Paradigma Monoloyalitas IDI

Kamis, 12 Mei 2022 - 14:43 WIB
Iqbal Mochtar (Foto: Ist)
Iqbal Mochtar

Pengurus PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

ADA berita menarik. Tiba-tiba saja segelintir dokter mendeklarasikan berdirinya sebuah organisasi bernama Persatuan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI). Katanya, misi organisasi ini ingin melakukan reformasi kedokteran Indonesia. Komentar pun berlimpah ruah. Sebagian menyebut organisasi ini sebagai tandingan organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI); sebagian lagi berkomentar IDI telah pecah. Ada pula mensinyalir organisasi ini pro-Terawan; yang dibentuk sebagai respons dipecatnya Dr Terawan dari IDI karena terkait masalah etik tindakan cuci otak.

Hak Berserikat

Di era euforia demokrasi, kemunculan organisasi-organisasi baru merupakan hal jamak. Di era ini, setiap orang dapat mendirikan organisasi dengan beragam alasan. Ada yang alasannya genuine tetapi ada juga yang dipicu oleh ambisi tertentu. Terlepas alasannya, tidak ada larangan mendirikan organisasi. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul merupakan hak warga negara yang dijamin UUD 1945. Negara bahkan memudahkan pendirian organisasi. Dengan modal akta notaris yang memuat anggaran dasar, program kerja, susunan pengurus, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) bisa mengesahkan keberadaan sebuah organisasi. Waktu pengurusannya pun kadang hanya 1-2 minggu. Akhirnya organisasi Indonesia menjamur. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar setengah juta organisasi. Meski demikian, sampai di sini tidak ada masalah.



Masalah mulai menyeruak bila organisasi yang lahir bersinggungan dan kontra-produktif dengan organisasi yang telah eksis. Apalagi bila organisasi baru ini memantik isu dualisme.

Monoloyalitas Organisasi Profesi

IDI adalah organisasi profesi yang sudah berselancar mulus dalam sejarah dan menisbahkan dirinya sebagai organisasi profesi yang solid, matur dan kredibel. Didirikan pada 1950, saat ini IDI memiliki ratusan ribu anggota dokter dengan program kerja yang masif dan terstruktur. Track record-nya dalam menjaga marwah dan etika profesi sudah terbukti. IDI juga secara konsisten mengevaluasi kualitas profesional serta pelayanan yang diberikan anggotanya. Dan, tidak kalah pentingnya, IDI terus menjaga kemudinya agar tidak tenggelam dalam politik praktis.

Terlepas dari track record-nya yang telah well-established, tetap saja ada segelintir yang belum puas dan bahkan mendirikan kelompok semacam IDI. Ada juga yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Jawaban Mahkamah Konstitusi jelas; bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi dokter yang sah di Indonesia. Alasannya, kiprah IDI sangat vital dan krusial, yaitu terkait kesehatan individu dan masyarakat. Peran krusial ini perlu dijaga agar tetap terstandarisasi, berkualitas tinggi dan universal. Untuk mencapainya, tidak boleh ada dualisme organisasi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More