Pj Kepala Daerah Boleh TNI Polri, Pakar Hukum: Harus Mengundurkan Diri atau Pensiun

Sabtu, 21 Mei 2022 - 13:33 WIB
Peneliti PSHK UII Muhamad Saleh mengatakan, penjabat kepala daerah dari TNI-Polri harus mengundurkan diri atau pensiun. Foto/SINDOnews
JAKARTA - Dalam transisi menuju pilkada serentak nasional yang akan digelar pada 2024, akan ada 272 daerah setingkat gubernur, bupati dan wali kota yang dipimpin oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Kementerian Dalam Negeri ( Kemendagri ) menyampaikan, Pj kepala daerah dapat diangkat dari unsur TNI dan Polri.

Namun, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menjelaskan, berdasarkan Pasal 201 Ayat 10) dan 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) menyebutkan, yang berhak menjadi Pj kepala daerah adalah pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/wali kota. Tapi khusus TNI/Polri perlu melihat kembali kepada tiga UU lainnya.

“Untuk memahami apakah ketentuan pengisian penjabat kepala daerah dapat diisi dari unsur TNI dan Polri, maka perlu merujuk Pasal 109 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara; Pasal 47 Ayat (1) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI; dan Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 Polri,” kata peneliti PSHK UII, Muhamad Saleh, Sabtu (21/5/2022).





Saleh menjelaskan, tiga UU tersebut menegaskan anggota TNI dan Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil yakni Pj kepala daerah, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif. Norma tersebut juga ditegaskan kembali dalam pertimbangan hukum angka 3.13.3 Putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 15/PUU-XX/2022 yang menyatakan prajurit TNI dan anggota Polri dilarang menjadi Pj kepala daerah apabila belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinas aktif.

“Dengan ditegaskannya norma di atas dalam pertimbangan hukum Putusan MK, maka ketentuan ini mengikat disebabkan masuk dalam kategori ratio decidendi yang tidak dapat dipisahkan dari amar putusan bahkan menjadi mandat konstitusional, sehingga seluruh lembaga negara (termasuk Eksekutif: cq Kementerian Dalam Negeri) wajib melaksanakannya,” ujarnya.

Menurut Saleh, politik hukum pembatasan hak dipilih anggota TNI dan Polri di atas adalah konstitusional, secara historis telah sesuai dengan amanat reformasi 1998 yang termaktub dalam Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. “Pembatasan ini bertujuan agar TNI dan Polri tidak masuk dalam ranah politik praktis agar tidak merusak demokratisasi dan reformasi birokrasi,” tegas Saleh.



Oleh karena itu, kata Saleh, PSHK UII merekomendasikan sejumlah hal. Di antaranya, pertama, kepada Kemendagri agar mengevaluasi dan mengganti Pj kepala daerah yang telah diangkat dari TNI/Polri tetapi belum mengundurkan diri atau belum pensiun dari dinasi aktif; membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah mengenai kebutuhan Pj kepala daerah yang memenuhi syarat dan memerhatikan kepentingan daerah, serta dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang sebagaimana amanat Putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.

“Dikarenakan pemilihan kepala daerah sangat erat kaitanya dengan otonomi daerah, maka Kemendagri juga harus memperhatikan aspirasi daerah. Oleh karena itu, Kemendagri dalam penunjukan penjabat mengutamakan calon penjabat yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan paham akan persoalan daerah yang akan dipimpin,” paparnya.

Kedua, sambung Saleh, PSHK UII meminta kepada Presiden agar mengingatkan menteri-menterinya agar tetap tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan dan Putusan MK. Dan Ketiga, kepada DPR sebagai lembaga pengawas eksekutif, agar mengawasi pengisian penjabat kepala daerah agar berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More