Ibu Kota Baru, Seberapa Urgen?
Jum'at, 17 Desember 2021 - 13:55 WIB
PEMERINTAH dan DPR sepakat segera menggarap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara (IKN) secara maraton melalui panitia khusus (pansus) awal tahun depan. Diperkirakan selesai Februari 2022. Berarti ini jalur supercepat. Mengapa? Karena Presiden Jokowi ditargetkan berkantor di istana kepresidenan yang baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada semester 1/2024. Semester 1 berarti Januari sampai Juni 2024. Atau beberapa bulan sebelum masa jabatan periode kedua pemerintahan Jokowi-Maruf berakhir sesuai ketentuan.
Target Presiden Jokowi berkantor di ibu kota baru dicantumkan dalam Pasal 3 ayat 1 RUU IKN yang berbunyi “Pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke IKN dilakukan pada semester 1 (satu) 2024 dan ditetapkan dengan peraturan presiden.” Ini berarti soal tanggal bulannya akan ditetapkan kemudian melalui peraturan presiden setelah UU IKN disahkan.
Karena Presiden akan berkantor di ibu kota baru berarti istana presiden yang akan dibangun terlebih dulu. Pemindahan ini sebagai tahap awal dari seluruh rangkaian pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP). Akankah target RUU ini terpenuhi? Kemungkinan bisa dikebut oleh DPR. Tapi bagaimana pelaksanaan di lapangan, ini yang masih diragukan banyak pihak. Termasuk dari sejumlah politisi Senayan. Memaksakan pemindahan ke ibu kota baru di semester 1/2024 akan berdampak kurang baik dan membebani anggaran negara yang sudah mengalami banyak tekanan setelah menghadapi pandemi Covid-19 selama hampir 2 tahun. Hutang pun sudah menggunung tembus Rp6.000 triliun.
Lantas berapa anggaran untuk pindah ibu kota ini? Estimasi biaya yang diperlukan jika seluruh aparat sipil negara (ASN) dari IKN lama dipindah yang diperlukan Rp466 triliun. Skenario kedua jika sebagian ASN IKN lama yang dipindah, dibutuhkan uang Rp323 triliun. Ini hitungan estimasi. Fakta pelaksanaan bisa jadi berbeda. Bisa membengkak seperti halnya pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang pada akhirnya membebani APBN lagi.
Skema pembiayaan IKN baru ini sebagai berikut: APBN 19,2%, Swasta 26,4% dan kerja sama pemerintah dan badan usaha 54,4%. Di sini terbaca peran pembiayaan dari pemerintah sangatlah sentral. Karena sumber pendapatan pemerintah mayoritas dari pajak, berarti rakyat yang menanggung biaya ratusan triliun itu.
Mari kita berpikir sejenak. Sedemikian urgenkah berkantor di ibu kota baru bagi presiden? Mengingat banyak sekali masalah yang lebih memerlukan perhatian dan penanganan negara di masa-masa pandemi yang penuh cobaan ini. Misalnya pemulihan ekonomi, menaikkan daya beli masyarakat, pembayaran utang, penciptaan lapangan kerja, pemulihan ekonomi, penjaminan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan dan penguatan pertahanan dan keamanan negara, penanganan serta pemulihan bencana alam dan seterusnya.
Keinginan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke wilayah Kalimantan memang sudah disampaikan sejak beberapa lama. Bahkan pernah digaungkan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun di masa pemerintahan Jokowi, isu pindah ibu kota didorong sangat kencang. Ini pasti proyek mahabesar yang tidak boleh gegabah dilaksanakan. Jangan sampai salah perhitungan. Sehingga setelah kompleks ini terbangun dengan megah dan mentereng sebagaimana desain yang sudah beredar luas di masyarakat, tidak sesuai harapan. Tahapan-tahapan memang sudah diperhitungkan sebelumnya. Namun, pelaksanaan tahapan itu dirancang dalam situasi negara dan bangsa yang normal. Tapi sejak Maret 2020 kita mengalami kondisi yang sangat berbeda dan belum pernah terjadi sebelumnya. Yakni disrupsi akibat pandemi yang berdampak pada hampir seluruh sektor kehidupan.
Jadi, alangkah tidak bijak jika pelaksanaan pemindahan ibu kota ini dipaksakan pada semester 1/2024. Secara logika bisa saja pembangunan fisik kompleks inti pusat pemerintahan ini dikebut dan selesai, katakanlah pada Januari 2024. Tapi bagaimana dengan pemindahan ASN dan seluruh perangkatnya ke sana? Bisakah memindahkan manusia ini disamakan dengan memindahkan bangunan fisik? Pasti tidak. Ini belum bicara soal ekosistem ibu kota baru nanti. Seberapa cepat akan terbentuk jika hanya ada satu bangunan saja, yakni istana presiden?
Kurang berfungsinya bandar udara baru di sejumlah lokasi strategis di Tanah Air bisa menjadi pelajaran penting. Membangun fisik itu sangat jauh berbeda dengan membangun ekosistem yang menopangnya. Kita berharap pemerintah dan DPR memikirkan kembali pelaksanaan pemindahan ibu kota baru ini. Silakan dipercepat pelaksanaan pembahasan rancangan undang-undangnya. Tapi, bukan berarti harus dilaksanakan pada 2024. Mungkinkah?
Target Presiden Jokowi berkantor di ibu kota baru dicantumkan dalam Pasal 3 ayat 1 RUU IKN yang berbunyi “Pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta ke IKN dilakukan pada semester 1 (satu) 2024 dan ditetapkan dengan peraturan presiden.” Ini berarti soal tanggal bulannya akan ditetapkan kemudian melalui peraturan presiden setelah UU IKN disahkan.
Karena Presiden akan berkantor di ibu kota baru berarti istana presiden yang akan dibangun terlebih dulu. Pemindahan ini sebagai tahap awal dari seluruh rangkaian pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke wilayah kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP). Akankah target RUU ini terpenuhi? Kemungkinan bisa dikebut oleh DPR. Tapi bagaimana pelaksanaan di lapangan, ini yang masih diragukan banyak pihak. Termasuk dari sejumlah politisi Senayan. Memaksakan pemindahan ke ibu kota baru di semester 1/2024 akan berdampak kurang baik dan membebani anggaran negara yang sudah mengalami banyak tekanan setelah menghadapi pandemi Covid-19 selama hampir 2 tahun. Hutang pun sudah menggunung tembus Rp6.000 triliun.
Lantas berapa anggaran untuk pindah ibu kota ini? Estimasi biaya yang diperlukan jika seluruh aparat sipil negara (ASN) dari IKN lama dipindah yang diperlukan Rp466 triliun. Skenario kedua jika sebagian ASN IKN lama yang dipindah, dibutuhkan uang Rp323 triliun. Ini hitungan estimasi. Fakta pelaksanaan bisa jadi berbeda. Bisa membengkak seperti halnya pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang pada akhirnya membebani APBN lagi.
Skema pembiayaan IKN baru ini sebagai berikut: APBN 19,2%, Swasta 26,4% dan kerja sama pemerintah dan badan usaha 54,4%. Di sini terbaca peran pembiayaan dari pemerintah sangatlah sentral. Karena sumber pendapatan pemerintah mayoritas dari pajak, berarti rakyat yang menanggung biaya ratusan triliun itu.
Mari kita berpikir sejenak. Sedemikian urgenkah berkantor di ibu kota baru bagi presiden? Mengingat banyak sekali masalah yang lebih memerlukan perhatian dan penanganan negara di masa-masa pandemi yang penuh cobaan ini. Misalnya pemulihan ekonomi, menaikkan daya beli masyarakat, pembayaran utang, penciptaan lapangan kerja, pemulihan ekonomi, penjaminan kesehatan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan dan penguatan pertahanan dan keamanan negara, penanganan serta pemulihan bencana alam dan seterusnya.
Keinginan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke wilayah Kalimantan memang sudah disampaikan sejak beberapa lama. Bahkan pernah digaungkan pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Namun di masa pemerintahan Jokowi, isu pindah ibu kota didorong sangat kencang. Ini pasti proyek mahabesar yang tidak boleh gegabah dilaksanakan. Jangan sampai salah perhitungan. Sehingga setelah kompleks ini terbangun dengan megah dan mentereng sebagaimana desain yang sudah beredar luas di masyarakat, tidak sesuai harapan. Tahapan-tahapan memang sudah diperhitungkan sebelumnya. Namun, pelaksanaan tahapan itu dirancang dalam situasi negara dan bangsa yang normal. Tapi sejak Maret 2020 kita mengalami kondisi yang sangat berbeda dan belum pernah terjadi sebelumnya. Yakni disrupsi akibat pandemi yang berdampak pada hampir seluruh sektor kehidupan.
Jadi, alangkah tidak bijak jika pelaksanaan pemindahan ibu kota ini dipaksakan pada semester 1/2024. Secara logika bisa saja pembangunan fisik kompleks inti pusat pemerintahan ini dikebut dan selesai, katakanlah pada Januari 2024. Tapi bagaimana dengan pemindahan ASN dan seluruh perangkatnya ke sana? Bisakah memindahkan manusia ini disamakan dengan memindahkan bangunan fisik? Pasti tidak. Ini belum bicara soal ekosistem ibu kota baru nanti. Seberapa cepat akan terbentuk jika hanya ada satu bangunan saja, yakni istana presiden?
Kurang berfungsinya bandar udara baru di sejumlah lokasi strategis di Tanah Air bisa menjadi pelajaran penting. Membangun fisik itu sangat jauh berbeda dengan membangun ekosistem yang menopangnya. Kita berharap pemerintah dan DPR memikirkan kembali pelaksanaan pemindahan ibu kota baru ini. Silakan dipercepat pelaksanaan pembahasan rancangan undang-undangnya. Tapi, bukan berarti harus dilaksanakan pada 2024. Mungkinkah?
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda