Kriminolog UI Nilai Pembebasan Bersyarat Napi Koruptor Sesuai UU
Rabu, 07 September 2022 - 13:32 WIB
JAKARTA - Pembebasan bersyarat narapidana kasus korupsi dinilai sudah sesuai prosedur berdasarkan UU No 22/2022 tentang Pemasyarakatan. Napi dibebaskan lebih awal karena pemberian dua hak yakni remisi dan pembebasan bersyarat.
Pengamat Hukum Universitas Indonesia (UI) Leopold Sudaryono menyebut, besaran remisi tersebut beragam dan cukup besar. Karena di pemasyarakatan sendiri untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas memberlakukan tiga remisi. Yakni, remisi umum, khusus, dan kemanusiaan serta remisi tambahan.
Remisi umum diberikan saat 17 Agustus, remisi khusus diberikan saat hari besar keagamaan, dan remisi kemanusiaan diberikan karena narapidana berusia lanjut (75 tahun) atau sakit berkepanjangan. "Untuk remisi tambahan diberikan kepada narapidana yang berjasa bagi negara (aktif membantu dapur di lapas)," katanya kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).
Dengan masa tahanan di atas 6 tahun, ujar dia, seorang narapidana bisa dapat pembebasan bersyaratnya. Secara normatif, pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi sudah sesuai peraturan yang berlaku. "Selama narapidana menjalani masa tahanan 2/3, maka berhak mendapatkan pembebasan bersyarat," ujarnya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing berpendapat hak untuk pembebasan bersyarat diperoleh melalui pertimbangan yang matang serta komprehensif dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Kemenkumham ).
Emrus mengatakan dari perspektif formal atau hukum, sesuai UU itu merupakan hak para terpidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani masa tahanan sebagaimana ketentuan yang ada.
“Bagaimanapun, Kemenkumham dalam hal ini Lapas, pasti telah mempertimbangkan semua aspek baik hukum maupun aspek lainnya seperti perilaku terpidana selama berada di penjara. Kemudian, dari perspektif hak kemerdekaan, program pembebasan bersyarat yang diperoleh mantan sangat wajar,” katanya.
Emrus mengimbau publik bisa melakukan evaluasi terhadap para koruptor yang sudah keluar dari penjara. Ini tidak terkait dengan satu orang koruptor tetapi untuk semua kasus korupsi, siapapun itu.
"Evaluasi perilaku para mantan terpidana korupsi, apakah mereka benar-benar berubah atau tidak. Karena keberadaan para terpidana di dalam penjara merupakan momentum untuk memperbaiki diri. Di dalam penjara dibina dan diberikan banyak nilai-nilai pemasyarakatan yang positif," tuturnya.
Di sisi lain, lanjut Emrus, hak-hak para terpidana korupsi yang telah keluar dari penjara harus diberikan. Salah satunya hak memilih dan dipilih.
"Jangan melabeling para narapidana yang keluar dari penjara seolah-seolah selalu salah. Kita belum tentu lebih baik dari mereka. Saya mengimbau masyarakat untuk menerima kembali para mantan terpidana dengan baik," tuturnya.
Pengamat Hukum Universitas Indonesia (UI) Leopold Sudaryono menyebut, besaran remisi tersebut beragam dan cukup besar. Karena di pemasyarakatan sendiri untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas memberlakukan tiga remisi. Yakni, remisi umum, khusus, dan kemanusiaan serta remisi tambahan.
Remisi umum diberikan saat 17 Agustus, remisi khusus diberikan saat hari besar keagamaan, dan remisi kemanusiaan diberikan karena narapidana berusia lanjut (75 tahun) atau sakit berkepanjangan. "Untuk remisi tambahan diberikan kepada narapidana yang berjasa bagi negara (aktif membantu dapur di lapas)," katanya kepada wartawan, Rabu (7/9/2022).
Dengan masa tahanan di atas 6 tahun, ujar dia, seorang narapidana bisa dapat pembebasan bersyaratnya. Secara normatif, pemberian pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi sudah sesuai peraturan yang berlaku. "Selama narapidana menjalani masa tahanan 2/3, maka berhak mendapatkan pembebasan bersyarat," ujarnya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing berpendapat hak untuk pembebasan bersyarat diperoleh melalui pertimbangan yang matang serta komprehensif dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Kemenkumham ).
Emrus mengatakan dari perspektif formal atau hukum, sesuai UU itu merupakan hak para terpidana untuk memperoleh pembebasan bersyarat setelah menjalani masa tahanan sebagaimana ketentuan yang ada.
“Bagaimanapun, Kemenkumham dalam hal ini Lapas, pasti telah mempertimbangkan semua aspek baik hukum maupun aspek lainnya seperti perilaku terpidana selama berada di penjara. Kemudian, dari perspektif hak kemerdekaan, program pembebasan bersyarat yang diperoleh mantan sangat wajar,” katanya.
Emrus mengimbau publik bisa melakukan evaluasi terhadap para koruptor yang sudah keluar dari penjara. Ini tidak terkait dengan satu orang koruptor tetapi untuk semua kasus korupsi, siapapun itu.
"Evaluasi perilaku para mantan terpidana korupsi, apakah mereka benar-benar berubah atau tidak. Karena keberadaan para terpidana di dalam penjara merupakan momentum untuk memperbaiki diri. Di dalam penjara dibina dan diberikan banyak nilai-nilai pemasyarakatan yang positif," tuturnya.
Di sisi lain, lanjut Emrus, hak-hak para terpidana korupsi yang telah keluar dari penjara harus diberikan. Salah satunya hak memilih dan dipilih.
Baca Juga
"Jangan melabeling para narapidana yang keluar dari penjara seolah-seolah selalu salah. Kita belum tentu lebih baik dari mereka. Saya mengimbau masyarakat untuk menerima kembali para mantan terpidana dengan baik," tuturnya.
(poe)
tulis komentar anda