Perlindungan Hukum terhadap Justice Collaborator
Senin, 29 Agustus 2022 - 07:28 WIB
Romli Atmasasmita
Guru Besar Hukum Unpad
Sepanjang sejarah perkembangan teori kejahatan (kriminologi) dan korban kejahatan (viktimologi) sejak kehadiran C Beccaria dengan karyanya,Manusia Penjahat atau L’uomo Delinquente(1830), sampai pertengahan 1970-an tidak pernah muncul teori baru mengenai urgensi dan relevansi tentang fungsi dan peranan seorang saksi korban atau pelaku-pelapor atau justice collaborator (JC) yang berkontribusi dalam mengungkap tuntas suatu peristiwa kejahatan.
Pada 1960-an muncul organisasi kejahatan (mafia) di AS dengan kegiatan kejahatan yang sangat canggih dan sulit dilacak secara konvensional, terutama kejahatan tentang penyelundupan, pencucian uang dan pemerasan, serta perdagangan orang. Salah satu cara FBI mengungkap kejahatan tersebut adalah merekrut satu orang anggota mafia untuk membantu penyidikan sampai tuntas untuk meringkus organisasi kejahatan tersebut.
Operasi kegiatan rekrutmen anggota organisasi mafia itu disertai perlindungan hukum, termasuk fisik yang bersangkutan(safe-house).Mereka yang berkontribusi dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana kemudian disebut JC ataujustice collaborator. Yang membedakannya dengan pelaku lainnya adalah kepada JC diberikanperlakuan istimewa antara lain perlindungan keamanan fisik dan tuntutan yang ringan. JC juga dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana melalui beberapa peraturan perundang-undangan kecuali KUHAP.
Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran (SE) MA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SE MA tersebut diperkuat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pada bagian menimbang hurufadinyatakan bahwa jaminan perlindungan saksi dan korban berperanan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan menimbang UU No 31/2014 tersebut jelas bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang membantu penyidikan dalam proses peradilan pidana; bukan lembaga lainnya.
Orang awam berasumsi bahwa setiap pelanggaran terhadap KUHP adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah pelanggaran HAM, akan tetapi bukantermasuk pelanggaran HAM berat (gross-violation of human right). Pelanggaran HAM berat dilakukan secara sistematis dan meluas dilakukan oleh organ negara terhadap penduduk sipil.
Guru Besar Hukum Unpad
Sepanjang sejarah perkembangan teori kejahatan (kriminologi) dan korban kejahatan (viktimologi) sejak kehadiran C Beccaria dengan karyanya,Manusia Penjahat atau L’uomo Delinquente(1830), sampai pertengahan 1970-an tidak pernah muncul teori baru mengenai urgensi dan relevansi tentang fungsi dan peranan seorang saksi korban atau pelaku-pelapor atau justice collaborator (JC) yang berkontribusi dalam mengungkap tuntas suatu peristiwa kejahatan.
Pada 1960-an muncul organisasi kejahatan (mafia) di AS dengan kegiatan kejahatan yang sangat canggih dan sulit dilacak secara konvensional, terutama kejahatan tentang penyelundupan, pencucian uang dan pemerasan, serta perdagangan orang. Salah satu cara FBI mengungkap kejahatan tersebut adalah merekrut satu orang anggota mafia untuk membantu penyidikan sampai tuntas untuk meringkus organisasi kejahatan tersebut.
Operasi kegiatan rekrutmen anggota organisasi mafia itu disertai perlindungan hukum, termasuk fisik yang bersangkutan(safe-house).Mereka yang berkontribusi dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana kemudian disebut JC ataujustice collaborator. Yang membedakannya dengan pelaku lainnya adalah kepada JC diberikanperlakuan istimewa antara lain perlindungan keamanan fisik dan tuntutan yang ringan. JC juga dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana melalui beberapa peraturan perundang-undangan kecuali KUHAP.
Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran (SE) MA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. SE MA tersebut diperkuat di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pada bagian menimbang hurufadinyatakan bahwa jaminan perlindungan saksi dan korban berperanan penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat mengungkap suatu tindak pidana.
Berdasarkan ketentuan menimbang UU No 31/2014 tersebut jelas bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang membantu penyidikan dalam proses peradilan pidana; bukan lembaga lainnya.
Orang awam berasumsi bahwa setiap pelanggaran terhadap KUHP adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah pelanggaran HAM, akan tetapi bukantermasuk pelanggaran HAM berat (gross-violation of human right). Pelanggaran HAM berat dilakukan secara sistematis dan meluas dilakukan oleh organ negara terhadap penduduk sipil.
tulis komentar anda