UU Ciptaker Landasan Hukum Bagi Pelaku Usaha Kembangkan Sektor Kehutanan
Jum'at, 07 Oktober 2022 - 13:11 WIB
“UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 merupakan peluang bagi sektor kehutanan untuk memperbaiki, memastikan produksi bahan mentah, meningkatkan ketahanan pangan, menyediakan energi terbarukan, membentuk klaster bisnis kehutanan di zona ekonomi dan produksi, dan menyediakan modal perizinan untuk bisnis demi meningkatkan produktivitas hutan, serta memfasilitasi perizinan sektor kehutanan,” terangnya.
Perwakilan Indonesia untuk GGGI Marcel Silvius menjelaskan Indonesia saat ini tengah mengalami pergantian paradigma dari bisnis kehutanan biasa menuju paradigma multiusaha kehutanan yang regeneratif dan inklusif. Transisi menuju siklus bisnis hijau ini berpotensi meningkatkan kebersaingan Indonesia dan seluruh anggota KADIN secara individu.
"Transisi yang sedang dialami Indonesia ini membutuhkan banyak dukungan berbagai pihak untuk memastikan perubahan untuk pertumbuhan hijau dan GGGI siap bekerja dengan pemerintah dan multi donor,” pungkasnya.
Sekretariat Jenderal (Sekjen) Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari APHI Purwadi Soeprihanto berpandangan, saat ini terdapat dua tantangan yang dihadapi dalam transisi menuju paradigma multiusaha kehutanan, yaitu sulitnya mengubah konsesi manajemen kayu ke manajemen non kayu atau komoditas campuran dan tantangan dalam meyakinkan pemilik konsesi untuk mengoptimalkan produk non kayu sehingga sektor kehutanan dapat lebih kompetitif.
"Saat ini KADIN sedang membuat hub untuk hutan regeneratif dengan harapan program ini bisa memfasilitasi multiusaha kehutanan dan menghadapi pemilihan komoditas sebab pengembangan komoditas dan multiusaha kehutanan tidak bisa dipisahkan dari upaya penanganan kehutanan yang berkelanjutan,” tambahnya.
Dewan Filantropi Indonesia Rizal Algamar menambahkan untuk mengimplementasikan multiusaha kehutanan melalui governance multi stakeholders diperlukan pembiayaan untuk mengakselerasi pembangunan inklusif di lapangan.
"Saat ini masih terdapat kesenjangan di sektor kehutanan dan masih sedikitnya bank dari sektor swasta yang membiayai produk bersih dan hijau di Indonesia. Blended financing dan dana hibah dapat menjadi alternatif untuk memfasilitasi lebih banyak modal swasta/venture capital berinvestasi pada tahap awal untuk tujuan keberlanjutan lingkungan," tambahnya.
Dalam dekade terakhir, Indonesia telah berhasil mengurangi deforestasi untuk meningkatkan pertumbuhan hijau dan aksi korporasi untuk upaya non-deforestasi. Oleh karena itu merupakan saat yang tepat untuk meluaskan pertumbuhan hijau melalui praktik-praktik kehutanan.
Menekankan pada pentingnya kolaborasi dan aksi kolektif, Silverius Oscar Unggul mengatakan ke depannya akan banyak dilakukan proyek perintis untuk konsesi perhutanan Indonesia terkait bisnis regeneratif kehutanan. “Besar harapan akan ada cara baru untuk mendukung sektor kehutanan lebih untuk lebih berlanjut dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara,” tutupnya.
Perwakilan Indonesia untuk GGGI Marcel Silvius menjelaskan Indonesia saat ini tengah mengalami pergantian paradigma dari bisnis kehutanan biasa menuju paradigma multiusaha kehutanan yang regeneratif dan inklusif. Transisi menuju siklus bisnis hijau ini berpotensi meningkatkan kebersaingan Indonesia dan seluruh anggota KADIN secara individu.
"Transisi yang sedang dialami Indonesia ini membutuhkan banyak dukungan berbagai pihak untuk memastikan perubahan untuk pertumbuhan hijau dan GGGI siap bekerja dengan pemerintah dan multi donor,” pungkasnya.
Sekretariat Jenderal (Sekjen) Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari APHI Purwadi Soeprihanto berpandangan, saat ini terdapat dua tantangan yang dihadapi dalam transisi menuju paradigma multiusaha kehutanan, yaitu sulitnya mengubah konsesi manajemen kayu ke manajemen non kayu atau komoditas campuran dan tantangan dalam meyakinkan pemilik konsesi untuk mengoptimalkan produk non kayu sehingga sektor kehutanan dapat lebih kompetitif.
"Saat ini KADIN sedang membuat hub untuk hutan regeneratif dengan harapan program ini bisa memfasilitasi multiusaha kehutanan dan menghadapi pemilihan komoditas sebab pengembangan komoditas dan multiusaha kehutanan tidak bisa dipisahkan dari upaya penanganan kehutanan yang berkelanjutan,” tambahnya.
Dewan Filantropi Indonesia Rizal Algamar menambahkan untuk mengimplementasikan multiusaha kehutanan melalui governance multi stakeholders diperlukan pembiayaan untuk mengakselerasi pembangunan inklusif di lapangan.
"Saat ini masih terdapat kesenjangan di sektor kehutanan dan masih sedikitnya bank dari sektor swasta yang membiayai produk bersih dan hijau di Indonesia. Blended financing dan dana hibah dapat menjadi alternatif untuk memfasilitasi lebih banyak modal swasta/venture capital berinvestasi pada tahap awal untuk tujuan keberlanjutan lingkungan," tambahnya.
Dalam dekade terakhir, Indonesia telah berhasil mengurangi deforestasi untuk meningkatkan pertumbuhan hijau dan aksi korporasi untuk upaya non-deforestasi. Oleh karena itu merupakan saat yang tepat untuk meluaskan pertumbuhan hijau melalui praktik-praktik kehutanan.
Menekankan pada pentingnya kolaborasi dan aksi kolektif, Silverius Oscar Unggul mengatakan ke depannya akan banyak dilakukan proyek perintis untuk konsesi perhutanan Indonesia terkait bisnis regeneratif kehutanan. “Besar harapan akan ada cara baru untuk mendukung sektor kehutanan lebih untuk lebih berlanjut dan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara,” tutupnya.
(cip)
tulis komentar anda