Masa Depan Muslim Moderat di Indonesia

Jum'at, 27 Januari 2023 - 15:23 WIB
loading...
Masa Depan Muslim Moderat di Indonesia
Dosen UIII Ridwan. FOTO/DOK.PRIBADI
A A A
Ridwan
Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII),
Pengurus Mata Garuda Indonesia LPDP Periode 2022-2024

BAGAIMANA kita memprediksi wajah muslim moderat di 2023 dan tahun-tahun mendatang? Apakah trennya akan positif? Atau wajah konservatisme agama akan menguat? Tulisan singkat ini akan mendiskusikan beberapa pertanyaan ini dengan melihat lintasan sejarah Islam, terutama paska reformasi, dan mengulik aspek sosio-politik dari muslim di Tanah Air.

Kita menyaksikan bahwa semenjak era Reformasi 1998 bergulir, Indonesia telah dan sedang mengalami penguatan konservatisme agama (conservative turn) dan Islamisasi ruang publik yang meruyak, ditandai dengan meningkatnya jumlah bank syariah, sekolah Islam tradisional, universitas Islam, dan masjid. Juga, ratusan perda bernuansa syariah yang acap merugikan minoritas, non-Muslim dan perempuan.

Selain itu, kehadiran kelompok transnasional Islam, yang mempropagandakan negara Islam atau kekhalifahan Islam adalah problem tersendiri. Kehadiran kelompok Islam transnasional telah memicu ketegangan tidak hanya dengan komunitas Kristen dan agama-agama lain, tetapi juga di dalam komunitas muslim yang dianggap sempalan, seperti Jamaah Ahmadiyah dan komunitas Syiah serta agama-agama lokal. Ketegangan terutama terlihat di masyarakat akar rumput, di mana para pengkhotbah agama konservatif berkontribusi pada merajalelanya ujaran kebencian, prasangka, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kesalahpahaman antara Muslim dan Kristen dan antar sesama muslim, yang sering kali tumpah menjadi konflik kekerasan.

Indonesia telah dan sedang berjibaku dengan sentimen religiusitas, yang sampai batas tertentu mengarah pada eksklusivitas agama, yang dapat bersalin rupa menjadi ekstremisme agama yang mengganggu kohesi sosial yang berlaku. Di tingkat sosial, sebagian masyarakat dari agama yang berbeda masih belum siap menerima dan berinteraksi dengan perbedaan agama dan kepercayaan karena ajaran agama yang berasal dari tafsir yang literal. Hal ini dibuktikan dengan semakin intensifnya tindakan intoleransi seperti penutupan tempat ibadah, serangan terhadap kelompok agama tertentu, penyesatan, dan penyebaran kebencian atas nama agama.

Meningkatnya radikalisasi agama di Indonesia disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang agama lain di kalangan komunitas agama. Beberapa ketegangan yang timbul adalah pengaruh dari tidak adanya pertemuan para pemimpin agama akar rumput dan pemimpin agama muda secara lokal. Jika minimnya perjumpaan antartokoh lintas agama terus terjadi, maka ancaman konflik agama akan semakin memburuk dan mempersulit kerukunan komunal di Indonesia. Dalam kondisi ini, moderasi beragama, termasuk Islam wasathiyyah menghadapi batu ujian kesangsian untuk tetap dianut di Tanah Air.

Memang, muslim Indonesia secara luas diakui sebagai muslim moderat, mengingat mereka umumnya lebih berpikiran terbuka, toleran, dan menghormati pluralisme. Dalam hal ini, tidak berlebihan jika Indonesia diakui sebagai panutan demokrasi bagi negara-negara muslim.

Namun, bukti menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi kebangkitan konservatisme dan radikalisme Islam seperti yang dijelaskan di atas. Muslim moderat tampil sebagai mayoritas diam (silent majority) dalam menyahuti kebangkitan gerakan radikal Islam. Bahkan, gerakan-gerakan Islam radikal menyebarkan secara luas semangat sikap intoleransi, anti-pluralisme, dan gagasan berpikiran Syari'at yang ketat, legal, dan eksklusif, yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik dan keislaman muslim moderat arus utama di Indonesia.

Dinamika sosial dan politik Islam Indonesia telah menarik banyak perhatian dari banyak ulama. Bagi banyak cendekiawan, Islam Indonesia telah digambarkan sebagai rumah bagi Islam moderat. Perkembangan sejarah Islam yang unik di Tanah Air telah mendefinisikan karakteristik Islam di Indonesia sebagai toleran dan menghormati perbedaan sosial-agama. Baik NU maupun Muhammadiyah, sebagai dua organisasi Muslim terbesar di Indonesia, telah terbuka dan menerima ide-ide keagamaan baru, sehingga memungkinkan kedua organisasi untuk menyesuaikan pandangan keagamaan mereka dengan perkembangan sosial dan politik masyarakat Indonesia kontemporer.

Namun, perkembangan politik saat ini telah menimbulkan tantangan baru bagi elite agama tidak hanya dari dua organisasi keagamaan tetapi juga organisasi keagamaan dan sosial lainnya di negara ini. Masuk akal untuk mengasumsikan bahwa para pemimpin organisasi massa Islam akan menanggapi perkembangan saat ini berdasarkan penilaian mereka terhadap kondisi tersebut. Namun, keprihatinan yang luar biasa dengan munculnya konservatisme dan intoleransi di kalangan Muslim selama dua dekade terakhir agak mengabaikan dinamika agama dan sosial-ekonomi kelompok toleran.

Gerakan Islam radikal di Indonesia terjadi secara masif dan terstruktur dengan baik. Meskipun kecil dalam hal jumlah namun mereka berisik dan mendapat perhatian. Gerakan ini tidak hanya menyasar tujuan ideologis-politik dan kepentingan kenegaraan tetapi juga menembus berbagai aspek kehidupan di masyarakat, termasuk ekspresi keagamaan. Oleh karena itu, berbagai gerakan Islam radikal dan khususnya Islam transnasional dapat dianggap sebagai gerakan Islam radikal.

Karena telah merambah ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, banyak yang beranggapan bahwa gerakan radikal keagamaan ini harus direduksi keberadaannya atau bahkan dihilangkan dalam ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. Karena secara ideologis-politis, keberadaan gerakan radikal keagamaan akan mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika dilihat dari ekspresi agama, keberadaan gerakan radikal keagamaan ini akan berbenturan dengan sikap moderat dalam beragama yang telah mapan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ini karena gerakan mereka lebih fundamentalistik dan menunjukkan anti-moderasi dalam ekspresi agama mereka.

Meningkatnya pengaruh konservatisme dalam masyarakat telah menempatkan kelompok moderat agama dalam situasi yang sulit. Sebagian besar umat Islam Indonesia dapat dikategorikan sebagai muslim moderat yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Namun, berbagai aksi kekerasan yang melibatkan kelompok Muslim radikal seperti Front Pembela Islam (Front Pembela Islam, FPI) dan kegiatan teroris yang telah menyebar di berbagai kota, seperti Surabaya dan Makassar beberapa nama, serta jaringan ISIS yang menyebar ke Papua telah menggugat moderasi Islam di Tanah Air.

Selain itu, jaringan gerakan Islam transnasional seperti Jamaah Tarbiyah, Salafi-Wahabi, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang masih aktif melalui gerakan bawah tanah dalam menyebarkan paham mendirikan negara Islam dan khilafah global melalui sekolah dan media sosial di seluruh negeri tetap perlu mendapat perhatian.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak bagian masyarakat untuk mengatasi kebangkitan konservatisme. Pemerintah Indonesia telah melarang HTI pada 2017, mengingat gerakannya yang ingin mengubah ideologi Indonesia menjadi khilafah. Pada 2020, pemerintah Indonesia juga melarang FPI (Front Pembela Islam). Selain itu, setiap gerakan radikal keagamaan yang terjadi di Indonesia juga telah diupayakan untuk melakukan deradikalisasi. Eksponen terorisme berbasis agama yang merupakan turunan radikalisme agama di tingkat tertinggi juga telah dihilangkan dengan cepatnya dan ampuhnya Detasemen Khusus 88 Kepolisian Republik Indonesia.

Banyak anggotanya telah dideradikalisasi, seperti anggota teroris Mujahidin Indonesia Timur (Mujahidin Indonesia Timur, MIT) yang tertangkap. Berbagai organisasi keagamaan yang selama ini berorientasi pada kekerasan juga telah diupayakan untuk melakukan deradikalisasi. Namun, semua itu tentu tidak akan menghentikan upaya penanggulangan radikalisme agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Memang, telah ada upaya pemerintah Indonesia melalui kementerian agama yang mengkampanyekan moderasi beragama secara masif, termasuk pendirian Universitas Islkam Internasional Indonesia (UIII) sebagai rumah moderasi untuk mendorong pembumian Islam wasathiyyah yang bisa diekspor keluar. Namun gerakan moderasi beragama tidak lepas dari sejumlah kritikan, di antaranya terlalu top down dan tidak bderangkat dari bawah.

Upaya Kemenag untuk terus mendorong moderasi beragama perlu terus dikembangkan dan didukung, karena tantangan konservatisasi agama masih berlangsung. Juga, tidak semua muslim dan organisasi massa Islam Indonesia setuju atau mendukung promosi moderasi beragama oleh Kemenag, sehingga lebih sulit untuk menghentikan proliferasi pandangan konservatif dan membela Islam moderat.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1315 seconds (0.1#10.140)