Soal Formula E, Pakar Hukum: KPK sejak Awal Salahi Prosedur Dugaan Pidana
Jum'at, 12 November 2021 - 17:52 WIB
JAKARTA - Polemik terkait penyelenggaraan ajang balap mobil listrik Formula E terus didalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terbaru KPK menyebut pihaknya akan menghentikan pengusutan Formula E jika tak ditemukan adanya unsur pidana.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyarankan agar KPK menghentikan pengusutan Formula E dengan beberapa pertimbangan. Pertama, KPK dari awal sudah menyalahi prosedur paling dasar dalam penentuan dugaan pidana. “Begini, hal yang standar adalah dugaan pidananya sudah harus ada, bukan baru dicari-cari. Jadi setiap tindakan penyelidikan itu diawali dengan asumsi pidananya sudah ada,” ucap Margarito, Jumat (12/11/2021).
“Kalau Anda mau menyelidiki sesuatu peristiwa hukum, di kepala Anda peristiwa itu harus sudah memiliki aspek pidana, tinggal memperoleh bukti-bukti untuk menguatkan bahwa itu peristiwa pidana, bukan mencari-cari bukti untuk menemukan peristiwa pidana. Jadi ini cara berpikir KPK amat terbalik, ini sangat salah,” tegasnya.
Kedua, terkait pemberian comitment fee yang akhirnya pada dua tahun belakangan Formula E tetap tak digelar di Jakarta, Margito menjelaskan, penyebab kegagalan penyelenggaraan tersebut bukan karena hal yang dalam kendali manusia karena dua tahun belakangan terjadi pandemi Covid 19 yang melanda seluruh dunia. “Berkenaan dengan Formula E, KPK kan mesti tahu kalau Formula E (dua tahun) tak dilaksanakan itu kenapa? Sejauh yang saya mengerti kegiatan itu terhenti dan atau dihentikan karena hal yang berada di luar kendali manusia, yakni pandemi,” terangnya
“Oleh karena hal tersebut di luar kendali manusia maka pemda juga tak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena hal yang menggagalkan peristiwa itu (Formula E) bukan hal yang disebabkan oleh manusia melainkan sebab alamiah yang enggak bisa diprediksi secara objektif, akibat hukumnya adalah siapa pun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum,” tambahnya.
Lalu terkait dana pinjaman bank yang digunakan, apa pun pinjaman tersebut akan membebani APBD dan apabila memang terjadi penyalahgunaan maka sistem keuangan daerah memiliki hak untuk menuntut ganti rugi ke penyelenggara dan itu juga harus didasari oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Nah, kalau terjadi APBD kan diaudit oleh BPK, asumsikan saja ada kekurangan penyimpangan dalam penggunaan dana itu, maka sistem keuangan negara kita mengatur bahwa pemda berhak menuntut ganti rugi pada mereka yang mengakibatkan kerugian tersebut, dan itu akan sangat ditentukan pada fakta di lapangan nanti,” paparnya
“Katakanlah dia udah bayar comitment fee lalu peristiwanya enggak terjadi apakah itu salah? Sistem hukum kita bisa menuntut ganti rugi kepada penyelenggara melalui tim penuntut ganti rugi yang dibentuk gubernur, sekda dan inspektorat. Jadi enggak bisa itu langsung dikenakan unsur pidana karena sistem keuangan pemda itu ada sistem menuntut ganti rugi dan itu harus didasari temuan BPK, bukan kayak KPK begini,” lanjutnya.
Atas dasar tersebut, Margarito menyarankan KPK untuk menghentikan pengusutan Formula E karena nantinya juga akan memengaruhi asumsi publik ke KPK, di mana publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu.
“Oleh karena itu berhenti deh KPK ini, sehingga publik ini lantas menilai bahwa KPK ini disuruh siapa? Dia jadi alat politik siapa? Karena apabila ukurannya hanya untuk ramai, maka kurang ramai apa kasus PCR? Kurang ramai apa kereta cepat? Kenapa KPK diam seribu bahasa terkait kasus-kasus ini?,” tandasnya.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menyarankan agar KPK menghentikan pengusutan Formula E dengan beberapa pertimbangan. Pertama, KPK dari awal sudah menyalahi prosedur paling dasar dalam penentuan dugaan pidana. “Begini, hal yang standar adalah dugaan pidananya sudah harus ada, bukan baru dicari-cari. Jadi setiap tindakan penyelidikan itu diawali dengan asumsi pidananya sudah ada,” ucap Margarito, Jumat (12/11/2021).
“Kalau Anda mau menyelidiki sesuatu peristiwa hukum, di kepala Anda peristiwa itu harus sudah memiliki aspek pidana, tinggal memperoleh bukti-bukti untuk menguatkan bahwa itu peristiwa pidana, bukan mencari-cari bukti untuk menemukan peristiwa pidana. Jadi ini cara berpikir KPK amat terbalik, ini sangat salah,” tegasnya.
Kedua, terkait pemberian comitment fee yang akhirnya pada dua tahun belakangan Formula E tetap tak digelar di Jakarta, Margito menjelaskan, penyebab kegagalan penyelenggaraan tersebut bukan karena hal yang dalam kendali manusia karena dua tahun belakangan terjadi pandemi Covid 19 yang melanda seluruh dunia. “Berkenaan dengan Formula E, KPK kan mesti tahu kalau Formula E (dua tahun) tak dilaksanakan itu kenapa? Sejauh yang saya mengerti kegiatan itu terhenti dan atau dihentikan karena hal yang berada di luar kendali manusia, yakni pandemi,” terangnya
“Oleh karena hal tersebut di luar kendali manusia maka pemda juga tak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena hal yang menggagalkan peristiwa itu (Formula E) bukan hal yang disebabkan oleh manusia melainkan sebab alamiah yang enggak bisa diprediksi secara objektif, akibat hukumnya adalah siapa pun itu tak bisa dibebani tanggung jawab hukum,” tambahnya.
Lalu terkait dana pinjaman bank yang digunakan, apa pun pinjaman tersebut akan membebani APBD dan apabila memang terjadi penyalahgunaan maka sistem keuangan daerah memiliki hak untuk menuntut ganti rugi ke penyelenggara dan itu juga harus didasari oleh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Nah, kalau terjadi APBD kan diaudit oleh BPK, asumsikan saja ada kekurangan penyimpangan dalam penggunaan dana itu, maka sistem keuangan negara kita mengatur bahwa pemda berhak menuntut ganti rugi pada mereka yang mengakibatkan kerugian tersebut, dan itu akan sangat ditentukan pada fakta di lapangan nanti,” paparnya
“Katakanlah dia udah bayar comitment fee lalu peristiwanya enggak terjadi apakah itu salah? Sistem hukum kita bisa menuntut ganti rugi kepada penyelenggara melalui tim penuntut ganti rugi yang dibentuk gubernur, sekda dan inspektorat. Jadi enggak bisa itu langsung dikenakan unsur pidana karena sistem keuangan pemda itu ada sistem menuntut ganti rugi dan itu harus didasari temuan BPK, bukan kayak KPK begini,” lanjutnya.
Atas dasar tersebut, Margarito menyarankan KPK untuk menghentikan pengusutan Formula E karena nantinya juga akan memengaruhi asumsi publik ke KPK, di mana publik akan menilai KPK sebagai alat politik golongan tertentu.
“Oleh karena itu berhenti deh KPK ini, sehingga publik ini lantas menilai bahwa KPK ini disuruh siapa? Dia jadi alat politik siapa? Karena apabila ukurannya hanya untuk ramai, maka kurang ramai apa kasus PCR? Kurang ramai apa kereta cepat? Kenapa KPK diam seribu bahasa terkait kasus-kasus ini?,” tandasnya.
(cip)
tulis komentar anda