Ajaib! Dibentak Jenderal Kopassus Ini, Pasukan Musuh Mundur Bak Kerbau Dicocok Hidungnya
Senin, 09 Mei 2022 - 06:07 WIB
Orangtua Sarwo Edhie melepas anaknya dengan tangis. Mereka sangat mendukung, tapi ada rasa khawatir mengingat usia Sarwo Edhie yang masih sangat muda. Tetapi, ia memang gagah berani. Selang beberapa bulan kemudian, ia kembali ke Purworejo dengan seragam tentara komplet berikut pedang Jepang. Bukan main bangganya Eyang, kata Ani Yudhoyono bercerita. Papi, begitu Sarwo Edhie dipanggil anak-anaknya, dipeluk dengan tangis haru.
Dengan seragam tentara, Sarwo Edhie seolah mendapatkan "roh" yang diinginkannya. Ia menggeluti dunia prajurit dengan sepenuh hati. Kemudian ia memperdalam pendidikan militer di Magelang. Tahun 1945, di Magelang, ia membentuk batalyon dan menjadi Komandan Pasukan BKR (Barisan Keamanan Rakyat).
Sejak Ahmad Yani kemudian mengajak Sarwo Edhie membentuk batalyon baru, ia makin larut dalam kehidupan militer. Jiwa kepemimpinan Sarwo Edhie yang menonjol membuatnya terpilih menjadi Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX, Divisi Diponegoro sampai tahun 1951.
Tahun 1949, Sarwo Edhie menikah dengan Sri Sunarti Hadiyah dalam kondisi serba sederhana. Sri baru saja lulus sekolah guru taman Kanak-kanak dan belum sempat mencari pekerjaan ketika Sarwo Edhie mengajaknya menikah.
Ani Yudhoyono menuturkan awal pernikahan adalah masa penggojlokan Ibu (Sri Sunarti) sebagai istri prajurit. Alih-alih melewatkan masa bulan madu yang nyaman dan penuh dengan ketenangan, Ibu sudah diajak Papi mengungsi ke hutan karena situasi politik yang memanas. Pasca kemerdekaan, pasukan Belanda masih merajalela dan mengincar prajurit-prajurit pro kemerdekaan.
Sarwo Edhie termasuk salah satu orang yang menjadi target penangkapan Belanda. Bersama ratusan pengungsi, yang rata-rata adalah prajurit dan anak istrinya, Sarwo Edhie membawa Sri Sunarti menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju kawasan hutan di Magelang Timur dengan hanya membawa satu buntalan kain berisi sedikit pakaian. Sebelum mencapai hutan, pengungsi harus menyeberangi kali yang cukup lebar.
Konon hutan itu cukup ditakuti Belanda jadi dinilai aman sebagai tempat persembunyian. Walau begitu Belanda tetap melancarkan aksi pengepungan dan penangkapan terhadap tentara Indonesia. Hutan dengan medan yang sulit itu terus disisir Belanda. Tempat-tempat pengungsian setiap hari diwarnai situasi tegang, karena Belanda bisa muncul tiba-tiba dan menghabisi tentara Indonesia.
Dari tahun 1949 sampai 1950, Ani Yudhoyono menyebut Papi dan Ibunya berpindah-pindah tempat dengan kondisi yang serba darurat dan tidak pernah sepi dari ancaman. Sering kali pasukan Belanda datang tiba-tiba dan menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Agar selamat dan tidak ditanya-tanya tentang suami, para ibu muda biasanya langsung menggelung rambut sedemikian rupa sehingga dikira masih gadis. Saat itu memang ada simbol status wanita yang diisyaratkan dengan penataan rambut. Belanda selalu memancing kehadiran tentara dengan menginterogasi istri mereka.
Dalam situasi yang menegangkan itu sebuah peristiwa ajaib pernah terjadi. Ibunya bercerita, dalam sebuah pengungsian, ia dan Sarwo Edhie tinggal dalam sebuah bangunan besar mirip gudang. Tidak ada dinding-dinding di dalamnya, kecuali sekat-sekat kecil.
Dengan seragam tentara, Sarwo Edhie seolah mendapatkan "roh" yang diinginkannya. Ia menggeluti dunia prajurit dengan sepenuh hati. Kemudian ia memperdalam pendidikan militer di Magelang. Tahun 1945, di Magelang, ia membentuk batalyon dan menjadi Komandan Pasukan BKR (Barisan Keamanan Rakyat).
Sejak Ahmad Yani kemudian mengajak Sarwo Edhie membentuk batalyon baru, ia makin larut dalam kehidupan militer. Jiwa kepemimpinan Sarwo Edhie yang menonjol membuatnya terpilih menjadi Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX, Divisi Diponegoro sampai tahun 1951.
Tahun 1949, Sarwo Edhie menikah dengan Sri Sunarti Hadiyah dalam kondisi serba sederhana. Sri baru saja lulus sekolah guru taman Kanak-kanak dan belum sempat mencari pekerjaan ketika Sarwo Edhie mengajaknya menikah.
Ani Yudhoyono menuturkan awal pernikahan adalah masa penggojlokan Ibu (Sri Sunarti) sebagai istri prajurit. Alih-alih melewatkan masa bulan madu yang nyaman dan penuh dengan ketenangan, Ibu sudah diajak Papi mengungsi ke hutan karena situasi politik yang memanas. Pasca kemerdekaan, pasukan Belanda masih merajalela dan mengincar prajurit-prajurit pro kemerdekaan.
Sarwo Edhie termasuk salah satu orang yang menjadi target penangkapan Belanda. Bersama ratusan pengungsi, yang rata-rata adalah prajurit dan anak istrinya, Sarwo Edhie membawa Sri Sunarti menempuh perjalanan puluhan kilometer menuju kawasan hutan di Magelang Timur dengan hanya membawa satu buntalan kain berisi sedikit pakaian. Sebelum mencapai hutan, pengungsi harus menyeberangi kali yang cukup lebar.
Konon hutan itu cukup ditakuti Belanda jadi dinilai aman sebagai tempat persembunyian. Walau begitu Belanda tetap melancarkan aksi pengepungan dan penangkapan terhadap tentara Indonesia. Hutan dengan medan yang sulit itu terus disisir Belanda. Tempat-tempat pengungsian setiap hari diwarnai situasi tegang, karena Belanda bisa muncul tiba-tiba dan menghabisi tentara Indonesia.
Dari tahun 1949 sampai 1950, Ani Yudhoyono menyebut Papi dan Ibunya berpindah-pindah tempat dengan kondisi yang serba darurat dan tidak pernah sepi dari ancaman. Sering kali pasukan Belanda datang tiba-tiba dan menangkapi orang-orang yang dicurigai.
Agar selamat dan tidak ditanya-tanya tentang suami, para ibu muda biasanya langsung menggelung rambut sedemikian rupa sehingga dikira masih gadis. Saat itu memang ada simbol status wanita yang diisyaratkan dengan penataan rambut. Belanda selalu memancing kehadiran tentara dengan menginterogasi istri mereka.
Dalam situasi yang menegangkan itu sebuah peristiwa ajaib pernah terjadi. Ibunya bercerita, dalam sebuah pengungsian, ia dan Sarwo Edhie tinggal dalam sebuah bangunan besar mirip gudang. Tidak ada dinding-dinding di dalamnya, kecuali sekat-sekat kecil.
tulis komentar anda