre dalam dunia kemiliteran serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara telah menjadi sebuah catatan panjang dengan goresan tinta emas yang mengokohkan sosoknya. Jiwa kepemimpinan dan kecakapan yang terpatri serta tanggung jawab atas tugas yang diembannya, praktis membuat pencapaian karier Pierre terus melonjak.
Baca Juga
Ia bak gurung garuda yang mengepakkan sayapnya dan tengah terbang tinggi menyusuri batas cakrawala. Tak hanya tugas-tugas besar yang ia terima, bahkan seorang Pak Nas pun harus berebut Pierre dengan petinggi militer AD lainnya untuk menjadikannya sebagai ajudan pribadi.
Lihat Juga: Profil Susilo Adi Purwantoro, Pati TNI Jenderal Bintang Dua Wakil Rektor Universitas Pertahanan
(kri)