MUI Sebut Haji Metaverse Tidak Sah, Ini Alasannya
Jum'at, 11 Februari 2022 - 06:15 WIB
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) menyampaikan bahwa ibadah haji melalui dunia virtual metaverse tidak sah. Haji virtual itu dinilai tidak memenuhi syarat sah rukun haji.
"Bukan berarti kita cukup dan boleh hanya melalui media virtual itu saja. Kalau haji lewat metaverse ya enggak sah," kata Ketua Fatwa MUI Asrorun Niam di Kantor Pusat MUI, Jakarta, Kamis (10/2/2021).
Dia menjelaskan pelaksanaan ibadah haji tidak cukup hanya dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual. Ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat tauqify, tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan dengan membutuhkan kehadiran fisik.
"Haji itu merupakan ibadah mahdlah, bersifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW," tambahnya.
Pelaksanaan aktivitas manasik haji juga terkait dengan tempat tertentu seperti pelaksanaan Thawaf. Tata caranya dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran dimulai dari sudut Hajar Aswad secara fisik dengan Ka'bah berada di posisi kiri.
"Manasik haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual. Atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Ka'bah, atau replika Ka'bah," jelasnya.
Meski demikian, kata dia, platform metaverse dapat diambil nilai positifnya. Platform itu dapat memudahkan calon jamaah haji dan calon jamaah umrah untuk mengeksplor lokasi-lokasi akan dilaksanakan aktivitas ibadah dengan mengetahui secara presisi di mana lokasi Ka'bahnya.
"Kemudian mulai dari mana nanti tawafnya kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana makam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana rukun yamani, dan juga di mana mas'ah," katanya.
Dia menilai dengan kemajuan teknologi tersebut dapat memberikan kemudahan bagi para calon jamaah sehingga dapat mengenali bergambar lokasi. Kunjungan ke Ka'bah secara virtual bisa dioptimalkan untuk mengeksplorasi dan mengenali lebih dekat, dengan 5 dimensi agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah.
"Ini bagian dari inovasi teknologi yang perlu disikapi secara proporsional. Teknologi yang mendorong kemudahan, tapi pada saat yang sama harus paham, tidak semua aktivitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," pungkasnya.
"Bukan berarti kita cukup dan boleh hanya melalui media virtual itu saja. Kalau haji lewat metaverse ya enggak sah," kata Ketua Fatwa MUI Asrorun Niam di Kantor Pusat MUI, Jakarta, Kamis (10/2/2021).
Dia menjelaskan pelaksanaan ibadah haji tidak cukup hanya dengan mengunjungi Ka’bah secara virtual. Ibadah haji merupakan ibadah mahdlah dan bersifat tauqify, tata cara pelaksanaannya sudah ditentukan dengan membutuhkan kehadiran fisik.
"Haji itu merupakan ibadah mahdlah, bersifat dogmatik, yang tata cara pelaksanaannya atas dasar apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW," tambahnya.
Pelaksanaan aktivitas manasik haji juga terkait dengan tempat tertentu seperti pelaksanaan Thawaf. Tata caranya dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran dimulai dari sudut Hajar Aswad secara fisik dengan Ka'bah berada di posisi kiri.
"Manasik haji dan umrah tidak bisa dilaksanakan dalam hati, dalam angan-angan, atau secara virtual. Atau dilaksanakan dengan cara mengelilingi gambar Ka'bah, atau replika Ka'bah," jelasnya.
Meski demikian, kata dia, platform metaverse dapat diambil nilai positifnya. Platform itu dapat memudahkan calon jamaah haji dan calon jamaah umrah untuk mengeksplor lokasi-lokasi akan dilaksanakan aktivitas ibadah dengan mengetahui secara presisi di mana lokasi Ka'bahnya.
"Kemudian mulai dari mana nanti tawafnya kemudian di mana Al Mustajabah tempat-tempat mustajab, di mana makam Ibrahim, kemudian di mana Hajar Aswad, kemudian di mana rukun yamani, dan juga di mana mas'ah," katanya.
Dia menilai dengan kemajuan teknologi tersebut dapat memberikan kemudahan bagi para calon jamaah sehingga dapat mengenali bergambar lokasi. Kunjungan ke Ka'bah secara virtual bisa dioptimalkan untuk mengeksplorasi dan mengenali lebih dekat, dengan 5 dimensi agar ada pengetahuan yang utuh dan memadai sebelum pelaksanaan ibadah.
"Ini bagian dari inovasi teknologi yang perlu disikapi secara proporsional. Teknologi yang mendorong kemudahan, tapi pada saat yang sama harus paham, tidak semua aktivitas ibadah bisa digantikan dengan teknologi," pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda