Bedah Buku Soekarno-Hatta, Sejarawan: Anak Muda Indonesia Jangan Minder di Hadapan Asing
Rabu, 21 Desember 2022 - 17:52 WIB
JAKARTA - Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap sejumlah hal mengenai Proklamator RI Soekarno -Hatta yang masih relevan untuk mahasiswa dan anak muda Indonesia saat ini. Salah satunya adalah anak muda Indonesia tidak boleh minder di hadapan bangsa asing.
"Kita bisa memahami Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh yang otentik dan orisinil dan gagasannya untuk Indonesia," kata Bonnie Triyana dalam acara bedah buku Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12/2022).
Bonnie bercerita ada beberapa mentalitas dan kritik kebudayaan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia ketika itu. Namun sebenarnya kritik itu masih relevan hingga saat ini. Pertama mentalitas bangsa. Kedua adalah kebudayaan kolot lalu anti-kerakyatan, budaya rendah diri, dan bodoh/jumud.
Baca juga: Sekjen PDIP: Tidak Ada Pemimpin Tanpa Meniti Jalan Intelektual
"Kita bisa cek hasil tulisan Bung Karno. Mentalitas kolonial yang dikritik Bung Karno itu apa? Melihat penguasa asing kulit putih Belanda sebagai kumpulan orang yang superior. Sementara kita inferior," kata Bonnie.
"Bung Karno sebagai seorang Islam pembaharu, yang Mujaddid. Kita bisa lihat sebagai pemikir keislaman Bung Karno ingin melihatkan Islam sebagai generator. Ini kritik Bung Karno yang harus mengubah mindset orang Indonesia bahwa kita berdiri sejajar dengan bangsa lain," urainya.
Menurut Bonnie, pada 1945 saat Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia sekitar 61 juta dan 75% lebih buta huruf. Maka strategi Bung Karno bagaimana mengubah bangsa Indonesia yang sepenuhnya merdeka adalah pertama-tama dengan menegakkan supremasi ilmu pengetahuan.
"Jadi penting universitas, pentingnya pendidikan. Pengetahuan menjadi cara dan modal untuk meraih kemajuan. Kedua aspirasi kebudayaan. Semua punya ekspresi yang sama. Kemudian kebijakan berbasiskan pengetahuan. Kebijakannya teknokratik, yang berdasarkan riset dan berbasis pengetahuan," katanya.
Bonnie menilai sosok Bung Karno sebagai pemersatu dan tidak membentur-benturkan. Salah satu contohnya adalah dalam pidato 17 Agustus 1964. Dia memberi pesan kepada masyarakat Tionghoa, yang dulu terbelah menjadi dua. Pertama yang mendukung asimilasi total, misalnya jika ingin menjadi warga Indonesia harus ganti nama dan lainnya. Kedua, tidak asimilasi total atau integrasi wajar yakni menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri sebagai Tionghoa.
"Kita bisa memahami Bung Karno dan Bung Hatta adalah tokoh yang otentik dan orisinil dan gagasannya untuk Indonesia," kata Bonnie Triyana dalam acara bedah buku Membumikan Ide dan Gagasan Soekarno-Hatta di Universitas Terbuka Convention Center, Pamulang, Tangerang Selatan, Rabu (21/12/2022).
Bonnie bercerita ada beberapa mentalitas dan kritik kebudayaan Bung Karno terhadap bangsa Indonesia ketika itu. Namun sebenarnya kritik itu masih relevan hingga saat ini. Pertama mentalitas bangsa. Kedua adalah kebudayaan kolot lalu anti-kerakyatan, budaya rendah diri, dan bodoh/jumud.
Baca juga: Sekjen PDIP: Tidak Ada Pemimpin Tanpa Meniti Jalan Intelektual
"Kita bisa cek hasil tulisan Bung Karno. Mentalitas kolonial yang dikritik Bung Karno itu apa? Melihat penguasa asing kulit putih Belanda sebagai kumpulan orang yang superior. Sementara kita inferior," kata Bonnie.
"Bung Karno sebagai seorang Islam pembaharu, yang Mujaddid. Kita bisa lihat sebagai pemikir keislaman Bung Karno ingin melihatkan Islam sebagai generator. Ini kritik Bung Karno yang harus mengubah mindset orang Indonesia bahwa kita berdiri sejajar dengan bangsa lain," urainya.
Menurut Bonnie, pada 1945 saat Indonesia merdeka, jumlah penduduk Indonesia sekitar 61 juta dan 75% lebih buta huruf. Maka strategi Bung Karno bagaimana mengubah bangsa Indonesia yang sepenuhnya merdeka adalah pertama-tama dengan menegakkan supremasi ilmu pengetahuan.
"Jadi penting universitas, pentingnya pendidikan. Pengetahuan menjadi cara dan modal untuk meraih kemajuan. Kedua aspirasi kebudayaan. Semua punya ekspresi yang sama. Kemudian kebijakan berbasiskan pengetahuan. Kebijakannya teknokratik, yang berdasarkan riset dan berbasis pengetahuan," katanya.
Bonnie menilai sosok Bung Karno sebagai pemersatu dan tidak membentur-benturkan. Salah satu contohnya adalah dalam pidato 17 Agustus 1964. Dia memberi pesan kepada masyarakat Tionghoa, yang dulu terbelah menjadi dua. Pertama yang mendukung asimilasi total, misalnya jika ingin menjadi warga Indonesia harus ganti nama dan lainnya. Kedua, tidak asimilasi total atau integrasi wajar yakni menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri sebagai Tionghoa.
tulis komentar anda