Siang Ini, MK Gelar Sidang Pendahuluan Gugatan Presidential Threshold Gatot Nurmantyo
Selasa, 11 Januari 2022 - 11:52 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Gatot yang didampingi Refly Harun dan Muh Salman Darwi sebagai kuasa hukumnya menggugat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20%.
"Agenda sidang pemeriksaan pendahuluan 11-01-2022 13:30 WIB," bunyi kalimat sebagaimana dikutip di website MK (11/2/2021).
Gatot ikut melayangkan gugatan presidential threshold agar diturunkan menjadi 0%. Dia mengikuti jejak dua anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI yang lebih dulu melayangkan gugatan.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum yang dilayangkan Gatot dalam berkas permohonannya.
Gatot juga berpandangan bahwa kondisi faktual Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Bahkan, dia melihat Pilpres 2019 kemarin juga menjadikan terbentuknya polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa.
"Seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi," katanya.
Dalam kesempatan itu, Gatot juga turut mengutip pendapat Rizal Ramli yang menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Dalam Pilpres 2009 silam, Rizal Ramli ditawari oleh salah satu parpol untuk berkontestasi dengan diharuskan membayar sebesar Rp1 triliun.
Baca juga: Mereka yang Menggugat Presidential Threshold 20%: Petinggi Gerindra hingga Gatot Nurmantyo
Menurut Gatot, seharusnya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy karena UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Sementara, berdasarkan preseden putusan Mahkamah, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat; (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
"Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden," tuturnya.
Menurut pemohon, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut: 1. diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum; 2. diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
"Agenda sidang pemeriksaan pendahuluan 11-01-2022 13:30 WIB," bunyi kalimat sebagaimana dikutip di website MK (11/2/2021).
Gatot ikut melayangkan gugatan presidential threshold agar diturunkan menjadi 0%. Dia mengikuti jejak dua anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) RI yang lebih dulu melayangkan gugatan.
"Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petitum yang dilayangkan Gatot dalam berkas permohonannya.
Gatot juga berpandangan bahwa kondisi faktual Pemilu Presiden (Pilpres) 2019, di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik. Bahkan, dia melihat Pilpres 2019 kemarin juga menjadikan terbentuknya polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa.
"Seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi," katanya.
Dalam kesempatan itu, Gatot juga turut mengutip pendapat Rizal Ramli yang menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Dalam Pilpres 2009 silam, Rizal Ramli ditawari oleh salah satu parpol untuk berkontestasi dengan diharuskan membayar sebesar Rp1 triliun.
Baca juga: Mereka yang Menggugat Presidential Threshold 20%: Petinggi Gerindra hingga Gatot Nurmantyo
Menurut Gatot, seharusnya persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy karena UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Sementara, berdasarkan preseden putusan Mahkamah, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat; (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
"Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden," tuturnya.
Menurut pemohon, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut: 1. diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum; 2. diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.
Lihat Juga: Menteri Rosan Harap Investasi ke Indonesia Meningkat usai Donald Trump Menangi Pilpres AS 2024
(abd)
tulis komentar anda