Rieke Diah Pitaloka Raih Gelar Doktor Ilmu Komunikasi UI dengan Nilai Cumlaude
Rabu, 25 Mei 2022 - 23:38 WIB
JAKARTA - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Komunikasi dari Fisip Universitas Indonesia (UI) dengan nilai Cumlaude.
Selain itu, Rieke menjadi salah satu peraih Doktor Komunikasi tercepat dengan masa studi yang ditempuh hanya dalam waktu 2 tahun, 8 bulan, dan 2 hari. Dengan gelar tersebut, Rieke menjadi Doktor Bidang Ilmu Komunikasi Fisip UI ke-124 dan Doktor perempuan ke-63.
Sebelum menyandang gelar bergengsi tersebut, Rieke terlebih dahulu menjalani sidang promosi Doktor Ilmu Komunikasi Fisip UI di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Depok. Adapun disertasinya berjudul "Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan"
Sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dengan penguji antara lain, Yanuar Nugroho, Ph.D. kemudian Dr. Sofyan Sjaf, SPt., M.Si, Dr. Arie Sujito, dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D.
Adapun promotor adalah Dr. Hendriyani. Sedangkan, Kopromotor yakni, Dr. Eriyanto, M.Si, Dr. J. Haryatmoko. Dalam disertasinya, Rieke mendeskripsikan analisis dan interpretasi atas perbandingan dua jenis data, yaitu data perdesaan yang direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down dan data yang diproduksi warga dengan pendekatan bottom up.
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi dan divalidasi.
Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat, dan relevan (pseudo data). Namun data tersebut tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun, karena prosesnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
"Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, mamaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan dan data perdesaan. Ketika pseudo data dijadikan basis kebijakan publik, maka dampaknya adalah marginalisasi berkesinambungan oleh negara," ujar Rieke, Rabu (25/5/2022).
Disertasi ini juga membongkar kekerasan negara yang beroperasi melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil pedesaan. "Praktik ini mengakibatkan monopoli sumber daya publik berada di tangan birokrasi dan atau korporasi. Ruang komunikasi dan partisipasi masyarakat tertutup atas nama teknokrasi yang legal," kata Rieke.
Selain itu, Rieke menjadi salah satu peraih Doktor Komunikasi tercepat dengan masa studi yang ditempuh hanya dalam waktu 2 tahun, 8 bulan, dan 2 hari. Dengan gelar tersebut, Rieke menjadi Doktor Bidang Ilmu Komunikasi Fisip UI ke-124 dan Doktor perempuan ke-63.
Sebelum menyandang gelar bergengsi tersebut, Rieke terlebih dahulu menjalani sidang promosi Doktor Ilmu Komunikasi Fisip UI di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Depok. Adapun disertasinya berjudul "Kebijakan Rekolonialisasi: Kekerasan Simbolik Negara Melalui Pendataan Perdesaan"
Sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto dengan penguji antara lain, Yanuar Nugroho, Ph.D. kemudian Dr. Sofyan Sjaf, SPt., M.Si, Dr. Arie Sujito, dan Endah Triastuti, M.Si., Ph.D.
Adapun promotor adalah Dr. Hendriyani. Sedangkan, Kopromotor yakni, Dr. Eriyanto, M.Si, Dr. J. Haryatmoko. Dalam disertasinya, Rieke mendeskripsikan analisis dan interpretasi atas perbandingan dua jenis data, yaitu data perdesaan yang direproduksi institusi negara dengan pendekatan top down dan data yang diproduksi warga dengan pendekatan bottom up.
Temuan penelitian memperlihatkan bahwa data yang direproduksi negara tidak mengintegrasikan antara data spasial dan numerik. Akibatnya data tersebut sulit dikonfirmasi, diverifikasi dan divalidasi.
Hal tersebut menyebabkan kualitas data negara tidak memenuhi prinsip-prinsip data yang aktual, akurat, dan relevan (pseudo data). Namun data tersebut tetap dianggap data yang memiliki legalitas sebagai basis data kebijakan pembangun, karena prosesnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
"Inilah yang disebut dengan kekerasan simbolik negara, kekerasan yang beroperasi dengan cara mengatur, mamaksakan, bahkan bisa saja merekayasa pendataan dan data perdesaan. Ketika pseudo data dijadikan basis kebijakan publik, maka dampaknya adalah marginalisasi berkesinambungan oleh negara," ujar Rieke, Rabu (25/5/2022).
Disertasi ini juga membongkar kekerasan negara yang beroperasi melalui data yang tidak menginformasikan kondisi dan kebutuhan riil warga serta potensi riil pedesaan. "Praktik ini mengakibatkan monopoli sumber daya publik berada di tangan birokrasi dan atau korporasi. Ruang komunikasi dan partisipasi masyarakat tertutup atas nama teknokrasi yang legal," kata Rieke.
(kri)
tulis komentar anda