Baru Sita Aset Rp19,16 Triliun, DPD Soroti Kinerja Satgas BLBI

Senin, 25 April 2022 - 15:26 WIB
Ketua Pansus BLBI DPD Bustami Zainudin (kiri) didampingi Staf Ahli Pansus BLBI DPD, Hardjuno Wiwoho (kanan). Foto/istimewa
JAKARTA - Satuan Tugas (Satgas) Penagihan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI ) hingga 31 Maret 2022 baru menyita aset obligor dan debitur BLBI senilai Rp19,16 triliun. Angka itu masih jauh dari nilai aset eks BLBI sesuai Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021 yang diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun.

"Artinya Satgas BLBI dalam setahun persis baru mencapai 17% dari target padahal waktu kerja sudah 37%," kata Ketua Pansus BLBI DPD Bustami Zainudin didampingi Staf Ahli Pansus BLBI DPD, Hardjuno Wiwoho, di Jakarta, Senin (25/4/2022).

Presiden Jokowi sebelumnya mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas BLBI pada 6 April 2021. Keppres ini dibuat dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.





"Waktu kerja Tim Satgas ini terbatas, masa kerjanya hingga Desember 2023 nanti. Memiliki total masa kerja 32 bulan, tapi selama 12 bulan ini Satgas baru mengumpulkan nilai sitaan 17% dari target. Saya perkirakan, hingga akhir masa kerja mereka, target Rp110,45 triliun ini tidak akan tercapai," katanya.

Staf Ahli Pansus BLBI, Hardjuno Wiwoho juga meragukan kemampuan Satgas BLBI dalam memburu aset para obligor BLBI. Menurutnya, waktu tersisa yang sangat terbatas, sulit untuk mengejar target yang telah ditentukan. Karena itu, Satgas BLBI harus berkomunikasi intensif dengan lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membantu kinerjanya. "KPK, Kejaksaan, Reskrim Polri, bahkan Pansus BLBI DPD siap membantu Satgas BLBI," katanya.



Hardjuno mengatakan, kerja sama antarlembaga dalam memburu aset para obligor BLBI sangat penting. Sebab, jika Satgas BLBI gagal, maka akan meninggalkan warisan masalah masa lalu yang terus menjerat jalannya bernegara.Satgas BLBI semestinya juga memberi perhatian pada masalah Obligasi Rekap BLBI yang saat ini terus membebani APBN dengan pembayaran bunga rekap setahun mencapai hingga Rp50-Rp70 triliun. Bunga obligasi rekap ini selalu akan menjadi perkiraan karena selama ini pemerintah tidak terbuka berapa sebenarnya yang dibayarkan negara kepada bank-bank penerima obligasi rekap tersebut.

"Sekarang yang jelas bank-bank ini sudah untung, bahkan ada yang sudah jadi bank nomor 1 di Indonesia bahkan Asia. Dulu waktu rekap diberikan bertujuan bank tidak kolaps, sekarang kan sudah jaya, ya mustinya ada moratorium obligasi rekap," kata Hardjuno.

Selain itu, Hardjuno juga mengkritisi Kemenkeu yang mengumumkan nilai aset sitaan para obligor BLBI sebesar Rp19,16 triliun. Nilai itu disampaikan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara DJKN Kementerian Keuangan Purnama T Sianturi dalam acara Bincang DJKN, Jumat (22/4/2022).

Padahal, menurut Hardjuno, negara Indonesia memiliki pengalaman sitaan aset oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ternyata nilainya tidak sesuai dengan yang disampaikan. "Nah sebaiknya Kemenkeu perjelas atau bikin web tanahnya di sini-di sini, nilai NJOP sekian nilai pasar sekian. Jadi kita bisa sama-sama lihat," kata Hardjuno.
(cip)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More