Ketua MUI Minta Rektor ITK Dipecat, Tak Cukup Dicopot dari Reviewer LPDP
Kamis, 05 Mei 2022 - 08:53 WIB
JAKARTA - Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menilai tindakan pemerintah terhadap Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko sudah baik. Tetapi sanksi itu dianggapya belum cukup untuk menghentikan laju rasisme yang belakangan terus meningkat.
Lewat cuitan di akun Twitter, Cholil Nafis menyarankan pemerintah mengambil tindakan yang lebih tegas dengan memberhentikan Budi Santosa dari jabatannya sebagai rektor ITK .
”Terima kasih @kemenpendidikan tlh Memecatnya sbg reviewer LPDP, tapi lebih memberi aspek jera dan antisipasi kaum rasis di Indonesia baiknya sekalian diberhentikan dari jabatan rektor @universitastik. Jangan beri lewat orang yg rasis, apalg kaum terdidik,” tulis Choil Nafis, Kamis (5/5/2022).
Pernyataan ini disampaikan Cholil Nafis menanggapi pernyataan Kemendikbudristek soal evaluasi dan rencana untuk mencopot Budi Santosa dari posisi sebagai reviewer program LPDP. Budi dianggap melanggar kode etik dan pakta integritas sebagai reviewer LPDP.
ITK sendiri adalah perguruan tinggi negeri milik pemerintah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sbagai rector, Budi Santosa dalam tulisannya menunjukkan sikap anti terhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam seperti insya Allah, barakallah, dan qadarullah.
Berikut tulisan lengkap Budi Santosa yang dituding rasis:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.
Lewat cuitan di akun Twitter, Cholil Nafis menyarankan pemerintah mengambil tindakan yang lebih tegas dengan memberhentikan Budi Santosa dari jabatannya sebagai rektor ITK .
”Terima kasih @kemenpendidikan tlh Memecatnya sbg reviewer LPDP, tapi lebih memberi aspek jera dan antisipasi kaum rasis di Indonesia baiknya sekalian diberhentikan dari jabatan rektor @universitastik. Jangan beri lewat orang yg rasis, apalg kaum terdidik,” tulis Choil Nafis, Kamis (5/5/2022).
Baca Juga
Pernyataan ini disampaikan Cholil Nafis menanggapi pernyataan Kemendikbudristek soal evaluasi dan rencana untuk mencopot Budi Santosa dari posisi sebagai reviewer program LPDP. Budi dianggap melanggar kode etik dan pakta integritas sebagai reviewer LPDP.
ITK sendiri adalah perguruan tinggi negeri milik pemerintah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Sbagai rector, Budi Santosa dalam tulisannya menunjukkan sikap anti terhadap mahasiswa yang mengucapkan kalimat dalam ajaran Islam seperti insya Allah, barakallah, dan qadarullah.
Berikut tulisan lengkap Budi Santosa yang dituding rasis:
Saya berkesempatan mewawancara beberapa mahasiswa yang ikut mobilitas mahasiswa ke luar negeri. Program Dikti yang dibiayai LPDP ini banyak mendapat perhatian dari para mahasiswa. Mereka adalah anak-anak pinter yang punya kemampuan luar biasa. Jika diplot dalam distribusi normal, mereka mungkin termasuk 2,5% sisi kanan populasi mahasiswa. Tidak satu pun saya mendapatkan mereka ini hobi demo. Yang ada adalah mahasiswa dengan IP yang luar biasa tinggi di atas 3,5. Bahkan beberapa 3,8 dan 3,9. Bahasa Inggris mereka cas cis cus dengan nilai IELTS 8, 8,5 bahkan 9. Duolingo bisa mencapai 140, 145, bahkan ada yang 150 (padahal syarat minimum 100). Luar biasa. Mereka juga aktif di organisasi kemahasiswaan (profesional), sosial kemasyarakatan dan asisten lab atau asisten dosen. Mereka bicara tentang hal-hal yang membumi; apa cita-citanya, minatnya, usaha2 untuk mendukung cita-citanya, apa kontribusi untuk masyarakat dan bangsanya, nasionalisme dsb. Tidak bicara soal langit atau kehidupan sesudah mati. Pilihan kata-katanya juga jauh dari kata-kata langit: inshaallah, barakallah, syiar, qadarullah, dsb. Generasi ini merupakan bonus demografi yang akan mengisi posisi2 di BUMN, lembaga pemerintah, dunia pendidikan, sektor swasta beberapa tahun mendatang. Dan kebetulan, dari 16 yang saya wawancara, hanya ada 2 cowok dan sisanya cewek. Dari 14, ada 2 tidak hadir. Jadi 12 mahasiswi yang saya wawancarai, tidak satu pun menutup kepala ala manusia gurun. Otaknya benar2 openmind. Mereka mencari Tuhan ke negara2 maju seperti Korea, Eropa barat dan US, bukan ke negara yang orang2nya pandai bercerita karya teknologi.
(muh)
tulis komentar anda