Pengamat: Ada Oligarki di Balik Desakan Perpanjangan Masa Jabatan Kades
loading...
A
A
A
JAKARTA - Desakan memperpanjang masa jabatan kepala desa (kades) dari enam tahun menjadi sembilan tahun menguat. Para kepala desa beralasan perlunya masa jabatan diperpanjang menjadi kembilan tahun karena waktu enam tahun tidak cukup untuk membangun desa.
Masa enam tahun habis untuk menyelesaikan ketegangan dan keterbelahan pasca pemilihan. Dana pemilihan kepala desa bisa digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Tetapi hal ini dinilai lebih bernuansa politis ketimbang kebutuhan pengembangan desa seperti dalih para kepala desa.
"Ada hasrat penguasa di daerah untuk melanggengkan kekuasaan namun urgensinya tidak jelas. Ini tidak lebih dari bentuk keinginan oligarki kecil yang tumbuh di daerah dan berusaha untuk menggerogoti proses demokrasi di tingkat daerah,” terang Pengamat politik Ikhwan Arif, dikutip dari Okezone, Rabu (25/1/2023).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Power ini di daerah demokrasi tergerus keinginan segelintir elite penguasa yang bukan mewakili kepentingan rakyat langsung. ”Kita bisa melihat siapa saja aktor-aktor intelektual di balik tuntutan itu. Sekarang peran penting ada di tangan DPR mau disahkan atau tidaknya,” ujar dia.
Hal yang sama diungkapkan pengamat politik Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Sunaji Zamroni. Menururt dia, bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun tidak masuk akal.
Dia mengingatkan bahwa masa jabatan seorang pejabat tidak perlu terlalu lama karena akan merasa lebih berkuasa dan kemungkinan mengundang banyak risiko.
“Jangankan sembilan tahun, yang enam tahun saja argumentasi dan alasannya belum jelas. Jika sekarang ditarik ke angka sembilan asumsi yang dibangun itu sebenarnya sudah nggak make sense juga,” kata Naji, dikutip dari NU Online, Rabu (25/1/2023).
Masa enam tahun habis untuk menyelesaikan ketegangan dan keterbelahan pasca pemilihan. Dana pemilihan kepala desa bisa digunakan untuk pembangunan sumber daya desa.
Tetapi hal ini dinilai lebih bernuansa politis ketimbang kebutuhan pengembangan desa seperti dalih para kepala desa.
"Ada hasrat penguasa di daerah untuk melanggengkan kekuasaan namun urgensinya tidak jelas. Ini tidak lebih dari bentuk keinginan oligarki kecil yang tumbuh di daerah dan berusaha untuk menggerogoti proses demokrasi di tingkat daerah,” terang Pengamat politik Ikhwan Arif, dikutip dari Okezone, Rabu (25/1/2023).
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Power ini di daerah demokrasi tergerus keinginan segelintir elite penguasa yang bukan mewakili kepentingan rakyat langsung. ”Kita bisa melihat siapa saja aktor-aktor intelektual di balik tuntutan itu. Sekarang peran penting ada di tangan DPR mau disahkan atau tidaknya,” ujar dia.
Hal yang sama diungkapkan pengamat politik Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Sunaji Zamroni. Menururt dia, bahwa perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun tidak masuk akal.
Dia mengingatkan bahwa masa jabatan seorang pejabat tidak perlu terlalu lama karena akan merasa lebih berkuasa dan kemungkinan mengundang banyak risiko.
“Jangankan sembilan tahun, yang enam tahun saja argumentasi dan alasannya belum jelas. Jika sekarang ditarik ke angka sembilan asumsi yang dibangun itu sebenarnya sudah nggak make sense juga,” kata Naji, dikutip dari NU Online, Rabu (25/1/2023).
(muh)