Ambisi Israel Mencaplok Tepi Barat
Kamis, 09 Juli 2020 - 07:31 WIB
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
SALAH satu konflik besar di dunia yang sampai sekarang ini sangat ruwet untuk diselesaikan adalah konflik Arab/Palestina-Israel. Sejak negara Israel didirikan di Tanah Palestina pada 1948, konflik pecah antara negara Israel (bangsa Yahudi) dan negara-negara Arab (rakyat Palestina dan bangsa-bangsa Arab). Berdirinya negara Israel di Tanah Palestina ditentang oleh negara-negara Arab karena tanah itu adalah milik sah rakyat Palestina. Bagi negara-negara Arab, Israel telah merampok sebagian Tanah Palestina. Konflik ditandai dengan pecahnya perang Arab-Israel tahun 1967. Dalam enam hari saja tentara Israel berhasil mengalahkan pasukan gabungan negara-negara Arab yang melibatkan Mesir, Yordania, Suriah, dan pasukan Palestina. Dalam perang ini Israel merebut beberapa wilayah, termasuk Dataran Tinggi Golan milik Suriah, yang oleh Israel dianeksasi sampai sekarang.
Pasca-perang Arab-Israel 1967, upaya perdamaian Arab-Israel yang dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter dilakukan. Pada 1978, Presiden Carter mengundang Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin ke Camp David sehingga tercapailah kesepakatan damai antara Mesir dan Israel. Secercah harapan dan keberhasilan ini disusul dengan tercapainya Perjanjian Damai Oslo 1993 dan 1995 antara Palestina dan Israel. Perjanjian Oslo menetapkan terbentuknya Otoritas Palestina dan kesepakatan untuk bekerja sama menuju rekonsiliasi terkait isu-isu, seperti permukiman Israel di Tepi Barat, status Yerusalem, dan hak Palestina atas tanah yang mereka klaim sebelum perang 1948. Selanjutnya pada 2000 atas prakarsa Presiden AS Bill Clinton, pembicaraan damai antara PM Israel Ehud Barak dan Kepala Otoritas Nasional Palestina Yasser Arafat dilaksanakan di Camp David. Agendanya, menegosiasikan penetapan status akhir konflik Israel-Palestina, tetapi pembicaraan ini gagal.
Semakin Rumit
Pada 2006, faksi militan Palestina, Hamas, memenangkan pemilu dan menguasai Gaza. Hamas, berideologi garis keras, terlibat konflik dengan Israel. Konflik Hamas-Israel memuncak pada 27 Desember 2008. Tentara Israel menyerang Gaza secara masif dan eksesif. Akibatnya, lebih dari 1.300 warga Gaza tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Dua pertiga korban adalah anak-anak dan wanita (rakyat sipil) yang tidak berdosa. Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Gaza remuk berantakan. Fasilitas-fasilitas umum, seperti aliran listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur. Gaza gelap gulita pada malam hari. Serangan Israel terhadap Hamas terjadi lagi pada 2014 yang mengakibatkan rakyat Gaza tewas dan luka-luka, jumlahnya lebih besar dari korban tewas dan luka-luka dalam serangan Israel tahun 2008/2009. Di pihak Israel, 132 tentaranya tewas dan beberapa orang Israel terluka terkena serangan roket dari Gaza.
Konflik Israel-Palestina semakin ruwet untuk diselesaikan karena rezim Zionis Israel memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota yang tidak bisa dibagi. Pada 2017, rezim Zionis Israel mendiskriminasi rakyat Palestina dengan mengeluarkan Undang-Undang Muadzin yang melarang azan dikumandangkan di permukiman antara pukul 11.00-7.00. Selanjutnya Knesset pada 19 Juli 2018 memberlakukan UU Negara Bangsa Yahudi (Jewish Nation-State) yang isinya menerapkan segregasi (pemisahan) antara etnis Yahudi dan etnis Arab. Dalam dunia beradab seperti sekarang ini, praktik diskriminasi dan segregasi antar-etnis sangat tercela. Di tengah ketidakpastian perdamaian Israel-Palestina, Knesset mengeluarkan keputusan yang melegalkan perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Permukiman itu ilegal karena dibangun di atas lahan milik warga Palestina yang berada di kawasan pendudukan.
Rencana Mencaplok Tepi Barat
Israel menggelar pemilu putaran ketiga pada 2 Maret 2020. Partai Likud yang menjadi blok koalisi sayap kanan bersekutu dengan Partai Yamina dan dua partai berbasis agama. Kelompok koalisi sayap kanan mengusung calon petahana, Benyamin Netanyahu sebagai perdana menteri (PM). Sementara kubu Partai Biru dan Putih serta sekutunya yang dikenal sebagai aliansi partai berhaluan politik tengah-kanan menggadang-gadang Benny Gantz sebagai calon PM. Walaupun tidak meraih suara mayoritas, Netanyahu berhasil mengalahkan pesaingnya. Knesset mengukuhkan Benyamin Netanyahu menjadi PM Israel.
Di ajang kampanye pemilu, Netanyahu mengatakan, jika terpilih sebagai PM, ia akan menganeksasi (mencaplok) wilayah Tepi Barat sebagai permukiman masa depan orang-orang Yahudi. Netanyahu secara tegas mengatakan, pihaknya akan memperluas kedaulatan Israel dan dia tidak membedakan antara blok permukiman dan permukiman terisolasi. Pemerintah Israel menjadwalkan awal Juli 2020 parlemen sudah mengesahkan rencana aneksasi Tepi Barat. Tetapi, Israel “menunda” rencana aneksasi Tepi Barat karena masih disibukkan dengan penanganan Covid-19. Semula Presiden AS Donald Trump akan mendukung rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel, tapi akhirnya membatalkannya karena khawatir dia tidak mendapat dukungan luas dalam Pilpres AS bulan November mendatang.
Sudah lama rakyat Palestina mendambakan Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai bagian negaranya merdeka. Namun, pendudukan Israel atas wilayah tersebut membuat rakyat Palestina tidak berdaya dalam perjuangan mereka untuk mendirikan negara independen. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak dan menentang keras rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Demikian pula masyarakat internasional menolak dan menentang ambisi Israel yang hendak menganeksasi Tepi Barat. PBB mendesak Pemerintah Israel membatalkan rencananya mencaplok wilayah Tepi Barat karena tindakan itu merupakan pelanggaran hukum internasional. PM Inggris Boris Johnson dan negara-negara Uni Eropa serta Tiongkok juga menentang aneksasi Tepi Barat oleh Israel.
Sebagai bentuk dukungan politik dan solidaritas pada rakyat Palestina, Indonesia menentang rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Menlu RI Retno Marsudi cepat mengambil sikap dengan mengirim surat kepada 30 negara sahabat di seluruh dunia yang isinya mengajak dan mengimbau mereka menolak rencana Israel yang hendak menganeksasi wilayah Tepi Barat. Dalam pandangan Menlu RI, rencana Israel itu ilegal dan bertentangan dengan resolusi PBB serta hukum internasional. Rencana tersebut mengancam stabilitas dan keamanan kawasan serta semakin menjauhkan penyelesaian konflik berdasarkan solusi dua negara. Mendengarkah para penguasa rezim Zionis Israel bahwa rencana pencaplokan Tepi Barat itu merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum internasional?
Guru Besar Pascasarjana FIAI, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
SALAH satu konflik besar di dunia yang sampai sekarang ini sangat ruwet untuk diselesaikan adalah konflik Arab/Palestina-Israel. Sejak negara Israel didirikan di Tanah Palestina pada 1948, konflik pecah antara negara Israel (bangsa Yahudi) dan negara-negara Arab (rakyat Palestina dan bangsa-bangsa Arab). Berdirinya negara Israel di Tanah Palestina ditentang oleh negara-negara Arab karena tanah itu adalah milik sah rakyat Palestina. Bagi negara-negara Arab, Israel telah merampok sebagian Tanah Palestina. Konflik ditandai dengan pecahnya perang Arab-Israel tahun 1967. Dalam enam hari saja tentara Israel berhasil mengalahkan pasukan gabungan negara-negara Arab yang melibatkan Mesir, Yordania, Suriah, dan pasukan Palestina. Dalam perang ini Israel merebut beberapa wilayah, termasuk Dataran Tinggi Golan milik Suriah, yang oleh Israel dianeksasi sampai sekarang.
Pasca-perang Arab-Israel 1967, upaya perdamaian Arab-Israel yang dimediasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Jimmy Carter dilakukan. Pada 1978, Presiden Carter mengundang Presiden Mesir Anwar Sadat dan PM Israel Menachem Begin ke Camp David sehingga tercapailah kesepakatan damai antara Mesir dan Israel. Secercah harapan dan keberhasilan ini disusul dengan tercapainya Perjanjian Damai Oslo 1993 dan 1995 antara Palestina dan Israel. Perjanjian Oslo menetapkan terbentuknya Otoritas Palestina dan kesepakatan untuk bekerja sama menuju rekonsiliasi terkait isu-isu, seperti permukiman Israel di Tepi Barat, status Yerusalem, dan hak Palestina atas tanah yang mereka klaim sebelum perang 1948. Selanjutnya pada 2000 atas prakarsa Presiden AS Bill Clinton, pembicaraan damai antara PM Israel Ehud Barak dan Kepala Otoritas Nasional Palestina Yasser Arafat dilaksanakan di Camp David. Agendanya, menegosiasikan penetapan status akhir konflik Israel-Palestina, tetapi pembicaraan ini gagal.
Semakin Rumit
Pada 2006, faksi militan Palestina, Hamas, memenangkan pemilu dan menguasai Gaza. Hamas, berideologi garis keras, terlibat konflik dengan Israel. Konflik Hamas-Israel memuncak pada 27 Desember 2008. Tentara Israel menyerang Gaza secara masif dan eksesif. Akibatnya, lebih dari 1.300 warga Gaza tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Dua pertiga korban adalah anak-anak dan wanita (rakyat sipil) yang tidak berdosa. Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Gaza remuk berantakan. Fasilitas-fasilitas umum, seperti aliran listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur. Gaza gelap gulita pada malam hari. Serangan Israel terhadap Hamas terjadi lagi pada 2014 yang mengakibatkan rakyat Gaza tewas dan luka-luka, jumlahnya lebih besar dari korban tewas dan luka-luka dalam serangan Israel tahun 2008/2009. Di pihak Israel, 132 tentaranya tewas dan beberapa orang Israel terluka terkena serangan roket dari Gaza.
Konflik Israel-Palestina semakin ruwet untuk diselesaikan karena rezim Zionis Israel memindahkan ibu kotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem dan mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota yang tidak bisa dibagi. Pada 2017, rezim Zionis Israel mendiskriminasi rakyat Palestina dengan mengeluarkan Undang-Undang Muadzin yang melarang azan dikumandangkan di permukiman antara pukul 11.00-7.00. Selanjutnya Knesset pada 19 Juli 2018 memberlakukan UU Negara Bangsa Yahudi (Jewish Nation-State) yang isinya menerapkan segregasi (pemisahan) antara etnis Yahudi dan etnis Arab. Dalam dunia beradab seperti sekarang ini, praktik diskriminasi dan segregasi antar-etnis sangat tercela. Di tengah ketidakpastian perdamaian Israel-Palestina, Knesset mengeluarkan keputusan yang melegalkan perluasan permukiman Yahudi di Tepi Barat. Permukiman itu ilegal karena dibangun di atas lahan milik warga Palestina yang berada di kawasan pendudukan.
Rencana Mencaplok Tepi Barat
Israel menggelar pemilu putaran ketiga pada 2 Maret 2020. Partai Likud yang menjadi blok koalisi sayap kanan bersekutu dengan Partai Yamina dan dua partai berbasis agama. Kelompok koalisi sayap kanan mengusung calon petahana, Benyamin Netanyahu sebagai perdana menteri (PM). Sementara kubu Partai Biru dan Putih serta sekutunya yang dikenal sebagai aliansi partai berhaluan politik tengah-kanan menggadang-gadang Benny Gantz sebagai calon PM. Walaupun tidak meraih suara mayoritas, Netanyahu berhasil mengalahkan pesaingnya. Knesset mengukuhkan Benyamin Netanyahu menjadi PM Israel.
Di ajang kampanye pemilu, Netanyahu mengatakan, jika terpilih sebagai PM, ia akan menganeksasi (mencaplok) wilayah Tepi Barat sebagai permukiman masa depan orang-orang Yahudi. Netanyahu secara tegas mengatakan, pihaknya akan memperluas kedaulatan Israel dan dia tidak membedakan antara blok permukiman dan permukiman terisolasi. Pemerintah Israel menjadwalkan awal Juli 2020 parlemen sudah mengesahkan rencana aneksasi Tepi Barat. Tetapi, Israel “menunda” rencana aneksasi Tepi Barat karena masih disibukkan dengan penanganan Covid-19. Semula Presiden AS Donald Trump akan mendukung rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel, tapi akhirnya membatalkannya karena khawatir dia tidak mendapat dukungan luas dalam Pilpres AS bulan November mendatang.
Sudah lama rakyat Palestina mendambakan Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur sebagai bagian negaranya merdeka. Namun, pendudukan Israel atas wilayah tersebut membuat rakyat Palestina tidak berdaya dalam perjuangan mereka untuk mendirikan negara independen. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak dan menentang keras rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Demikian pula masyarakat internasional menolak dan menentang ambisi Israel yang hendak menganeksasi Tepi Barat. PBB mendesak Pemerintah Israel membatalkan rencananya mencaplok wilayah Tepi Barat karena tindakan itu merupakan pelanggaran hukum internasional. PM Inggris Boris Johnson dan negara-negara Uni Eropa serta Tiongkok juga menentang aneksasi Tepi Barat oleh Israel.
Sebagai bentuk dukungan politik dan solidaritas pada rakyat Palestina, Indonesia menentang rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel. Menlu RI Retno Marsudi cepat mengambil sikap dengan mengirim surat kepada 30 negara sahabat di seluruh dunia yang isinya mengajak dan mengimbau mereka menolak rencana Israel yang hendak menganeksasi wilayah Tepi Barat. Dalam pandangan Menlu RI, rencana Israel itu ilegal dan bertentangan dengan resolusi PBB serta hukum internasional. Rencana tersebut mengancam stabilitas dan keamanan kawasan serta semakin menjauhkan penyelesaian konflik berdasarkan solusi dua negara. Mendengarkah para penguasa rezim Zionis Israel bahwa rencana pencaplokan Tepi Barat itu merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum internasional?
(ras)
tulis komentar anda