Dialog Publik RKUHP di 11 Kota, Mahfud MD: KUHP Direvisi karena Hukum adalah Pelayan Masyarakat
Rabu, 07 September 2022 - 10:27 WIB
JAKARTA - Pemerintah di bawah koordinasi Kemenko Polhukam mulai pekan ini menyelenggarakan diskusi publik untuk menampung aspirasi dan masukan masyarakat tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) . Diskusi berlangsung di 11 Kota, mulai dari Kota Medan yang sekaligus mencakup wilayah Aceh, Kepri, dan Riau, hingga Kota Manokwari yang mencakup Papua Barat dan Papua di ujung timur Indonesia.
Hari Rabu (7/9/2022), Menko Polhukam Mahfud MD membuka diskusi publik di dua kota sekaligus secara daring dan luring, yakni di Surabaya dan Bandung.
Di Surabaya, Mahfud tampil secara daring dalam dialog yang diselenggarakan oleh Kemenko Polhukam, yang juga menampilkan tiga narasumber pakar hukum pidana, yakni Pujiyono, Guru Besar Universitas Diponegoro; Topo Santoso, Guru Besar Universitas Indonesia; dan Yenti Garnasih yang juga adalah Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Sementara di Bandung, dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), Mahfud hadir secara langsung dengan memberikan sambutan sekaligus membuka acara yang juga antara lain dihadiri sejumlah narasumber seperti Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiearij.
Dalam sambutannya di Surabaya, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa jika melihat kembali konstitusi hukum nasional maka pembentukan KUHP Nasional adalah salah satu politik hukum yang pertama, yang diperintahkan untuk dibuat di Negara Republik Indonesia.
Di dalam aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945 digariskan bahwa semua lembaga dan peraturan kolonial yang masih berlaku, maka tetap berlaku sepanjang belum dibentuk yang baru menurut UUD ini. “Artinya, ketika kita menyatakan kemerdekaan pada saat itu, sudah ada perintah konstitusi agar hukum-hukum yang berlaku sejak jaman kolonial Belanda, segera diganti dengan hukum-hukum yang baru dan yang lama hanya boleh berlaku sampai dibentuk hukum yang baru tersebut,” jelas Mahfud.
Salah satu hukum yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda yang harus diganti adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Mengapa KUHP zaman penjajahan Belanda harus diganti? Jawabannya menurut filsafat, sosiologi, dan menurut ilmu politik hukum, karena hukum adalah pelayan masyarakat dimana hukum itu berlaku,” papar Mahfud.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukumnya yang sesuai dengan ideologi, pandangan, dan kesadaran hukum di masyarakat itu. Hukum adalah pelayan masyarakatnya sehingga harus memuat isi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku.
“Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat yang dilayaninya,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI ini.
Hari Rabu (7/9/2022), Menko Polhukam Mahfud MD membuka diskusi publik di dua kota sekaligus secara daring dan luring, yakni di Surabaya dan Bandung.
Di Surabaya, Mahfud tampil secara daring dalam dialog yang diselenggarakan oleh Kemenko Polhukam, yang juga menampilkan tiga narasumber pakar hukum pidana, yakni Pujiyono, Guru Besar Universitas Diponegoro; Topo Santoso, Guru Besar Universitas Indonesia; dan Yenti Garnasih yang juga adalah Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI).
Sementara di Bandung, dalam dialog publik yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP), Mahfud hadir secara langsung dengan memberikan sambutan sekaligus membuka acara yang juga antara lain dihadiri sejumlah narasumber seperti Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiearij.
Dalam sambutannya di Surabaya, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa jika melihat kembali konstitusi hukum nasional maka pembentukan KUHP Nasional adalah salah satu politik hukum yang pertama, yang diperintahkan untuk dibuat di Negara Republik Indonesia.
Di dalam aturan peralihan Pasal 2 UUD 1945 digariskan bahwa semua lembaga dan peraturan kolonial yang masih berlaku, maka tetap berlaku sepanjang belum dibentuk yang baru menurut UUD ini. “Artinya, ketika kita menyatakan kemerdekaan pada saat itu, sudah ada perintah konstitusi agar hukum-hukum yang berlaku sejak jaman kolonial Belanda, segera diganti dengan hukum-hukum yang baru dan yang lama hanya boleh berlaku sampai dibentuk hukum yang baru tersebut,” jelas Mahfud.
Salah satu hukum yang berlaku sejak zaman kolonial Belanda yang harus diganti adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). “Mengapa KUHP zaman penjajahan Belanda harus diganti? Jawabannya menurut filsafat, sosiologi, dan menurut ilmu politik hukum, karena hukum adalah pelayan masyarakat dimana hukum itu berlaku,” papar Mahfud.
Di mana ada masyarakat, di sana ada hukumnya yang sesuai dengan ideologi, pandangan, dan kesadaran hukum di masyarakat itu. Hukum adalah pelayan masyarakatnya sehingga harus memuat isi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku.
“Jika masyarakat berubah, maka hukum juga harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat yang dilayaninya,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi RI ini.
tulis komentar anda