Pandemi, Pinjaman Daerah dan Pengelolaan SDM
Senin, 06 Juli 2020 - 06:30 WIB
Prof Candra Fajri Ananda PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
HAMPIR 20 tahun usia kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 2/ 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mampu meningkatkan perekonomian daerah di Indonesia, namun pembangunan setiap daerah belum mencapai hasil yang seperti kita harapkan. Fakta menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi di bidang pendapatan, indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, dan pengangguran.
Bank Dunia menyoroti kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal secara signifikan. Ini terlihat dari Papua yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 27,5%, sementara provinsi di Jawa mampu menekan tingkat kemiskinan di sekitar angka 5%.
Sebanyak 23 provinsi memiliki IPM dengan status tinggi (70-80), sedangkan 11 provinsi berada di status sedang (60-70). Keadaan ini mengindikasikan bahwa cita-cita luhur atas kebijakan desentralisasi masih harus diperjuangkan dengan lebih baik.
Pinjaman Daerah dan Kualitas SDM
Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah ‘money follows functions’. Adanya kewenangan yang diserahkan pada daerah perlu diikuti oleh pembiayaan dari pusat. Meski dalam konsep desentralisasi fiskal memberikan kewenangan besar bagi daerah untuk menggali sumber dana sendiri, tak sedikit daerah di Indonesia yang hingga kini masih belum memiliki kapasitas fiskal yang baik.
Lebih dari separuh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini terlihat dalam Peraturan Menteri Keuangan(PMK) No 126/PMK.07/2019 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD).
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
HAMPIR 20 tahun usia kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 2/ 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Secara umum, pelaksanaan desentralisasi fiskal telah mampu meningkatkan perekonomian daerah di Indonesia, namun pembangunan setiap daerah belum mencapai hasil yang seperti kita harapkan. Fakta menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan yang tinggi di bidang pendapatan, indeks pembangunan manusia (IPM), kemiskinan, dan pengangguran.
Bank Dunia menyoroti kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal secara signifikan. Ini terlihat dari Papua yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 27,5%, sementara provinsi di Jawa mampu menekan tingkat kemiskinan di sekitar angka 5%.
Sebanyak 23 provinsi memiliki IPM dengan status tinggi (70-80), sedangkan 11 provinsi berada di status sedang (60-70). Keadaan ini mengindikasikan bahwa cita-cita luhur atas kebijakan desentralisasi masih harus diperjuangkan dengan lebih baik.
Pinjaman Daerah dan Kualitas SDM
Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah ‘money follows functions’. Adanya kewenangan yang diserahkan pada daerah perlu diikuti oleh pembiayaan dari pusat. Meski dalam konsep desentralisasi fiskal memberikan kewenangan besar bagi daerah untuk menggali sumber dana sendiri, tak sedikit daerah di Indonesia yang hingga kini masih belum memiliki kapasitas fiskal yang baik.
Lebih dari separuh pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota masih memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Hal ini terlihat dalam Peraturan Menteri Keuangan(PMK) No 126/PMK.07/2019 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD).
Lihat Juga :
tulis komentar anda