Kisah Seorang Mata-mata, Hari Tua Menggelandang hingga Memendam Kecewa pada Penguasa
Senin, 07 Maret 2022 - 06:46 WIB
Memendam Banyak Kecewa
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Pemerintahan Orde Baru, baginya tak demokratis. Dia mencontohkan, pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.
Bagi Lubis orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois. Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan.
"Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak," kata Lubis.
Berbeda dengan teman-temannya dari Generasi '45, yang mengungkapkan kekecewaannya dengan membentuk kelompok macam Petisi 50, Lubis memilih berjalan seorang diri. Dia sengaja menjauhi hiruk-pikuk seperti itu. Baginya, membela kebenaran adalah tanggung jawab personal, dan tak perlu menunggu teman untuk melakukannya.
Setiap hari, Lubis bangun paling lambat pukul empat, pun ketika masih aktif di dunia militer dengan segudang kesibukan menemani. Setelah salat tahajud, dia melanjutkannya dengan zikir hingga subuh. Bangun pagi merupakan didikan orangtuanya.
"Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya," kata Lubis menirukan pesan orang tua.
Lubis juga tak lupa menjaga kesehatannya. Setiap pagi dia biasa olah pernapasan sebelum berangkat kerja. Fisiknya tetap bugar. Nyaris tak pernah sakit parah. Sebuah tongkat selalu menemaninya, bukan sebagai alat bantu untuk berdiri, tetapi meneruskan kebiasaan lama sejak masih aktif di militer. Makanya, banyak orang kaget ketika dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina dan akhirnya pada 23 Juni 1993 berpulang.
"Sakitnya tak diketahui. Ayah juga tak punya riwayat sakit yang parah," kata Furqan.
Atas permintaan Wakil Presiden Try Sutrisno, jenazah Zulkifli Lubis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor. "Keluarga inginnya dimakamkan biasa aja," kata Furqan. Baca juga: Sederhana, Panglima TNI Kesayangan Prajurit Ini Tak Miliki Apa-apa di Rumahnya
Dari bacaan-bacaannya, Lubis memendam banyak kecewa. Pemerintahan Orde Baru, baginya tak demokratis. Dia mencontohkan, pemilihan umum hanya bisa diikuti oleh orang-orang yang berpartai, tak peduli orang itu punya kecakapan atau tidak.
Bagi Lubis orang tak berpartai pun berhak mendapatkan posisi di pemerintahan asal punya kemampuan dan memiliki dukungan. Orang juga makin egois. Makin di atas makin jauh dari kebenaran. Indonesia pun masih jauh dari apa yang dia cita-citakan semasa perjuangan.
"Kalau masih bisa memberontak, saya akan memberontak," kata Lubis.
Berbeda dengan teman-temannya dari Generasi '45, yang mengungkapkan kekecewaannya dengan membentuk kelompok macam Petisi 50, Lubis memilih berjalan seorang diri. Dia sengaja menjauhi hiruk-pikuk seperti itu. Baginya, membela kebenaran adalah tanggung jawab personal, dan tak perlu menunggu teman untuk melakukannya.
Setiap hari, Lubis bangun paling lambat pukul empat, pun ketika masih aktif di dunia militer dengan segudang kesibukan menemani. Setelah salat tahajud, dia melanjutkannya dengan zikir hingga subuh. Bangun pagi merupakan didikan orangtuanya.
"Siapa yang bangun pagi, emas sudah ada di mulutnya," kata Lubis menirukan pesan orang tua.
Lubis juga tak lupa menjaga kesehatannya. Setiap pagi dia biasa olah pernapasan sebelum berangkat kerja. Fisiknya tetap bugar. Nyaris tak pernah sakit parah. Sebuah tongkat selalu menemaninya, bukan sebagai alat bantu untuk berdiri, tetapi meneruskan kebiasaan lama sejak masih aktif di militer. Makanya, banyak orang kaget ketika dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Pertamina dan akhirnya pada 23 Juni 1993 berpulang.
"Sakitnya tak diketahui. Ayah juga tak punya riwayat sakit yang parah," kata Furqan.
Atas permintaan Wakil Presiden Try Sutrisno, jenazah Zulkifli Lubis dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor. "Keluarga inginnya dimakamkan biasa aja," kata Furqan. Baca juga: Sederhana, Panglima TNI Kesayangan Prajurit Ini Tak Miliki Apa-apa di Rumahnya
tulis komentar anda