Putri Gus Dur: Jadikan Humor sebagai Barang Bukti Adalah Kegagalan
Kamis, 18 Juni 2020 - 19:33 WIB
JAKARTA - Jaringan Gusdurian mengecam tindakan Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara, yang memanggil seorang warga bernama Ismail Ahmad.
Ismail dianggap mencemarkan institusi kepolisian karena menggunggah humor tentang tiga polisi jujur di Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menjelaskan, humor mantan Presiden KH Abdurahman WahidatauGus Dur yang mengatakan ada tiga polisi jujur, yakni mantan Kapolri 1968-1971 Hoegoeng, dan patung polisi, dan polisi tidur adalah bentuk kritik yang disampaikan ayahnya semasa hidup kepada Polri.
“Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik. Terutama setelah lembaga tersebut dipisahkan dari ABRI (sebelum TNI-red) saat Gus Dur menjabar sebagai presiden,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu 17 Juni 2020.( )
Bagi Gus Dur, menurut dia, rasa humor dari masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Satu sisi, itu merupakan kemampuan menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati.
Di sisi lain, itu bentuk kesadaran akan keterbatasan diri. “Menjadikan humor sebagai barang bukti kasus pencemaran nama baik institusi adalah kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris,” terang Alissa.
Ismail sempat akan dijerat pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Belakangan, dia dilepas karena mau meminta maaf melalui media massa.
“Meski kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, pemanggilan oleh Polres Kepulauan Sula adalah bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya. Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrument untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia,” jelas putri dari almarhum Gus Dur itu.
Atas peristiwa itu, Jaringan Gusdurian mengapresiasi Ismail yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagau warga negara. Tindakannya melalui media sosial merupakan bagian dan ekspresi dan kebebasan berpendapat.
Jaringan Gusdurian meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekpresikan dan menyatakan pendapat melalui media apa pun. Selain itu, mendorong lembaga legislatif untuk mengevaluasi, merevisi, dan menghapus UU ITE. Beleid itu sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat.
“Mengajak seluruh Gusdurian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat. Salah satunya dengan membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam,” kata Alissa.
Ismail dianggap mencemarkan institusi kepolisian karena menggunggah humor tentang tiga polisi jujur di Indonesia.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menjelaskan, humor mantan Presiden KH Abdurahman WahidatauGus Dur yang mengatakan ada tiga polisi jujur, yakni mantan Kapolri 1968-1971 Hoegoeng, dan patung polisi, dan polisi tidur adalah bentuk kritik yang disampaikan ayahnya semasa hidup kepada Polri.
“Humor tersebut merupakan bentuk sindiran sekaligus kritik agar Polri bisa bekerja lebih baik. Terutama setelah lembaga tersebut dipisahkan dari ABRI (sebelum TNI-red) saat Gus Dur menjabar sebagai presiden,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu 17 Juni 2020.( )
Bagi Gus Dur, menurut dia, rasa humor dari masyarakat mencerminkan daya tahannya yang tinggi di hadapan semua kepahitan dan kesengsaraan. Satu sisi, itu merupakan kemampuan menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati.
Di sisi lain, itu bentuk kesadaran akan keterbatasan diri. “Menjadikan humor sebagai barang bukti kasus pencemaran nama baik institusi adalah kegagalan memahami watak masyarakat Indonesia yang humoris,” terang Alissa.
Ismail sempat akan dijerat pasal 45 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Belakangan, dia dilepas karena mau meminta maaf melalui media massa.
“Meski kasus tersebut tidak diproses karena Ismail bersedia meminta maaf, pemanggilan oleh Polres Kepulauan Sula adalah bentuk intimidasi institusi negara terhadap warganya. Hal ini menambah catatan upaya menggunakan UU ITE sebagai instrument untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat di Indonesia,” jelas putri dari almarhum Gus Dur itu.
Atas peristiwa itu, Jaringan Gusdurian mengapresiasi Ismail yang menggunakan hak konstitusionalnya sebagau warga negara. Tindakannya melalui media sosial merupakan bagian dan ekspresi dan kebebasan berpendapat.
Jaringan Gusdurian meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengintimidasi warga negara yang mengekpresikan dan menyatakan pendapat melalui media apa pun. Selain itu, mendorong lembaga legislatif untuk mengevaluasi, merevisi, dan menghapus UU ITE. Beleid itu sering disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat.
“Mengajak seluruh Gusdurian dan masyarakat Indonesia untuk terus mendukung iklim demokrasi yang sehat. Salah satunya dengan membuka ruang kritik yang membangun tanpa merasa terancam,” kata Alissa.
(dam)
tulis komentar anda