Pilkada di Tengah Corona Jadi Ajang Pertaruhan Kesehatan Masyarakat
Rabu, 17 Juni 2020 - 19:10 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemi COVID-19 ini bukan hanya pertaruhan elektoral, tapi juga menjadi pertaruhan kesehatan masyarakat. Sementara, penambahan anggaran yang dijanjikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan alat pelindung diri (APD) tak kunjung dicairkan.
Titi menjelaskan bahwa ada empat indikator untuk mengetahui apakah pilkada siap dilakukan atau tidak. Pertama, regulasi bahwa tahapan pilkada berlangsung di masa pandemi dilakukan dengan protokol kesehatan COVID-19. Kedua, untuk menyesuaikan protokol itu diperlukan ketersediaan anggaran yang cukup dan tepat waktu. Ketiga, kapsitas petugas untuk menyelenggarakan pilkada di tengah COVID-19 dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Dan terakhir, kesiapan masyarakat.
"Anggaran, saya tadi pagi kroscek Ketua KPU, anggaran masih sepenuhnya mengandalkan APBD, sementara realokasi dan refocusing untuk pengadaan APD belum semua jelas. Masih gunakan fasilitas yang dimiliki masing-masing individu. Tambahan Rp1,02 triliun belum ditransfer, masih komitmen belum terealisasi," kata Titi dalam diskusi virtual Fokus SINDO yang bertajuk "Pilkada 2020, Realistiskah?", Rabu (17/6/2020).( )
Karena itu, lanjut dia, kalau mau belajar dari praktik banyak negara yang menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi dan pengalaman Indonesia di pemilu dan pilkada sebelumnya, dampak paling dominan salah satunya partisipasi publik. Karena tantangan terbesar menyelenggarakan agenda elektoral di tengah pandemi adalah memberi rasa aman dan keyakinan dan rasa aman bahwa mereka terproteksi.
"Beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu ada petugas yang terkena COVID-19 , ada juga pemilih yang terkena Covid. Itu yang menandai mengapa Prancis setelah putaran pertama mereka pada Maret 2020, menunda pemilu lokal putaran kedua karena ekses penyelenggara pemilu menyebabkan peningkatan korban Covid," katanya.
Menurut Titi, dalam new nornal ini tentu harus menyesuaikan tiga hal, yakni tata cara, prosedur, dan mekanisme. Yang berkaitan dengan kualitas, pelayanan publik dan prinsip pemilu yang bebas dan adil, tidak boleh ada pengurangan standar dan mutunya. Jadi, jangan sampai tahu problem yang dihadapi, tapi ada kecenderungan untuk lebih permisif terhadap pemenuhan standar yang didapat publik dalam pelaksanaan pilkada.
"Wajar jika masyarakat merespons pilkada ini sangat kritis, karena pilkada bukan pertaruhan agenda elektoral tapi ada pertaruhan kesehatan dan keselamatan mereka," katanya.
Titi menjelaskan bahwa ada empat indikator untuk mengetahui apakah pilkada siap dilakukan atau tidak. Pertama, regulasi bahwa tahapan pilkada berlangsung di masa pandemi dilakukan dengan protokol kesehatan COVID-19. Kedua, untuk menyesuaikan protokol itu diperlukan ketersediaan anggaran yang cukup dan tepat waktu. Ketiga, kapsitas petugas untuk menyelenggarakan pilkada di tengah COVID-19 dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Dan terakhir, kesiapan masyarakat.
"Anggaran, saya tadi pagi kroscek Ketua KPU, anggaran masih sepenuhnya mengandalkan APBD, sementara realokasi dan refocusing untuk pengadaan APD belum semua jelas. Masih gunakan fasilitas yang dimiliki masing-masing individu. Tambahan Rp1,02 triliun belum ditransfer, masih komitmen belum terealisasi," kata Titi dalam diskusi virtual Fokus SINDO yang bertajuk "Pilkada 2020, Realistiskah?", Rabu (17/6/2020).( )
Karena itu, lanjut dia, kalau mau belajar dari praktik banyak negara yang menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi dan pengalaman Indonesia di pemilu dan pilkada sebelumnya, dampak paling dominan salah satunya partisipasi publik. Karena tantangan terbesar menyelenggarakan agenda elektoral di tengah pandemi adalah memberi rasa aman dan keyakinan dan rasa aman bahwa mereka terproteksi.
"Beberapa negara yang menyelenggarakan pemilu ada petugas yang terkena COVID-19 , ada juga pemilih yang terkena Covid. Itu yang menandai mengapa Prancis setelah putaran pertama mereka pada Maret 2020, menunda pemilu lokal putaran kedua karena ekses penyelenggara pemilu menyebabkan peningkatan korban Covid," katanya.
Menurut Titi, dalam new nornal ini tentu harus menyesuaikan tiga hal, yakni tata cara, prosedur, dan mekanisme. Yang berkaitan dengan kualitas, pelayanan publik dan prinsip pemilu yang bebas dan adil, tidak boleh ada pengurangan standar dan mutunya. Jadi, jangan sampai tahu problem yang dihadapi, tapi ada kecenderungan untuk lebih permisif terhadap pemenuhan standar yang didapat publik dalam pelaksanaan pilkada.
"Wajar jika masyarakat merespons pilkada ini sangat kritis, karena pilkada bukan pertaruhan agenda elektoral tapi ada pertaruhan kesehatan dan keselamatan mereka," katanya.
(abd)
tulis komentar anda