Asupan Telur dan Ikan untuk Generasi Emas
loading...
A
A
A
“Mari berikan asupan hewani seperti susu, daging, telur dan ikan untuk mencegah stunting”. Seruan yang disampaikan Plt Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Ni Made Diah merupakan pesan utama dalam peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) yang jatuh setiap 25 Januari.
Pesan pentingnya gizi bagi anak sekilas memang klise. Seruan itu kerap digaungkan setiap jelang HGN yang memang diarahkan untuk memupuk kepedulian masyarakat akan pentingnya memenuhi nutrisi sehat dan seimbang serta menciptakan produksi pangan berkelanjutan. Namun, apabila ditilik dari realitas di lapangan, seruan ini memang harus terus disampaikan, terutama melihat kasus stunting di Tanah Air.
Kendati berdasarkan laporan terakhir Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan tren penurunan, dari 30,8% pada 2018 menjadi 24,4% pada 2022, angka stunting tersebut terbilang tinggi. Apalagi dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN. Prevalensi stunting di Indonesia ternyata masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%).
Jika diilustrasikan, angka stunting 24,4% berarti satu dari empat atau sekitar lima juta anak Indonesia mengalami stunting. Gangguan tumbuh kembang anak akibat kurangnya asupan gizi atau infeksi berulang tersebut memiliki implikasi fatal. Yakni, bukan hanya menghambat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai negara sehat berprestasi, tapi juga target Indonesia Emas yang diharapkan bisa tercapai pada 2045.
Salah satu variabel terpenting terwujudnya Indonesia Emas adalah bagaimana negeri ini pada 2045 bisa memaksimalkan bonus demografi. Pada saat itu yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun). Sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).
Besarnya penduduk produktif akan benar-benar menjadi bonus demokrasi jika SDM yang mengisinya benar-benar andal. Sebaliknya, potensi tersebut hanya akan sia-sia, bahkan menjadi bencana, jika ternyata mereka tidak memiliki kapasitas seperti diharapkan dan sebaliknya hanya menjadi beban yang ditanggung negara.
Target Indonesia Emas bisa terwujud bila bonus demografi diisi dengan generasi muda yang memiliki kecerdasan yang komprehensif, yakni produktif, inovatif; damai dalam interaksi sosialnya, dan berkarakter yang kuat; sehat, menyehatkan dalam interaksi alamnya; dan berperadaban unggul.
Kualifikasi seperti ini tentu tidak bisa terwujud bim salabim, tapi harus dipupuk dan dibina sejak dini secara komprehensif, termasuk terpenuhi gizi anak mulai dari dalam kandungan.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting sudah menyusun formulasi program percepatan dalam penurunan stunting mengarah pada intervensi berbasis keluarga berisiko stunting dengan menekankan pada penyiapan kehidupan berkeluarga, pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu pelayanan Kesehatan, serta peningkatan akses air minum dan sanitasi.
Upaya mewujudkan target ini tentu bukan hanya disematkan di pundak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tapi stakeholder terkait lainnya, termasuk Kementerian Kesehatan. Untuk pemenuhhan gizi, misalnya, Kemenkes melakukan intervensi dengan pendekatan gizi spesifik.
Pendekatan dimaksud berkaitan dengan evaluasi dan pendekatan masalah gizi pada sasaran intervensi yang diberikan kepada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, bayi, anak, remaja putri, calon pengantin, ibu hamil dan ibu melahirkan.
Membangun kesadaran para orang tua, terutama keluarga muda, untuk memberi perhatian penuh pada pemenuhan gizi demi tumbung kembang anak yang sehat harus mendapat penekanan. Hal ini karena merekalah ujung tombak sejatinya yang yang bisa mewujudkan generasi muda sehat. Salah satu kesadaran yang sangat dibutuhkan adalah selalu menyediakan asupan gizi untuk balita.
Berdasarkan penelitian yang dirangkum oleh Kemenkes, keterkaitanstuntingdengan protein hewani sangat tinggi. Penekanan pentingnya protein hewani untuk mencegah stunting dianggap strategis karena dinilai lebih terjangkau secara harga oleh masyarakat dan mudah didapatkan. Kemenkes merekomendasikan asupan protein dalam seharinya bisa mencapai sebanyak 62 gram. Bila kesadaran tersebut bisa muncul, maka target Generasi Emas 2024 bukan sekadar khayalan.
Pesan pentingnya gizi bagi anak sekilas memang klise. Seruan itu kerap digaungkan setiap jelang HGN yang memang diarahkan untuk memupuk kepedulian masyarakat akan pentingnya memenuhi nutrisi sehat dan seimbang serta menciptakan produksi pangan berkelanjutan. Namun, apabila ditilik dari realitas di lapangan, seruan ini memang harus terus disampaikan, terutama melihat kasus stunting di Tanah Air.
Kendati berdasarkan laporan terakhir Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan tren penurunan, dari 30,8% pada 2018 menjadi 24,4% pada 2022, angka stunting tersebut terbilang tinggi. Apalagi dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN. Prevalensi stunting di Indonesia ternyata masih lebih tinggi dari Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%).
Jika diilustrasikan, angka stunting 24,4% berarti satu dari empat atau sekitar lima juta anak Indonesia mengalami stunting. Gangguan tumbuh kembang anak akibat kurangnya asupan gizi atau infeksi berulang tersebut memiliki implikasi fatal. Yakni, bukan hanya menghambat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sebagai negara sehat berprestasi, tapi juga target Indonesia Emas yang diharapkan bisa tercapai pada 2045.
Salah satu variabel terpenting terwujudnya Indonesia Emas adalah bagaimana negeri ini pada 2045 bisa memaksimalkan bonus demografi. Pada saat itu yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun). Sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 14 tahun dan di atas 65 tahun).
Besarnya penduduk produktif akan benar-benar menjadi bonus demokrasi jika SDM yang mengisinya benar-benar andal. Sebaliknya, potensi tersebut hanya akan sia-sia, bahkan menjadi bencana, jika ternyata mereka tidak memiliki kapasitas seperti diharapkan dan sebaliknya hanya menjadi beban yang ditanggung negara.
Target Indonesia Emas bisa terwujud bila bonus demografi diisi dengan generasi muda yang memiliki kecerdasan yang komprehensif, yakni produktif, inovatif; damai dalam interaksi sosialnya, dan berkarakter yang kuat; sehat, menyehatkan dalam interaksi alamnya; dan berperadaban unggul.
Kualifikasi seperti ini tentu tidak bisa terwujud bim salabim, tapi harus dipupuk dan dibina sejak dini secara komprehensif, termasuk terpenuhi gizi anak mulai dari dalam kandungan.
Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting sudah menyusun formulasi program percepatan dalam penurunan stunting mengarah pada intervensi berbasis keluarga berisiko stunting dengan menekankan pada penyiapan kehidupan berkeluarga, pemenuhan asupan gizi, perbaikan pola asuh, peningkatan akses dan mutu pelayanan Kesehatan, serta peningkatan akses air minum dan sanitasi.
Upaya mewujudkan target ini tentu bukan hanya disematkan di pundak Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tapi stakeholder terkait lainnya, termasuk Kementerian Kesehatan. Untuk pemenuhhan gizi, misalnya, Kemenkes melakukan intervensi dengan pendekatan gizi spesifik.
Pendekatan dimaksud berkaitan dengan evaluasi dan pendekatan masalah gizi pada sasaran intervensi yang diberikan kepada 1.000 Hari Pertama Kehidupan, bayi, anak, remaja putri, calon pengantin, ibu hamil dan ibu melahirkan.
Membangun kesadaran para orang tua, terutama keluarga muda, untuk memberi perhatian penuh pada pemenuhan gizi demi tumbung kembang anak yang sehat harus mendapat penekanan. Hal ini karena merekalah ujung tombak sejatinya yang yang bisa mewujudkan generasi muda sehat. Salah satu kesadaran yang sangat dibutuhkan adalah selalu menyediakan asupan gizi untuk balita.
Berdasarkan penelitian yang dirangkum oleh Kemenkes, keterkaitanstuntingdengan protein hewani sangat tinggi. Penekanan pentingnya protein hewani untuk mencegah stunting dianggap strategis karena dinilai lebih terjangkau secara harga oleh masyarakat dan mudah didapatkan. Kemenkes merekomendasikan asupan protein dalam seharinya bisa mencapai sebanyak 62 gram. Bila kesadaran tersebut bisa muncul, maka target Generasi Emas 2024 bukan sekadar khayalan.
(ynt)