Predator Anak Asal Prancis Bunuh Diri, Psikolog: Pastikan Tidak Dibunuh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Francois Abello Camille, warga negara Prancis tersangka dugaan pelecehan seksual terhadap 305 anak, tewas bunuh diri. Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menerangkan bahwa tindakan bunuh diri di kalangan pelaku kekerasan seksual anak memang cukup tinggi, bahkan 180 kali lebih tinggi daripada pada masyarakat umum.
“Ini memberikan pemahaman bahwa aparat penegak hukum perlu memperlakukan pelaku kejahatan serupa dengan pendekatan khusus. Awas, jangan sampai pelaku lainnya-termasuk pelaku warga negara asing (WNA)-melakukan aksi fatal serupa,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (14/7/2020).
(Baca: Jenazah Pelaku Pencabulan 305 Anak di Bawah Umur Jalani Visum di RS Polri)
Francois diduga melakukan eksploitasi secara ekonomi dan seksual kepada anak-anak. Tak tanggung-tanggung, korbannya diduga sebanyak 305 orang.
Dalam situasi seperti itu, Reza mengingatkan pentingnya pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. Korban eksploitasi berhak memperoleh perlindungan khusus dari negara dan restitusi (ganti rugi) dari pelaku.
“Tapi jika pelaku tidak mampu, misalnya karena meninggal dunia, sejumlah negara memberlakukan kompensasi. Kewajiban membayar ganti rugi dialihkan kepada negara. Ini merupakan bentuk sanksi atas kegagalan negara melindungan warganya (anak-anak),” terang pria kelahiran 1974 itu.
Dia mengutarakan aparat keamanan tidak boleh hanya melihat pelaku eksploitasi seksual sebagai lonely wolf. Sebaliknya, polisi diminta tetap mengusut kemungkinan adanya jaringan internasional dalam kasus predator anak asal Perancis itu. Aparat, kata Reza, harus memastikan Francois tidak dibunuh.
“Dibunuh oleh sindikat internasional tersebut. Jika mereka menggunakan cryptocurrency sebagai alat transaksi kemungkinan penelusurannya tidak mudah. Semoga kepolisian tetap bisa membongkar lebih jauh pergerakan jaringan jahat internasional tersebut,” ujar Reza.
(Baca: Dugaan Pemerkosaan di P2TP2A, DPD Minta Pelaku Dihukum Seumur Hidup)
Desakan senada juga disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris. Menurut dia polisi perlu mengembangkan pengusutan bukan saja untuk menelusuri sejauh mana eksploitasi telah dilakukan, tapi juga untuk mencari tahu kemungkinan keterlibatan jaringan internasional.
Menurut Fahira, salah satu modus operandi jaringan paedofil internasional adalah memperjualbelikan video pornografi anak. Polisi sendiri sudah menemukan adanya 305 video mesum tersangka yang disimpan dalam laptop.
“Ini menjadi titik awal pengembangan kasus. Berdasarkan pengalaman dari kasus-kasus sebelumnya, predator anak seperti ini mempunyai jaringan internasional. Mereka berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mencari mangsa,” ungkapnya, Selasa (14/7/2020).
Senator asal DKI Jakarta itu menilai kasus ini tergolong besar karena jumlah korbannya hingga ratusan anak. Polisi diminta mencari motif pelaku merekam adegan seksual perlu ditelusuri.
“Kepada siapa saja video itu ditransmisikan. Dari ini bisa diketahui jaringan pelaku. Jika dari bukti-bukti ternyata pelaku adalah jaringan paedofil, polisi bisa menguak kasus yang lebih besar. Bahkan, mungkin membantu polisi di negara lain dalam mengungkap kasus sejenis,” pungkasnya.
“Ini memberikan pemahaman bahwa aparat penegak hukum perlu memperlakukan pelaku kejahatan serupa dengan pendekatan khusus. Awas, jangan sampai pelaku lainnya-termasuk pelaku warga negara asing (WNA)-melakukan aksi fatal serupa,” ujarnya dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Selasa (14/7/2020).
(Baca: Jenazah Pelaku Pencabulan 305 Anak di Bawah Umur Jalani Visum di RS Polri)
Francois diduga melakukan eksploitasi secara ekonomi dan seksual kepada anak-anak. Tak tanggung-tanggung, korbannya diduga sebanyak 305 orang.
Dalam situasi seperti itu, Reza mengingatkan pentingnya pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual. Korban eksploitasi berhak memperoleh perlindungan khusus dari negara dan restitusi (ganti rugi) dari pelaku.
“Tapi jika pelaku tidak mampu, misalnya karena meninggal dunia, sejumlah negara memberlakukan kompensasi. Kewajiban membayar ganti rugi dialihkan kepada negara. Ini merupakan bentuk sanksi atas kegagalan negara melindungan warganya (anak-anak),” terang pria kelahiran 1974 itu.
Dia mengutarakan aparat keamanan tidak boleh hanya melihat pelaku eksploitasi seksual sebagai lonely wolf. Sebaliknya, polisi diminta tetap mengusut kemungkinan adanya jaringan internasional dalam kasus predator anak asal Perancis itu. Aparat, kata Reza, harus memastikan Francois tidak dibunuh.
“Dibunuh oleh sindikat internasional tersebut. Jika mereka menggunakan cryptocurrency sebagai alat transaksi kemungkinan penelusurannya tidak mudah. Semoga kepolisian tetap bisa membongkar lebih jauh pergerakan jaringan jahat internasional tersebut,” ujar Reza.
(Baca: Dugaan Pemerkosaan di P2TP2A, DPD Minta Pelaku Dihukum Seumur Hidup)
Desakan senada juga disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris. Menurut dia polisi perlu mengembangkan pengusutan bukan saja untuk menelusuri sejauh mana eksploitasi telah dilakukan, tapi juga untuk mencari tahu kemungkinan keterlibatan jaringan internasional.
Menurut Fahira, salah satu modus operandi jaringan paedofil internasional adalah memperjualbelikan video pornografi anak. Polisi sendiri sudah menemukan adanya 305 video mesum tersangka yang disimpan dalam laptop.
“Ini menjadi titik awal pengembangan kasus. Berdasarkan pengalaman dari kasus-kasus sebelumnya, predator anak seperti ini mempunyai jaringan internasional. Mereka berpindah dari satu negara ke negara lain untuk mencari mangsa,” ungkapnya, Selasa (14/7/2020).
Senator asal DKI Jakarta itu menilai kasus ini tergolong besar karena jumlah korbannya hingga ratusan anak. Polisi diminta mencari motif pelaku merekam adegan seksual perlu ditelusuri.
“Kepada siapa saja video itu ditransmisikan. Dari ini bisa diketahui jaringan pelaku. Jika dari bukti-bukti ternyata pelaku adalah jaringan paedofil, polisi bisa menguak kasus yang lebih besar. Bahkan, mungkin membantu polisi di negara lain dalam mengungkap kasus sejenis,” pungkasnya.
(muh)