Kearifan Lokal Berperan Penting Cegah Perubahan Iklim Global
Rabu, 09 November 2022 - 17:15 WIB
JAKARTA - Kearifan lokal dinilai dapat berkontribusi pada aksi pengendalian perubahan iklim global. Kearifan lokal juga bisa menyediakan solusi dalam pengelolaan hutan lestari, sehingga berperan penting dalam pelaksanaan Indonesia Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.
Ketua The Wahid Institute, Yenny Wahid mengatakan, inisiatif Indonesia untuk melaksanakan agenda FOLU Net Sink perlu mendapat dukungan dari semua pihak. FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi di mana tingkat penyerapan gas rumah kaca (GRK) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) lebih tinggi atau setidaknya seimbang dibandingkan emisinya.
Persetujuan perhutanan sosial, termasuk hutan adat, menjadi salah satu pilar untuk mencapai target FOLU Net Sink, yaitu tingkat emisi GRK sebanyak minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
"Sebuah apresiasi untuk masyarakat adat yang mengelola hutan adat, karena mendukung operasional FOLU Net Sink," kata Yenny saat menjadi pembicara pada sesi panel bertajuk Promoting Local Wisdom in Achieving Indonesia's FOLU Net Sink 2030 di Paviliun Indonesia pada COP27 UNFCCC, Sharm El Shiekh, Mesir,Senin (7/11/2022).
Apalagi, lanjut Yenny, praktik-praktik pengelolan hutan adat dan perhutanan sosial lainnya juga memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Skema perhutanan sosial sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1970-an dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan kaum wanita. Perhutanan sosial menjadi salah satu solusi untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan penyelesaian konflik tenurial.
Skema perhutanan sosial kemudian digenjot di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola dengan skema perhutanan sosial.
Baca juga: Indonesia Ajak Seluruh Negara Perkuat Aksi Pengendalian Perubahan Iklim
Persetujuan pengelolaan yang diberikan KLHK kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial di antaranya adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat, dan kemitraan. Khusus untuk hutan adat, berdasarkan Putusan MK No 35 tahun 2021 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto, mengungkapkan, sejak 2016 telah ada 105 hutan adat seluas 148.488 hektare dan melibatkan 47.158 kepala keluarga. Sementara areal indikatif hutan adat sekitar 1,09 juta hektare.
Ketua The Wahid Institute, Yenny Wahid mengatakan, inisiatif Indonesia untuk melaksanakan agenda FOLU Net Sink perlu mendapat dukungan dari semua pihak. FOLU Net Sink 2030 adalah kondisi di mana tingkat penyerapan gas rumah kaca (GRK) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) lebih tinggi atau setidaknya seimbang dibandingkan emisinya.
Persetujuan perhutanan sosial, termasuk hutan adat, menjadi salah satu pilar untuk mencapai target FOLU Net Sink, yaitu tingkat emisi GRK sebanyak minus 140 juta ton setara karbondioksida (CO2e).
"Sebuah apresiasi untuk masyarakat adat yang mengelola hutan adat, karena mendukung operasional FOLU Net Sink," kata Yenny saat menjadi pembicara pada sesi panel bertajuk Promoting Local Wisdom in Achieving Indonesia's FOLU Net Sink 2030 di Paviliun Indonesia pada COP27 UNFCCC, Sharm El Shiekh, Mesir,Senin (7/11/2022).
Apalagi, lanjut Yenny, praktik-praktik pengelolan hutan adat dan perhutanan sosial lainnya juga memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Skema perhutanan sosial sudah diterapkan di Indonesia sejak tahun 1970-an dengan melibatkan masyarakat di sekitar hutan dan kaum wanita. Perhutanan sosial menjadi salah satu solusi untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan penyelesaian konflik tenurial.
Skema perhutanan sosial kemudian digenjot di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk dikelola dengan skema perhutanan sosial.
Baca juga: Indonesia Ajak Seluruh Negara Perkuat Aksi Pengendalian Perubahan Iklim
Persetujuan pengelolaan yang diberikan KLHK kepada masyarakat dalam skema perhutanan sosial di antaranya adalah Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat, dan kemitraan. Khusus untuk hutan adat, berdasarkan Putusan MK No 35 tahun 2021 menyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto, mengungkapkan, sejak 2016 telah ada 105 hutan adat seluas 148.488 hektare dan melibatkan 47.158 kepala keluarga. Sementara areal indikatif hutan adat sekitar 1,09 juta hektare.
tulis komentar anda