MUI Nilai Nikah Beda Agama Bertentangan dengan Konstitusi
Jum'at, 11 Februari 2022 - 09:45 WIB
JAKARTA - Salah satu warga Mapia Tengah Dogiyai, Papua bernama E Ramos Petege melayangkan judicial review terhadap Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan layangkan karenan ia merasa dirugikan atas pemberlakuan UU tersebut setelah gagal menikah dengan pasangan yang beragama Islam.
Merespons hal tersebut, Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mengatakan, setiap warga negara berhak mengajukan gugatan ke MK. "Apa yang disampaikan pria bernama E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang Undang No 16 Tahun 19 merupakan hak konstitusi sebagai warga negara," kata Amirsyah dikutip dalam laman resmi MUI, Jumat,(11/2/2022).
Namun, menurut Amirsyah, pernikahan beda agama bertentangan dengan konsitusi karena adanya jaminan, kemerdekaan dan kebebasan beragama pada Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Ia menjelaskan, secara yuridis perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri. Dimana bertujuan membentuk keluarga atau jalinan rumah tangga antara pasangan suami istri yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana agamanya.
Ia menilai jika pernikahan beda agama jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. "Karena itu fakta yang terjadi, ketika pernikahan beda agama antara mempelai pria dan wanita tidak berlangsung lama. Karena salah satu fakta bahwa berbeda keyakinan membuat gagalnya rumah tangga," katanya.
Amirsyah berpendapat sudah tepat adanya aturan syarat sahnya perkawinan diatur dalam UU Perkawinan. Dalam UU ini dijelaskan bahwa perkawinan sah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, hal ini sangat diperlukan sebab pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
"Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan," kata Amirsyah.
Selain itu, hal ini juga tercantum pada hukum Agama Islam dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 sebagai salah satu dasarnya. Ayat ini pun jelas melarang pasangan suami-istri menikahi beda agama, baik wanita non Muslim atau sebaliknya laki-laki nonmuslim.
"Karena pernikahan itu merupakan bagian dari ibadah dalam ajaran Islam," katanya.
Baca juga: Bidadari Mencari Sayap Hadirkan Dinamika Pernikahan Beda Agama dan Etnis
Merespons hal tersebut, Sekjen MUI Amirsyah Tambunan mengatakan, setiap warga negara berhak mengajukan gugatan ke MK. "Apa yang disampaikan pria bernama E Ramos Petege asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua melayangkan uji materi (judicial review) terhadap Undang Undang No 16 Tahun 19 merupakan hak konstitusi sebagai warga negara," kata Amirsyah dikutip dalam laman resmi MUI, Jumat,(11/2/2022).
Namun, menurut Amirsyah, pernikahan beda agama bertentangan dengan konsitusi karena adanya jaminan, kemerdekaan dan kebebasan beragama pada Pasal 29 Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Ia menjelaskan, secara yuridis perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri. Dimana bertujuan membentuk keluarga atau jalinan rumah tangga antara pasangan suami istri yang bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana agamanya.
Ia menilai jika pernikahan beda agama jelas bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. "Karena itu fakta yang terjadi, ketika pernikahan beda agama antara mempelai pria dan wanita tidak berlangsung lama. Karena salah satu fakta bahwa berbeda keyakinan membuat gagalnya rumah tangga," katanya.
Amirsyah berpendapat sudah tepat adanya aturan syarat sahnya perkawinan diatur dalam UU Perkawinan. Dalam UU ini dijelaskan bahwa perkawinan sah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurutnya, hal ini sangat diperlukan sebab pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
"Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan," kata Amirsyah.
Selain itu, hal ini juga tercantum pada hukum Agama Islam dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 sebagai salah satu dasarnya. Ayat ini pun jelas melarang pasangan suami-istri menikahi beda agama, baik wanita non Muslim atau sebaliknya laki-laki nonmuslim.
"Karena pernikahan itu merupakan bagian dari ibadah dalam ajaran Islam," katanya.
Baca juga: Bidadari Mencari Sayap Hadirkan Dinamika Pernikahan Beda Agama dan Etnis
(abd)
Lihat Juga :
tulis komentar anda