Bappenas: Data Kemiskinan Naik Jelang Pilkada lalu Turun Setelahnya
Rabu, 01 Juli 2020 - 17:30 WIB
JAKARTA - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/ Bappenas ) Suharso Monoarfa mengungkap alasan di balik data kemiskinan yang carut-marut. Menurutnya, ini fenomena yang lucu karena, data kemiskinan akan naik menjelang perhelatan Pilkada dan akan menurun setelah Pilkada digelar sebagai prestasi kepala daerah.
"Data kemiskinan, bagaimana mengukurnya dan kenapa data kita seperti itu. Basic kita, masalah kita di sini, kemiskinan dihitung menggunakan garis kemiskinan nasional, tetapi tiap daerah punya garis kemiskinan. Contoh, Kota Tasikmalaya Rp457.000 per bulan per kapita, Kabupaten Tasik Rp311.848, Kota Padang Rp534.857, Kabupaten Bandung Rp345.177 tapi Kota Bandung Rp474.488," kata Suharso dalam Rapat Kerja (Raker) Gabungan membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan, Rabu (1/7/2020).
Suharso menjelaskan, data tersebut membuktikan bahwa garis kemiskinan antara kabupaten dan kota saja signifikan, dan berdasarkan garis tersebut ada daerah yang lolos di garis kemiskinan nasional sebesar Rp440.000 per orang per kapita, atau setiap rumah tangga sekitar Rp2 juta per bulan. Di situ, pemerintah baru akan mengintervensi dengan bantuan sosial. Namun, hal ini sangat dipengaruhi data daerah.( )
"Daerah tidak melakukan updating, datanya terjadi sesuatu di sana. Itu persoalan kita," katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP ini juga mengungkap fakta yang lucu di balik carut-marut data kemiskinan. Yang mana, data kemiskinan ini akan naik menjelang pilkada lalu turun kembali setelah pilkada dilaksanakan.
"Lucunya kalau mau pilkada, turun, diturun-turunkan, justru terbalik. Jadi waktu mau pilkada garis kemiskinan dinaikkan sehingga bansos lebih banyak, saat terpilih berusaha meningkatkan garis kemiskinannya, garis kemiskinan kita membaik, kemiskinan rendah, dan seterusnya sebagai prestasi kepala daerah," katanya.
"Itu persoalan kita yang membuat Pak Ary (Mensos Juliary Batubara) bolak balik ke Bappenas , datanya bagaimana. Problem kita sesederhana itu," imbuh Suharso.
Kemudian masalah lainnya, sambung Suharso, daerah memiliki otonomi, Kementerian Sosial (kemensos) tidak bisa masuk begitu saja ke daerah mengatur data kemiskinan, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) yang punya struktur di desa pun tidak bisa masuk ke daerah terkait data ini. Sehingga, satu-satunya yang bisa adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan instrumen APBD-nya sehingga daerah pun takut.( )
"Itu, jadi pelaksana programnya Kemensos, desainnya di kami (Bappenas), kadang kita menggunakan lahan Pak Halim (Mendes) untuk mencapainya, tekanannya ada di Kemenkeu dan Kemendagri, betapa sulitnya struktur itu," katanya.
"Data kemiskinan, bagaimana mengukurnya dan kenapa data kita seperti itu. Basic kita, masalah kita di sini, kemiskinan dihitung menggunakan garis kemiskinan nasional, tetapi tiap daerah punya garis kemiskinan. Contoh, Kota Tasikmalaya Rp457.000 per bulan per kapita, Kabupaten Tasik Rp311.848, Kota Padang Rp534.857, Kabupaten Bandung Rp345.177 tapi Kota Bandung Rp474.488," kata Suharso dalam Rapat Kerja (Raker) Gabungan membahas verifikasi dan validasi data kemiskinan, Rabu (1/7/2020).
Suharso menjelaskan, data tersebut membuktikan bahwa garis kemiskinan antara kabupaten dan kota saja signifikan, dan berdasarkan garis tersebut ada daerah yang lolos di garis kemiskinan nasional sebesar Rp440.000 per orang per kapita, atau setiap rumah tangga sekitar Rp2 juta per bulan. Di situ, pemerintah baru akan mengintervensi dengan bantuan sosial. Namun, hal ini sangat dipengaruhi data daerah.( )
"Daerah tidak melakukan updating, datanya terjadi sesuatu di sana. Itu persoalan kita," katanya.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP ini juga mengungkap fakta yang lucu di balik carut-marut data kemiskinan. Yang mana, data kemiskinan ini akan naik menjelang pilkada lalu turun kembali setelah pilkada dilaksanakan.
"Lucunya kalau mau pilkada, turun, diturun-turunkan, justru terbalik. Jadi waktu mau pilkada garis kemiskinan dinaikkan sehingga bansos lebih banyak, saat terpilih berusaha meningkatkan garis kemiskinannya, garis kemiskinan kita membaik, kemiskinan rendah, dan seterusnya sebagai prestasi kepala daerah," katanya.
"Itu persoalan kita yang membuat Pak Ary (Mensos Juliary Batubara) bolak balik ke Bappenas , datanya bagaimana. Problem kita sesederhana itu," imbuh Suharso.
Kemudian masalah lainnya, sambung Suharso, daerah memiliki otonomi, Kementerian Sosial (kemensos) tidak bisa masuk begitu saja ke daerah mengatur data kemiskinan, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) yang punya struktur di desa pun tidak bisa masuk ke daerah terkait data ini. Sehingga, satu-satunya yang bisa adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan instrumen APBD-nya sehingga daerah pun takut.( )
"Itu, jadi pelaksana programnya Kemensos, desainnya di kami (Bappenas), kadang kita menggunakan lahan Pak Halim (Mendes) untuk mencapainya, tekanannya ada di Kemenkeu dan Kemendagri, betapa sulitnya struktur itu," katanya.
(abd)
tulis komentar anda