Berkaca dari Invasi Rusia, Pengamat: Langkah Pemerintah Belanja Alutsista saat Damai Tepat

Minggu, 27 Februari 2022 - 23:16 WIB
Asap dan api membubung selama penembakan di dekat Kiev, saat Rusia melanjutkan invasi ke Ukraina, Sabtu (26/2/2022) waktu setempat. REUTERS/Gleb Garanich
JAKARTA - Upaya modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) yang tengah dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) dinilai tepat. Sebab, memperkuat pertahanan harus dilakukan saat kondisi damai guna mengantipasi ancaman peperangan bisa terjadi kapan saja.

Pengamat militer Beni Sukadis mencontohkan konflik Ukraina-Rusia yang dalam tiga hari terakhir telah berubah menjadi pertempuran terbuka.”Saya pikir justru konflik Ukraina-Rusia menunjukkan bahwa secara global konflik bisa terjadi sewaktu-waktu di wilayah lain di dunia,” katanya, Sabtu (26/2/2022).

Dia menyatakan demikian lantaran China tengah melihat dan menunggu (wait and see) respons Amerika Serikat (AS) atas konflik Ukraina-Rusia tersebut, apakah akan terlibat atau tidak.”Kalau terlibat langsung, tentu akan memecah konsentrasi AS dan bisa saja China ambil kesempatan kelengahan AS untuk menyerbu Taiwan,” jelasnya.

Karenanya, kata dia, langkah Indonesia belanja alutsista belakangan ini dianggap tepat. ”Karena bisa saja dalam waktu 5-10 tahun ke depan terjadi konflik di Taiwan atau LCS (Laut China Selatan),” ungkapnya.

Beni melanjutkan, konflik Ukraina-Rusia menunjukkan bahwa negara-negara kuat cenderung berbuat sekehendaknya. Sementara itu, negara-negara lemah bakal menderita. Hal ini, menurut Beni, relevan dengan pernyataan sejarawan Yunani yang menerbitkan Sejarah Perang Peloponnesos, Thucydides, yang beberapa kali dikutip Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto.



Kutipan tersebut berbunyi “the strong do what they can and the weak suffer what they must” atau dalam bahasa Indonesia “yang kuat akan melakukan yang mereka mampu dan yang lemah akan menderita.”Pangkalnya, dia menerangkan, dalam mahzab realisme pada kajian hubungan internasional terdapat konsep security dilemma.

Artinya, semua negara besar memandang negara lain yang memiliki aliansi dan senjata dengan negara lawan bisa dianggap memusuhi.”Sehingga, upaya penangkalan atau aksi penyerbuan bagian dari pencegahan agar tidak terjadi potensi gangguan bagi pengaruhnya terhadap negara-negara pengikutnya,” imbuhnya.

Dalam konflik Ukraina-Rusia, Ukraina ingin bergabung dengan NATO dan dianggap sebagai ancaman bagi Rusia sebagai kekuatan regional di kawasan Eropa Timur. ”Tetapi, tentu saja aksi invasi ini tidak bisa diterima karena jelas melanggar norma/hukum internasional,” tegasnya.

Seperti diketahui, pemerintah berencana melakukan modernisasi alutsista berupa pengadaan jet tempur Dassault Rafale, kapal selam Scorpene, pesawat Airbus A400M, dan kapal perang Fregat Arrowhead.

Pada 10 Februari lalu, Indonesia resmi mengakuisisi enam pesawat tempur Dassault Rafale produksi Dassault Aviation asal Perancis. Akuisisi enam pesawat itu terjadi setelah Kementerian Pertahanan, diwakili Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemenhan Marsda Yusuf Jauhari.

Kemudian melakukan penandatanganan pembelian pesawat tempur itu dengan perwakilan Dassault Aviation di Jakarta. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menhan Prancis Florence Farly turut hadir dan menyaksikan penandatangan kontrak tersebut.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(ams)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More