Pengamat: Partai Buruh Bisa Jadi Parpol Alternatif untuk Masyarakat
Selasa, 28 Desember 2021 - 17:31 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI) R Haidar Alwi menilai, kehadiran Partai Buruh yang digagas Said Iqbal membawa angin segar dalam kancah perpolitikan Tanah Air.
"Partai Buruh dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sudah jenuh bahkan muak dengan polarisasi cebong-kadrun di tengah partai-partai yang hari ini bercorak elitis dan cenderung dikuasai oligarki," ujar R Haidar Alwi, Selasa (28/12/2021).
Menurutnya, gerakan buruh sebenarnya menyimpan kekuatan yang dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2021, sebanyak 139,81 juta orang atau lebih dari separuh populasi Indonesia merupakan angkatan kerja. Sekira 78,14 juta di antaranya bekerja di sektor informal dan sisanya 61,67 juta bekerja di sektor formal.
Gerakan buruh memang belum terorganisir menjadi satu kekuatan yang terpadu secara politis, sehingga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan elite tertentu dan menjadi penyangga partai politik tertentu. Baik ketika momentum pemilu maupun ketika memprotes kebijakan pemerintah yang berkuasa. Hal ini menjadi catatan penting bagi gerakan buruh yang besar namun belum mencapai kemandiriannya.
"Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya, tidak mengherankan bila buruh menjadi rebutan partai politik khususnya saat pemilu. Namun, mau sampai kapan buruh dimanfaatkan? Mau sampai kapan buruh menumpang pada partai yang sesungguhnya tidak berpihak pada buruh? Sudah waktunya buruh menjadi penyeimbang tata kelola pemerintahan dengan terjun langsung ke politik melalui partainya sendiri yaitu Partai Buruh," ucapnya.
Partai Buruh bukanlah partai baru di Indonesia. Menghadapi Pemilu 1999 pascakeruntuhan Orde Baru, sejumlah pemimpin organisasi buruh telah membangun partai politik. Ada Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Walaupun tidak menamakan langsung dirinya sebagai partai buruh, basisnya sudah lama dibangun lewat kerja politik underground semasa orde baru berkuasa.
Akan tetapi mereka tidak mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 1999. Kegagalan ini pun berlanjut pada Pemilu 2004 dan 2009. Sedangkan pada Pemilu 2014 dan 2019 tanpa Partai Buruh, suaranya malah terpecah karena mendukung calon presiden tertentu. "Kenapa mereka gagal padahal kekuatannya sangat besar? Masalahnya adalah karena mereka tidak bersatu, tapi terpecah-pecah akibat konflik internal dalam tubuh gerakan buruh itu sendiri. Lalu siapa yang diuntungkan dari perpecahan buruh? Ya partai politik lain yang mengiming-imingi buruh dengan penitipan aspirasi. Faktanya bagaimana? Gerakan buruh justru dirampas dan ditunggangi untuk kepentingan politik jangka pendek," ucapnya.
"Partai Buruh dapat menjadi alternatif bagi masyarakat yang sudah jenuh bahkan muak dengan polarisasi cebong-kadrun di tengah partai-partai yang hari ini bercorak elitis dan cenderung dikuasai oligarki," ujar R Haidar Alwi, Selasa (28/12/2021).
Menurutnya, gerakan buruh sebenarnya menyimpan kekuatan yang dahsyat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2021, sebanyak 139,81 juta orang atau lebih dari separuh populasi Indonesia merupakan angkatan kerja. Sekira 78,14 juta di antaranya bekerja di sektor informal dan sisanya 61,67 juta bekerja di sektor formal.
Gerakan buruh memang belum terorganisir menjadi satu kekuatan yang terpadu secara politis, sehingga kerap dimanfaatkan untuk kepentingan elite tertentu dan menjadi penyangga partai politik tertentu. Baik ketika momentum pemilu maupun ketika memprotes kebijakan pemerintah yang berkuasa. Hal ini menjadi catatan penting bagi gerakan buruh yang besar namun belum mencapai kemandiriannya.
"Dengan kekuatan yang sedemikian dahsyatnya, tidak mengherankan bila buruh menjadi rebutan partai politik khususnya saat pemilu. Namun, mau sampai kapan buruh dimanfaatkan? Mau sampai kapan buruh menumpang pada partai yang sesungguhnya tidak berpihak pada buruh? Sudah waktunya buruh menjadi penyeimbang tata kelola pemerintahan dengan terjun langsung ke politik melalui partainya sendiri yaitu Partai Buruh," ucapnya.
Partai Buruh bukanlah partai baru di Indonesia. Menghadapi Pemilu 1999 pascakeruntuhan Orde Baru, sejumlah pemimpin organisasi buruh telah membangun partai politik. Ada Partai Pekerja Indonesia (PPI), Partai Buruh Nasional (PBN), Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia (PSPSI), Partai Solidaritas Pekerja (PSP), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Walaupun tidak menamakan langsung dirinya sebagai partai buruh, basisnya sudah lama dibangun lewat kerja politik underground semasa orde baru berkuasa.
Akan tetapi mereka tidak mendapatkan suara signifikan dalam Pemilu 1999. Kegagalan ini pun berlanjut pada Pemilu 2004 dan 2009. Sedangkan pada Pemilu 2014 dan 2019 tanpa Partai Buruh, suaranya malah terpecah karena mendukung calon presiden tertentu. "Kenapa mereka gagal padahal kekuatannya sangat besar? Masalahnya adalah karena mereka tidak bersatu, tapi terpecah-pecah akibat konflik internal dalam tubuh gerakan buruh itu sendiri. Lalu siapa yang diuntungkan dari perpecahan buruh? Ya partai politik lain yang mengiming-imingi buruh dengan penitipan aspirasi. Faktanya bagaimana? Gerakan buruh justru dirampas dan ditunggangi untuk kepentingan politik jangka pendek," ucapnya.
tulis komentar anda