Tingkat Tertinggi Kebijaksanaan Manusia adalah Milik Buya Syafii Maarif
Selasa, 31 Mei 2022 - 08:42 WIB
Yuliandre Darwis
Komisioner KPI Pusat
CERMIN dari bangsa yang kuat adalah mentalitas pemimpin serta para petingginya yang punya jiwa besar dan yang terpenting adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan dirinya ini berarti mereka yang sudah berdamai dan tidak lagi mencari pembenaran atau kemakmuran atas dirinya sendiri, mereka yang sudah cukup dengan apa yang mereka punya sekarang dan tidak lagi mengejar kepentingan diri. Dengan begitu mereka hanya akan mencari keadilan bagi orang banyak dan terbaik bagi masyarakat.
Satu di antara sosok sekaligus tokoh yang bisa mencerminkan hal itu ialah Buya Syafii Maarif. Buya adalah contoh dari sedikit manusia di dunia yang pernah lahir di bumi, yang berhasil mencapai kecerdasan dan kebijaksanaan tertinggi yang pernah manusia capai.
Setiap kali seorang ulama besar pergi, ada lubang di hati umat manusia dan bangsa yang tidak bisa ditutup sampai ulama penggantinya lahir. Wajar jika wafatnya ditangisi dan dikenang banyak orang. Kehebatan seorang ulama tentu berbeda dengan ilmuwan lainnya. Seorang ulama harus bertakwa pada ilmu, namun yang menentukan kualitas eksistensinya adalah pengabdiannya pada nilai-nilai. Alhasil, dari ilmunya harus dibarengi dengan komitmen untuk menerapkannya ke dalam praktik etis di mana keteladanan perilaku hidupnya berbicara lebih lantang daripada perkataannya.
Beberapa waktu lalu sebelum wafat, saya sempat bertamu ke kediaman beliau di Yogyakarta, sekadar silaturahmi sekaligus bertukar pikiran tentang bagaimana kita menyikapi dan memilih suatu keputusan dalam hidup dan dilanjutkan tentang pandangan beliau bagaimana menjadi pemimpin yang sejati dan senantiasa mementingkan orang banyak daripada diri sendiri.
Pertemuan saya dengan Buya kala itu mengubah persepsi saya sekaligus membuka cakrawala pemikiran baru. Di situ Buya senantiasa berpesan jika pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan dirinya berarti dia sudah tidak mementingkan dirinya sendiri di dunia, orang yang telah selesai mencapai tujuan hidup yang bermakna dan sekarang tinggal bagaimana membagikan makna hidup tersebut ke khalayak luas. Pesan akhir beliau ke saya sederhana: jangan miskin, tetap konsisten profesional dan bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini yang saya lakukan dan tidak akan pernah lupa sampai saat ini.
Buya Syafii Maarif tumbuh di lingkungan epistemik Muhammadiyah. Beliau tumbuh, berkembang, dan mengabdi di lingkungan Muhammadiyah. Pola dasar pemikiran Muhammadiyah yang Islam reformis, disertai sejarah sejarah tokoh-tokohnya dengan tokoh-tokoh Islam Masyumi, merupakan jejak besar dalam pola pikir Syafii Maarif muda.
Dapat dikatakan bahwa lintasan pemikiran politiknya dimulai sebagai seorang islamis. Namun, penalaran aktif dari jiwa dan kecerdasan pengembara memungkinkan dia untuk berhubungan dengan lingkungan epistemik lainnya dan terbuka untuk kemungkinan pertimbangan ulang.
Komisioner KPI Pusat
CERMIN dari bangsa yang kuat adalah mentalitas pemimpin serta para petingginya yang punya jiwa besar dan yang terpenting adalah mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan dirinya ini berarti mereka yang sudah berdamai dan tidak lagi mencari pembenaran atau kemakmuran atas dirinya sendiri, mereka yang sudah cukup dengan apa yang mereka punya sekarang dan tidak lagi mengejar kepentingan diri. Dengan begitu mereka hanya akan mencari keadilan bagi orang banyak dan terbaik bagi masyarakat.
Satu di antara sosok sekaligus tokoh yang bisa mencerminkan hal itu ialah Buya Syafii Maarif. Buya adalah contoh dari sedikit manusia di dunia yang pernah lahir di bumi, yang berhasil mencapai kecerdasan dan kebijaksanaan tertinggi yang pernah manusia capai.
Setiap kali seorang ulama besar pergi, ada lubang di hati umat manusia dan bangsa yang tidak bisa ditutup sampai ulama penggantinya lahir. Wajar jika wafatnya ditangisi dan dikenang banyak orang. Kehebatan seorang ulama tentu berbeda dengan ilmuwan lainnya. Seorang ulama harus bertakwa pada ilmu, namun yang menentukan kualitas eksistensinya adalah pengabdiannya pada nilai-nilai. Alhasil, dari ilmunya harus dibarengi dengan komitmen untuk menerapkannya ke dalam praktik etis di mana keteladanan perilaku hidupnya berbicara lebih lantang daripada perkataannya.
Beberapa waktu lalu sebelum wafat, saya sempat bertamu ke kediaman beliau di Yogyakarta, sekadar silaturahmi sekaligus bertukar pikiran tentang bagaimana kita menyikapi dan memilih suatu keputusan dalam hidup dan dilanjutkan tentang pandangan beliau bagaimana menjadi pemimpin yang sejati dan senantiasa mementingkan orang banyak daripada diri sendiri.
Pertemuan saya dengan Buya kala itu mengubah persepsi saya sekaligus membuka cakrawala pemikiran baru. Di situ Buya senantiasa berpesan jika pemimpin yang baik adalah pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri. Selesai dengan dirinya berarti dia sudah tidak mementingkan dirinya sendiri di dunia, orang yang telah selesai mencapai tujuan hidup yang bermakna dan sekarang tinggal bagaimana membagikan makna hidup tersebut ke khalayak luas. Pesan akhir beliau ke saya sederhana: jangan miskin, tetap konsisten profesional dan bermanfaat bagi orang banyak. Hal ini yang saya lakukan dan tidak akan pernah lupa sampai saat ini.
Buya Syafii Maarif tumbuh di lingkungan epistemik Muhammadiyah. Beliau tumbuh, berkembang, dan mengabdi di lingkungan Muhammadiyah. Pola dasar pemikiran Muhammadiyah yang Islam reformis, disertai sejarah sejarah tokoh-tokohnya dengan tokoh-tokoh Islam Masyumi, merupakan jejak besar dalam pola pikir Syafii Maarif muda.
Dapat dikatakan bahwa lintasan pemikiran politiknya dimulai sebagai seorang islamis. Namun, penalaran aktif dari jiwa dan kecerdasan pengembara memungkinkan dia untuk berhubungan dengan lingkungan epistemik lainnya dan terbuka untuk kemungkinan pertimbangan ulang.
Lihat Juga :
tulis komentar anda